Serambi Indonesia Cetak Artikel
• 28/08/2004 04:43 WIB
Yang Berebut Juadah Raya
[ rubrik: Serambi | topik: Budaya ]
TIGA Minggu lalu, seorang perempuan perajin kue tradisional Aceh gemetar menerima bayaran Rp 10 juta dari panitia “Juadah Raya PKA IV”. Tak lain lantaran baru sekali itulah ia menerima segepokrupiah untuk pesanan kue buatannya.
Menjelang 11.00 Wib kemarin, di Taman Ratu Syafiatuddin dimana Replika Pelaminan Aceh dari kue tradisional seharga Rp 69 juta itu bercokol, ada juga seorang nenek yang agak gemetar naik ke tangga anjungan “Juadah Raya” untuk menerima seporsi kue kering itu dari Marlinda Abdullah Puteh, selaku Ketua VI PKA IV.
Tapi jangan salah, nenek cukup tambun dan sudah agak lamban berjalan tadi, bukan gemetar pertanda girang, haru, dan sebangsanya. Dia memang seorang manula, dan sengaja datang untuk menikmati khanduri “Juadah Raya” yang didengarnya dari mulut ke mulut. Dia ingin tahu seberapa perkasakah kue yang digarap oleh 815 perajin dari 58 sentra produksi penganan tradisional Aceh itu?
Yang seusia dengan sang nenek sih bisa dihitung jari jumlahnya, kendati waktu menerima kue sempat-sempat juga mereka bercakap-cakap dengan Ibu Gubernur yang baru sekali ini mereka lihat. Apa boleh buat, acara yang setengah resmi tersebut mau tak mau sempat memangkas kelancaran “prosesi”.
Pemandangan tak kalah seru, ratusan anak baru gede (ABG) dan anak usia SD meminati dan menikmati kue replika pelaminan terbesar dan pertama sejagat itu. Sayangnya tidak semua dari mereka cukup percaya diri untuk tampil ke depan pelaminan tempat juadah dibagikan. “Aduh gak brani ah, ramai kali orangnya,” sebut seorang gadis kepada temannya.
“Han ek lon. Kalage peuneurah iteubiett minyeuk (Tak mau saya. Dah bagai pemerah mengeluarkan minyak),” sebut ABG perempuan yang lain sebagai perumpamaan bahwa dia tak sanggup lagi bersempit ria sampai berkeringat menunggu giliran. Padahal di wajahnya tersirat rona mau tapi malu, begitupun dia sebentar maju sebentar mundur.
Di pojok lain sekelompok ibu guru malah menyesalkan kenapa hari ini muridnya tak hadir di lokasi. Dia iri juga melihat sejumlah anak berseragam sekolah termasuk baju olahraga ramai-ramai antri menunggu bagian. Kue agaknya memang mengundang selera karena sebagian dari mereka baru saja dilebati hujan hampir satu jam sebelumnya, ketika berada di arena yang sama.
Yang juga menjadi suasana tersendiri adalah ketika pengunjung umumnya memakan kue khanduri langsung di tempat. Kendati satu sama lain tidak saling kenal, tapi mereka telah “makan bersama” di rintik hujan di perempat jam menjelang shalat Jumat kemarin.
Beruntung ratusan orang yang datang lebih awal, karena mendapat porsi yang sudah duluan dikemas dengan kotak-kotak plastik kaca ukuran sedang. Sebab gara-gara panitia kehabisan stok kue yang sudah dikemas, ada juga pengunjung yang tak tertarik lagi mengambil timbunan kue dari sebuah talam. Karena dinilainya tak dilengkapi semua jenis kue dari pelaminan. “Nyan hana mangat le lagenyan (Kalau sudah begitu, tak enak lagi lah),” gerutunya. Barangkali yang dimaksudnya pembagian itu tiada keadilan lagi.
Tapi, sebodo amat, salah satu pengunjung malah mengambil peunajoh tho bungong kayee(kue kering bentuk daun), sampai beberapa potong sambil ketawa-ketawa lalu turun dengan penuh “kemenangan” karena sudah lolos dari antri.
Seorang bapak lain lagi. Selama puluhan menit memperhatikan proses pembagian kue, dia tak mengerti kenapa orang-orang diberi kue. Kue itu dilelang ya? Begitu dia tahu juadah raya sebenarnya pemberian tanpa pamrih alias cuma-cuma, diapun bergegas sambil menggendong seorang balita.
Lalu di tengah panitia sibuk melayani masyarakat yang antusias tersebut, ironisnya, beberapa orang berseragam dinas dan sangat terkait dengan khanduri juadah, “tega” juga mengambil jalan pintas menerobos antrian dan mengambil langsung sekantong kresek (kantong plastik) dan buru-buru mengisinya dan serta-merta berlalu dari lokasi (mudah-mudahan dia berniat baik untuk mengendurikannya bagi yang berhak).
Dan “huru-hara” bagi-bagi kue berakhir pukul 12.00 Wib. Tersisa sekitar seperempat dari pelaminan. Kue itu dihabisbagikan seusai shalat ashar kemarin.
Acara bongkar pelaminan” itu sebelumnya diawali dengan pemberian untuk empat kelurahan/desa terdekat, empat panti terdekat (antara lain Panti Nirmala, Panti Jompo Tresna Werdha, dan Yayasan Penyandang Anak Cacat Banda Aceh).
Akankah kue yang sangat kontrofersial ini––dianggap mubazir dan hanya menghabiskan dana pendidikan saja–– kemunculannya telah memberi kenangan tertentu? Jawabannya tentu tak pasti, kecuali kenangan telah ditabalkan dalam Musium Rekor Indonesia nomor 1223/R Muri/VIII/2004 yang ditandatangani Ketua Umum Muri, DR Jaya Suprana, (14/8).
Yang jelas selama dipajang, kue ini telah diabadikan olah banyak orang terutama kaum perempuan. Bahkan sampai akhir “hayatnya” kemarin sore, masih ada satu dua yang ingin mejeng berfoto di depan pelaminan.
Tapi bukan tak ada yang kesal terhadap Si Juadah yang digosip menghabiskan Rp 3 M ini. Seorang nenek yang datang hampir ratusan kilo meter dari arah barat Tanah Rencong ini, malah agak buruk kenangannya.
Kamis (26/8) telah terjadi salah paham di sekitar juadah raya. Kebetulan, sebut Ir Arsyiah (Biro Promosi dan Pemasaran Dewan Kerajinan Nasional NAD), persis saat si nenek datang, juadah sedang diambil sampelnya oleh kalangan Balai POM untuk diperiksa kalayakan konsumsinya. Begitulah, untuk sementara juadah raya ditutup untuk umum. Apa lacur, nenek lantas mengungkapkan kekecewaannya dengan nada marah. “Tau tidak? Saya datang jauh-jauh kesini, masak tidak boleh melihat juadah ini. Memangnya hanya para pejabat yang boleh lihat?!”
Pada hari kedua juadah dibuka untuk umum, Serambi sendiri pernah mendapat sinis dari seorang ibu, lantaran secara berkelakar mengatakan dodol yang menempel di hampir seluruh tubuh pelaminan, adalah batu bata. “Mana ada batu bata. Itu kan dodol,” sebut ibu tadi dengan rona tak sedap dan bergegas pergi.
Apakah kedua kesan tak enak ini bisa kita artikan sebagai tanda cinta atau kagum terhadap juadah? Atau merasa terhina dengan ucapan yang menyamakan makanan––dodol–– adalah batu bata. Atau bagaimana kita menanggapi komentar seorang mahasiswa, “Ah juadah raya, hanya menghambur-hambur uang saja. Cari-cari sensasi.” Entahlah.
Kemarin rangkaian 4820 potong (bhoi, meuseukat, wajek, keukarah, bungong kayee, gula u) yang dibuat menjadi pelaminan ukuran 4×2,8×3 meter yang terpacak di bagunan papan bertiang besi 12 buah, sekitar 100 meter dari panggung utama Arena PKA IV telah “dirubuhkan” sebagai sebuah ajang kenduri.
Tentu sempat menoreh kenangan manis dari si juadah raya yang semuanya memang manis di lidah itu. Lantas bagaimana yang terasa pahit di hati? Adalah juga kenangan namaya. Paling tidak bagi panitia. Sebut saja “pergerakan” mulai dari debat sengit memperjuangkan hadirnya juadah raya, hingga suka dukanya bekerja sampai larut malam yang dirasakan oleh “penyulap” ribuan kue itu, menjadi pelaminan, hingga para sopir yang terlibat didalamnya.
Tapi yang lebih penting, mari mengambil hikmahnya dan menjadikan pengalaman berharga, supaya kita tetap lapang dada. Soal dosa atau pahala dari juadah raya, mari pula berserah diri kehadhirat Yang Maha Tahu. Mudah-mudahan tujuan pembuatan juadah raya sebagai menumbuhkan kreatifitas perajin, “mempengaruhi” pasar kue tradisional secara luas, mempertahankan cinta akan makanan daerah sendiri, hingga alasan agar orang luar tertarik juga dengan kue Aceh, benar-benar menjadi kenyataan dan membawa berkah bagi masyarakat. Agar tak terjadi arang habis besi binasa.
• 28/08/2004 04:43 WIB
Yang Berebut Juadah Raya
[ rubrik: Serambi | topik: Budaya ]
TIGA Minggu lalu, seorang perempuan perajin kue tradisional Aceh gemetar menerima bayaran Rp 10 juta dari panitia “Juadah Raya PKA IV”. Tak lain lantaran baru sekali itulah ia menerima segepokrupiah untuk pesanan kue buatannya.
Menjelang 11.00 Wib kemarin, di Taman Ratu Syafiatuddin dimana Replika Pelaminan Aceh dari kue tradisional seharga Rp 69 juta itu bercokol, ada juga seorang nenek yang agak gemetar naik ke tangga anjungan “Juadah Raya” untuk menerima seporsi kue kering itu dari Marlinda Abdullah Puteh, selaku Ketua VI PKA IV.
Tapi jangan salah, nenek cukup tambun dan sudah agak lamban berjalan tadi, bukan gemetar pertanda girang, haru, dan sebangsanya. Dia memang seorang manula, dan sengaja datang untuk menikmati khanduri “Juadah Raya” yang didengarnya dari mulut ke mulut. Dia ingin tahu seberapa perkasakah kue yang digarap oleh 815 perajin dari 58 sentra produksi penganan tradisional Aceh itu?
Yang seusia dengan sang nenek sih bisa dihitung jari jumlahnya, kendati waktu menerima kue sempat-sempat juga mereka bercakap-cakap dengan Ibu Gubernur yang baru sekali ini mereka lihat. Apa boleh buat, acara yang setengah resmi tersebut mau tak mau sempat memangkas kelancaran “prosesi”.
Pemandangan tak kalah seru, ratusan anak baru gede (ABG) dan anak usia SD meminati dan menikmati kue replika pelaminan terbesar dan pertama sejagat itu. Sayangnya tidak semua dari mereka cukup percaya diri untuk tampil ke depan pelaminan tempat juadah dibagikan. “Aduh gak brani ah, ramai kali orangnya,” sebut seorang gadis kepada temannya.
“Han ek lon. Kalage peuneurah iteubiett minyeuk (Tak mau saya. Dah bagai pemerah mengeluarkan minyak),” sebut ABG perempuan yang lain sebagai perumpamaan bahwa dia tak sanggup lagi bersempit ria sampai berkeringat menunggu giliran. Padahal di wajahnya tersirat rona mau tapi malu, begitupun dia sebentar maju sebentar mundur.
Di pojok lain sekelompok ibu guru malah menyesalkan kenapa hari ini muridnya tak hadir di lokasi. Dia iri juga melihat sejumlah anak berseragam sekolah termasuk baju olahraga ramai-ramai antri menunggu bagian. Kue agaknya memang mengundang selera karena sebagian dari mereka baru saja dilebati hujan hampir satu jam sebelumnya, ketika berada di arena yang sama.
Yang juga menjadi suasana tersendiri adalah ketika pengunjung umumnya memakan kue khanduri langsung di tempat. Kendati satu sama lain tidak saling kenal, tapi mereka telah “makan bersama” di rintik hujan di perempat jam menjelang shalat Jumat kemarin.
Beruntung ratusan orang yang datang lebih awal, karena mendapat porsi yang sudah duluan dikemas dengan kotak-kotak plastik kaca ukuran sedang. Sebab gara-gara panitia kehabisan stok kue yang sudah dikemas, ada juga pengunjung yang tak tertarik lagi mengambil timbunan kue dari sebuah talam. Karena dinilainya tak dilengkapi semua jenis kue dari pelaminan. “Nyan hana mangat le lagenyan (Kalau sudah begitu, tak enak lagi lah),” gerutunya. Barangkali yang dimaksudnya pembagian itu tiada keadilan lagi.
Tapi, sebodo amat, salah satu pengunjung malah mengambil peunajoh tho bungong kayee(kue kering bentuk daun), sampai beberapa potong sambil ketawa-ketawa lalu turun dengan penuh “kemenangan” karena sudah lolos dari antri.
Seorang bapak lain lagi. Selama puluhan menit memperhatikan proses pembagian kue, dia tak mengerti kenapa orang-orang diberi kue. Kue itu dilelang ya? Begitu dia tahu juadah raya sebenarnya pemberian tanpa pamrih alias cuma-cuma, diapun bergegas sambil menggendong seorang balita.
Lalu di tengah panitia sibuk melayani masyarakat yang antusias tersebut, ironisnya, beberapa orang berseragam dinas dan sangat terkait dengan khanduri juadah, “tega” juga mengambil jalan pintas menerobos antrian dan mengambil langsung sekantong kresek (kantong plastik) dan buru-buru mengisinya dan serta-merta berlalu dari lokasi (mudah-mudahan dia berniat baik untuk mengendurikannya bagi yang berhak).
Dan “huru-hara” bagi-bagi kue berakhir pukul 12.00 Wib. Tersisa sekitar seperempat dari pelaminan. Kue itu dihabisbagikan seusai shalat ashar kemarin.
Acara bongkar pelaminan” itu sebelumnya diawali dengan pemberian untuk empat kelurahan/desa terdekat, empat panti terdekat (antara lain Panti Nirmala, Panti Jompo Tresna Werdha, dan Yayasan Penyandang Anak Cacat Banda Aceh).
Akankah kue yang sangat kontrofersial ini––dianggap mubazir dan hanya menghabiskan dana pendidikan saja–– kemunculannya telah memberi kenangan tertentu? Jawabannya tentu tak pasti, kecuali kenangan telah ditabalkan dalam Musium Rekor Indonesia nomor 1223/R Muri/VIII/2004 yang ditandatangani Ketua Umum Muri, DR Jaya Suprana, (14/8).
Yang jelas selama dipajang, kue ini telah diabadikan olah banyak orang terutama kaum perempuan. Bahkan sampai akhir “hayatnya” kemarin sore, masih ada satu dua yang ingin mejeng berfoto di depan pelaminan.
Tapi bukan tak ada yang kesal terhadap Si Juadah yang digosip menghabiskan Rp 3 M ini. Seorang nenek yang datang hampir ratusan kilo meter dari arah barat Tanah Rencong ini, malah agak buruk kenangannya.
Kamis (26/8) telah terjadi salah paham di sekitar juadah raya. Kebetulan, sebut Ir Arsyiah (Biro Promosi dan Pemasaran Dewan Kerajinan Nasional NAD), persis saat si nenek datang, juadah sedang diambil sampelnya oleh kalangan Balai POM untuk diperiksa kalayakan konsumsinya. Begitulah, untuk sementara juadah raya ditutup untuk umum. Apa lacur, nenek lantas mengungkapkan kekecewaannya dengan nada marah. “Tau tidak? Saya datang jauh-jauh kesini, masak tidak boleh melihat juadah ini. Memangnya hanya para pejabat yang boleh lihat?!”
Pada hari kedua juadah dibuka untuk umum, Serambi sendiri pernah mendapat sinis dari seorang ibu, lantaran secara berkelakar mengatakan dodol yang menempel di hampir seluruh tubuh pelaminan, adalah batu bata. “Mana ada batu bata. Itu kan dodol,” sebut ibu tadi dengan rona tak sedap dan bergegas pergi.
Apakah kedua kesan tak enak ini bisa kita artikan sebagai tanda cinta atau kagum terhadap juadah? Atau merasa terhina dengan ucapan yang menyamakan makanan––dodol–– adalah batu bata. Atau bagaimana kita menanggapi komentar seorang mahasiswa, “Ah juadah raya, hanya menghambur-hambur uang saja. Cari-cari sensasi.” Entahlah.
Kemarin rangkaian 4820 potong (bhoi, meuseukat, wajek, keukarah, bungong kayee, gula u) yang dibuat menjadi pelaminan ukuran 4×2,8×3 meter yang terpacak di bagunan papan bertiang besi 12 buah, sekitar 100 meter dari panggung utama Arena PKA IV telah “dirubuhkan” sebagai sebuah ajang kenduri.
Tentu sempat menoreh kenangan manis dari si juadah raya yang semuanya memang manis di lidah itu. Lantas bagaimana yang terasa pahit di hati? Adalah juga kenangan namaya. Paling tidak bagi panitia. Sebut saja “pergerakan” mulai dari debat sengit memperjuangkan hadirnya juadah raya, hingga suka dukanya bekerja sampai larut malam yang dirasakan oleh “penyulap” ribuan kue itu, menjadi pelaminan, hingga para sopir yang terlibat didalamnya.
Tapi yang lebih penting, mari mengambil hikmahnya dan menjadikan pengalaman berharga, supaya kita tetap lapang dada. Soal dosa atau pahala dari juadah raya, mari pula berserah diri kehadhirat Yang Maha Tahu. Mudah-mudahan tujuan pembuatan juadah raya sebagai menumbuhkan kreatifitas perajin, “mempengaruhi” pasar kue tradisional secara luas, mempertahankan cinta akan makanan daerah sendiri, hingga alasan agar orang luar tertarik juga dengan kue Aceh, benar-benar menjadi kenyataan dan membawa berkah bagi masyarakat. Agar tak terjadi arang habis besi binasa.
Nani.HS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar