Pengantar Redaksi (Tabloid Kontras)
Pukul 9.35 WIB Senin (17/4), rumah Muzakir Manaf sedang dikunjungi beberapa tamu keluarga dan tamu organisas GAM, plus sejumlah orang yang berurusan dengan renovasi rumahnya di kawasan Desa Meunasah Papeun Krueng Barona Jaya, Aceh Besar. Wartawati Kontras, Nani HS, berusaha memperoleh kesempatan wawancara di tengah-tengah keluarga yang sedang tidak dalam suasana santai itu. Apalagi kedua orangtua Banta Syarif (3,5) dan Sunil (2) ini sekitar usai waktu zuhur Senin itu hendak mudik ke Nisam. Kendati hampir 60 menit menunggu, Kontras akhirnya mendapat restu Muzakir untuk bisa berbicang dengan istrinya, Marlina binti Usman, kelahiran Nisam, 10 Februari 1980. Walau kami hanya sempat ngobrol sekitar 20 menit apalagi sebentar-sebentar pembicaraan terputus karena harus melayani tamu lainnya, inilah petikan sepenggal kisah Ana (panggilan Marlina) seputar suka dukanya menjadi istri mantan Panglima TNA. Misalnya ia dengan tegas menjawab pertanyaan Muzakir mengapa bersedia menikah dengan GAM. “Kenapa harus takut? Kemanapun saya pergi kalau harus mati, ya mati. Semuanya kan takdir.”
.Apa Boleh Buat Saya Harus Menyamar
“Saya senang sekarang sudah aman. Mudah-mudahan tak kan terulang lagi pertikaian seperti yang sudah-sudah Kita berdoa teruslah aman,” kata Marlina sembari menebar senyum kecilnya ketika ditanyai bagaimana ia mengartikan perdamaian di Aceh sekarang ini.
Nun tahun 2000 ketika pertama kali berjumpa dengan Muzakir Manaf di rumahnya pada 8 Februari, lalu menikah pada usai magrib (10/2) lewat tuan kadi, Tgk Imum Do, perempuan kuning langsat hidung mancung dan berpenampilan sederhana ini, sudah siap menjadi istri TNA. Waktu itu Ana tak tahu bila Muzakir seorang panglima GAM, namun dia tahu dirinya bakal tak seleluasa istri orang lain yang tak terlibat TNA.
Sebelumnya Ana pun tak pernah tahu apa sebenarnya GAM atau TNA itu, apatah lagi ikut berjuang. Tetapi ia tahu di Aceh ada GAM dan orang banyak bersimpati untuk keberadaan organisasi tersebut. Dalam perjalanan waktu menjadi istri Muzakir lah, Ana mulai “menghayati” kesehariannya yang tak setenang air telaga, tak sedamai berumah tangga seperti dirasakan perempuan lain di desanya. Diam-diam ia merasa telah ikut berjuang, walau tak memanggul senjata.
“Memang saya tak pernah turun ke arena tempur sebagaimana Inong Balee misalnya. Tapi saya pikir dengan sendirinya saya telah ikut berjuang. Sebab saya telah menjadi seorang istri pejuang. Paling tidak saya berjuang untuk diri saya sendiri, semisal berpindah-pindah tempat atau harus lari saat persembunyian telah diketahui. Setidak-tidaknya saya berjuang untuk menyelamatkan anak saya, berpisah dari saudara, orangtua kandung, dan sanak keluarga lainnya. Mau bilang apa, memang sudah begitu,” ungkap Ana yang tiba-tiba seolah menarik senyum dari rautnya yang sedari tadi merekah. Beberapa saat perempuan tamatan SMP Palda Krueng Geukueh Aceh Utara ini agak muram, bagai sedang menelan seluruh kepahitan masa lalunya.
Terlebih ketika berkisah bagaimana ia sulit nyenyak pada malam-malam Muzakir sedang bertempur, apalagi setiap suaminya bertempur dan tidak mungkin kembli bermalam di rumah Ana harus “eksodus” sementara ke rumah orang dekat, teman, atau kemana yang bisa sebab ibunda Ana pun menganjurkan tak pulang ke rumah. “Sebenarnya saya tak pernah merasa takut dan masih bisa tertawa, sampai-sampai orang yang tahu status saya juga heran. Tapi toh saya tetap was-was, waspada, dan harus menyelamatkan diri? Siapakah yang tahu apa yang terjadi didepan?”
Hidup makin “genting” sangat dirasakan Ana ketika pemberlakuan masa darurat. Bergulirlah babak baru dalam keutuhan rumah tangganya, yang tadinya “tentram” dan nyaris selalu dekat suami. Gong “perpisahan” berdentang, tak perduli Ana tengah mengandung 1,5 bulan anak keduanya. Yang lebih memprihatinkan, Ana mulai diketahui khalayak tertentu sebagai istri Muzakir. Sebagian orang di kampung halamannya mulai tak menyukainya. Memang Ana tak diusir secara tegas, namun tetap dianjurkan tidak tinggal lagi di kampung yang mulai terendus sebagai tempat tinggalnya Muzakir dan keluarga.
Sebagai perempuan yang selalu mengusir rasa takutnya dan disisa-sisa ketegarannya, Ana mau tak mau harus meninggalkan desa kelahirannya. Ia dan jabang bayi menumpang di salah satu rumah temannya di Desa Leuen Daneun, Matang, tempat mana ia melahirkan anak kedua yang “duplikatnya” Muzakir, pada Januari 2004. “Sedih juga saya waktu itu. Melahirkan tanpa suami dan hanya ditemani adik kandung saya yang amat menyayangi saya. Syukur saya melahirkan normal, dan Sunil yang waktu lahir 3,7 kilo tak rewel.”000
Ana masih ingat bagaimana dia tak bisa kemana-mana. Makan bergizi memang dijaganya, tapi apapun ceritanya ia harus mendekam dirumah. Kalaupun harus pergi seorang diri Ana harus tetap mencari akal terhadap semua pertanyaan yang menghadangnya. Manakala harus memeriksakan kadungannya pacsaberpisah dengan suami, Ana juga harus merangkai bohong lagi.
“Di Matang saya memang agak leluasa menyimpan jati diri. Saya bersimpati terhadap orang yang rela menyembunyikan identitas saya waktu itu. Suatu hari ada yang bertanya keberadaan suami saya. Saya katakan ia seorang pekerja kapal dan hanya pulang setahun sekali. Di saat lain saya mengatakan suami sedang berniaga di Malaysia. Paling lucu ketika memeriksakan kandungan saya yang ke lima bulan. Waktu itu saya datangi dr Marzuki. Setengah memaksa saya katakan agar cepat diperiksa karena tempat tinggal saya di Pantonlabu, pahal saya takut juga berlama-lama mengantri. Saya pun mendaftar sebagai Nurhayati. Saat nama saya dipanggil berkali-kali, saya malah bengong saja. Saya lupa kalau saya terdaftar sebagai nyonya Nurhayati. Apa boleh buat kan, saya harus agak menyamar lagi. Saya seorang diri dan harus bisa menjaga diri,” urai Ana dan membuat suasana pembicaraan makin akrab dan jenaka.
Perempuan yang ketika menikah berusia 19 tahun ini pun sempat “bersandiwara” manakala ditangkap dan 27 hari di tahan TNI. Demi supaya tidak disinyalir sebagai istri Muzakir, Ana lagi-lagi berkelit dengan mengatakan ia memang pernah menjadi istri Muzakir tapi sudah lama tak punya hubungan apapun lagi dengan Muzakir. Malah Ana mengatakan tak suka lagi kepada suaminya itu dan mereka telah bercerai. Di tempat tinggal sementaranya di Matang, Ana juga mengatakan tak ada yang tahu dirinya istri Muzakir.
Saat itu Ana memang diperlakukan baik dalam tahahan, namun bentakan demi bentakan membuat nyalinya kecut juga. Belum lagi bila membayangkan dua buah hatinya. Yang kecilm masih berusia dua bulan pula. Itu sebabnya ia berusaha membersihkan diri dari tuduhan istri GAM. Tak lain agar cepat-cepat dilepas. Satu hal yang membuat hatinya sedikit lega manakala tak semua aparat dimana ia ditahan mengetahui dirinya sebagai Ny Muzakir.Ana bahkan dikatakan istri prajurit lainnya yang kebetulan ditahan.
Keluar dari tahanan, cerita kesendirian belum berakhir sebab Ana baru bertemu Muzakir kembali pada 22 Agustrus 2005. Juga demi keselamatan Ana hatus tinggal di tempat abangnya di Jakarta.
Kini kendati tak bisa berumah secara tetap di Meunasah Papeun (sering ke kampong halaman), Ana telah bisa melenggang ke pasar untuk membeli gorden sendiri lalu mengantar ke tukang jahit tanpa ditemani siapa-siapa dan kecemasan dibuntuti seseorang. Atau lancer saja ke Pasar Ulee Kareng untuk belanja muatan dapurnya dengan mengendrai sepeda motor pula. Yang pertama dia berlega hati karena hampir tak ada orang yang mengenalinya, suasana sudah aman, dan yang terpenting bisa menjadi sosok istri seperti istri-istri yang lain, dekat dengan suami dan dalam kondisi psikis tidak tegang, kalau-kalau ada pemeriksaan seperti hari-hari lampaunya.
Bukan berarti sebagai istri tak terbetik keinginan kemana-mana ditemani suami. Bagi Ana sekali-kali saja di antar ke Pasar Aceh misalnya, sudahlah memadai. Pada perinsipnya Ana tak mau merepotkan suami dengan urusan-urusan kecil. Dekat dengan suami tanpa halangan sekaligus bisa dengan tenang merawat dua buah cintanya, itulah kebahagiaan Ana sekarang.
Salah satu kenangan manis yang pernah lintas di masa lalu Ana adalah ketika menjadi Ratu sehari di pesta pernikahannya. Kecuali Muzakir tak menolak duduk bersanding, pesta itu terhitung gebyar untuk kelas desanya. Ana pun bahagia saat itu tengah di rahimnya ada calon yunior pertama yang berusia dua bulan. Lalu, dalam perhelatan itu banyak saudaranya dari kota ikut kondangan. Ada yang tahu statusnya dan sangat sedikit yang tahu kalau mempelai lelaki adalah Muzakir Manaf yang telah menjadi buah bibir orang Aceh kala itu.
Sambil agak geli Ana mengatakan, waktu menikah malam pengantinnya tertunda tiga hari. Ketika pestanya digelar, rumahnya dijaga ketat oleh para prajurit TNA. “Ramai juga yang jaga.” Ironisnya justru tak ada kasak kusuk kalau yang menikah adalah orang penting. Kontras tak sempat mengorek lebih jauh ihwal lelaki yang pernah dicintainya sebelum Muzakir Manaf datang yang tanpa proses pacaran itu. Waktu kian berangkat tengah hari, lalu Ana minta maaf menyudahi wawancara karena harus mengemas keperluan Banta dan Sunil yang hendak diajak menjenguk sang nenek di kampung. Hari itu juga Ana pun harus berbelanja berbagai persiapan dapur, sebab belakangan perempuan yang lebih suka berkarir sebagai ibu rumah tangga ini, acapkali mau tak mau menjamu makan tetamu yang datang. Sah-sah saja, Bukankah Ana kini berstatus istri salah satu orang penting juga di Nanggroe ini?
Nani.HS
Pukul 9.35 WIB Senin (17/4), rumah Muzakir Manaf sedang dikunjungi beberapa tamu keluarga dan tamu organisas GAM, plus sejumlah orang yang berurusan dengan renovasi rumahnya di kawasan Desa Meunasah Papeun Krueng Barona Jaya, Aceh Besar. Wartawati Kontras, Nani HS, berusaha memperoleh kesempatan wawancara di tengah-tengah keluarga yang sedang tidak dalam suasana santai itu. Apalagi kedua orangtua Banta Syarif (3,5) dan Sunil (2) ini sekitar usai waktu zuhur Senin itu hendak mudik ke Nisam. Kendati hampir 60 menit menunggu, Kontras akhirnya mendapat restu Muzakir untuk bisa berbicang dengan istrinya, Marlina binti Usman, kelahiran Nisam, 10 Februari 1980. Walau kami hanya sempat ngobrol sekitar 20 menit apalagi sebentar-sebentar pembicaraan terputus karena harus melayani tamu lainnya, inilah petikan sepenggal kisah Ana (panggilan Marlina) seputar suka dukanya menjadi istri mantan Panglima TNA. Misalnya ia dengan tegas menjawab pertanyaan Muzakir mengapa bersedia menikah dengan GAM. “Kenapa harus takut? Kemanapun saya pergi kalau harus mati, ya mati. Semuanya kan takdir.”
.Apa Boleh Buat Saya Harus Menyamar
“Saya senang sekarang sudah aman. Mudah-mudahan tak kan terulang lagi pertikaian seperti yang sudah-sudah Kita berdoa teruslah aman,” kata Marlina sembari menebar senyum kecilnya ketika ditanyai bagaimana ia mengartikan perdamaian di Aceh sekarang ini.
Nun tahun 2000 ketika pertama kali berjumpa dengan Muzakir Manaf di rumahnya pada 8 Februari, lalu menikah pada usai magrib (10/2) lewat tuan kadi, Tgk Imum Do, perempuan kuning langsat hidung mancung dan berpenampilan sederhana ini, sudah siap menjadi istri TNA. Waktu itu Ana tak tahu bila Muzakir seorang panglima GAM, namun dia tahu dirinya bakal tak seleluasa istri orang lain yang tak terlibat TNA.
Sebelumnya Ana pun tak pernah tahu apa sebenarnya GAM atau TNA itu, apatah lagi ikut berjuang. Tetapi ia tahu di Aceh ada GAM dan orang banyak bersimpati untuk keberadaan organisasi tersebut. Dalam perjalanan waktu menjadi istri Muzakir lah, Ana mulai “menghayati” kesehariannya yang tak setenang air telaga, tak sedamai berumah tangga seperti dirasakan perempuan lain di desanya. Diam-diam ia merasa telah ikut berjuang, walau tak memanggul senjata.
“Memang saya tak pernah turun ke arena tempur sebagaimana Inong Balee misalnya. Tapi saya pikir dengan sendirinya saya telah ikut berjuang. Sebab saya telah menjadi seorang istri pejuang. Paling tidak saya berjuang untuk diri saya sendiri, semisal berpindah-pindah tempat atau harus lari saat persembunyian telah diketahui. Setidak-tidaknya saya berjuang untuk menyelamatkan anak saya, berpisah dari saudara, orangtua kandung, dan sanak keluarga lainnya. Mau bilang apa, memang sudah begitu,” ungkap Ana yang tiba-tiba seolah menarik senyum dari rautnya yang sedari tadi merekah. Beberapa saat perempuan tamatan SMP Palda Krueng Geukueh Aceh Utara ini agak muram, bagai sedang menelan seluruh kepahitan masa lalunya.
Terlebih ketika berkisah bagaimana ia sulit nyenyak pada malam-malam Muzakir sedang bertempur, apalagi setiap suaminya bertempur dan tidak mungkin kembli bermalam di rumah Ana harus “eksodus” sementara ke rumah orang dekat, teman, atau kemana yang bisa sebab ibunda Ana pun menganjurkan tak pulang ke rumah. “Sebenarnya saya tak pernah merasa takut dan masih bisa tertawa, sampai-sampai orang yang tahu status saya juga heran. Tapi toh saya tetap was-was, waspada, dan harus menyelamatkan diri? Siapakah yang tahu apa yang terjadi didepan?”
Hidup makin “genting” sangat dirasakan Ana ketika pemberlakuan masa darurat. Bergulirlah babak baru dalam keutuhan rumah tangganya, yang tadinya “tentram” dan nyaris selalu dekat suami. Gong “perpisahan” berdentang, tak perduli Ana tengah mengandung 1,5 bulan anak keduanya. Yang lebih memprihatinkan, Ana mulai diketahui khalayak tertentu sebagai istri Muzakir. Sebagian orang di kampung halamannya mulai tak menyukainya. Memang Ana tak diusir secara tegas, namun tetap dianjurkan tidak tinggal lagi di kampung yang mulai terendus sebagai tempat tinggalnya Muzakir dan keluarga.
Sebagai perempuan yang selalu mengusir rasa takutnya dan disisa-sisa ketegarannya, Ana mau tak mau harus meninggalkan desa kelahirannya. Ia dan jabang bayi menumpang di salah satu rumah temannya di Desa Leuen Daneun, Matang, tempat mana ia melahirkan anak kedua yang “duplikatnya” Muzakir, pada Januari 2004. “Sedih juga saya waktu itu. Melahirkan tanpa suami dan hanya ditemani adik kandung saya yang amat menyayangi saya. Syukur saya melahirkan normal, dan Sunil yang waktu lahir 3,7 kilo tak rewel.”000
Ana masih ingat bagaimana dia tak bisa kemana-mana. Makan bergizi memang dijaganya, tapi apapun ceritanya ia harus mendekam dirumah. Kalaupun harus pergi seorang diri Ana harus tetap mencari akal terhadap semua pertanyaan yang menghadangnya. Manakala harus memeriksakan kadungannya pacsaberpisah dengan suami, Ana juga harus merangkai bohong lagi.
“Di Matang saya memang agak leluasa menyimpan jati diri. Saya bersimpati terhadap orang yang rela menyembunyikan identitas saya waktu itu. Suatu hari ada yang bertanya keberadaan suami saya. Saya katakan ia seorang pekerja kapal dan hanya pulang setahun sekali. Di saat lain saya mengatakan suami sedang berniaga di Malaysia. Paling lucu ketika memeriksakan kandungan saya yang ke lima bulan. Waktu itu saya datangi dr Marzuki. Setengah memaksa saya katakan agar cepat diperiksa karena tempat tinggal saya di Pantonlabu, pahal saya takut juga berlama-lama mengantri. Saya pun mendaftar sebagai Nurhayati. Saat nama saya dipanggil berkali-kali, saya malah bengong saja. Saya lupa kalau saya terdaftar sebagai nyonya Nurhayati. Apa boleh buat kan, saya harus agak menyamar lagi. Saya seorang diri dan harus bisa menjaga diri,” urai Ana dan membuat suasana pembicaraan makin akrab dan jenaka.
Perempuan yang ketika menikah berusia 19 tahun ini pun sempat “bersandiwara” manakala ditangkap dan 27 hari di tahan TNI. Demi supaya tidak disinyalir sebagai istri Muzakir, Ana lagi-lagi berkelit dengan mengatakan ia memang pernah menjadi istri Muzakir tapi sudah lama tak punya hubungan apapun lagi dengan Muzakir. Malah Ana mengatakan tak suka lagi kepada suaminya itu dan mereka telah bercerai. Di tempat tinggal sementaranya di Matang, Ana juga mengatakan tak ada yang tahu dirinya istri Muzakir.
Saat itu Ana memang diperlakukan baik dalam tahahan, namun bentakan demi bentakan membuat nyalinya kecut juga. Belum lagi bila membayangkan dua buah hatinya. Yang kecilm masih berusia dua bulan pula. Itu sebabnya ia berusaha membersihkan diri dari tuduhan istri GAM. Tak lain agar cepat-cepat dilepas. Satu hal yang membuat hatinya sedikit lega manakala tak semua aparat dimana ia ditahan mengetahui dirinya sebagai Ny Muzakir.Ana bahkan dikatakan istri prajurit lainnya yang kebetulan ditahan.
Keluar dari tahanan, cerita kesendirian belum berakhir sebab Ana baru bertemu Muzakir kembali pada 22 Agustrus 2005. Juga demi keselamatan Ana hatus tinggal di tempat abangnya di Jakarta.
Kini kendati tak bisa berumah secara tetap di Meunasah Papeun (sering ke kampong halaman), Ana telah bisa melenggang ke pasar untuk membeli gorden sendiri lalu mengantar ke tukang jahit tanpa ditemani siapa-siapa dan kecemasan dibuntuti seseorang. Atau lancer saja ke Pasar Ulee Kareng untuk belanja muatan dapurnya dengan mengendrai sepeda motor pula. Yang pertama dia berlega hati karena hampir tak ada orang yang mengenalinya, suasana sudah aman, dan yang terpenting bisa menjadi sosok istri seperti istri-istri yang lain, dekat dengan suami dan dalam kondisi psikis tidak tegang, kalau-kalau ada pemeriksaan seperti hari-hari lampaunya.
Bukan berarti sebagai istri tak terbetik keinginan kemana-mana ditemani suami. Bagi Ana sekali-kali saja di antar ke Pasar Aceh misalnya, sudahlah memadai. Pada perinsipnya Ana tak mau merepotkan suami dengan urusan-urusan kecil. Dekat dengan suami tanpa halangan sekaligus bisa dengan tenang merawat dua buah cintanya, itulah kebahagiaan Ana sekarang.
Salah satu kenangan manis yang pernah lintas di masa lalu Ana adalah ketika menjadi Ratu sehari di pesta pernikahannya. Kecuali Muzakir tak menolak duduk bersanding, pesta itu terhitung gebyar untuk kelas desanya. Ana pun bahagia saat itu tengah di rahimnya ada calon yunior pertama yang berusia dua bulan. Lalu, dalam perhelatan itu banyak saudaranya dari kota ikut kondangan. Ada yang tahu statusnya dan sangat sedikit yang tahu kalau mempelai lelaki adalah Muzakir Manaf yang telah menjadi buah bibir orang Aceh kala itu.
Sambil agak geli Ana mengatakan, waktu menikah malam pengantinnya tertunda tiga hari. Ketika pestanya digelar, rumahnya dijaga ketat oleh para prajurit TNA. “Ramai juga yang jaga.” Ironisnya justru tak ada kasak kusuk kalau yang menikah adalah orang penting. Kontras tak sempat mengorek lebih jauh ihwal lelaki yang pernah dicintainya sebelum Muzakir Manaf datang yang tanpa proses pacaran itu. Waktu kian berangkat tengah hari, lalu Ana minta maaf menyudahi wawancara karena harus mengemas keperluan Banta dan Sunil yang hendak diajak menjenguk sang nenek di kampung. Hari itu juga Ana pun harus berbelanja berbagai persiapan dapur, sebab belakangan perempuan yang lebih suka berkarir sebagai ibu rumah tangga ini, acapkali mau tak mau menjamu makan tetamu yang datang. Sah-sah saja, Bukankah Ana kini berstatus istri salah satu orang penting juga di Nanggroe ini?
Nani.HS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar