26/12/07

KISAH DOKTER YANG RELA MENYEKA AIRMATA PASIEN

Keramahan yang tampak tidak dibuat-buat. Ini juga mencuat kala dokter atau perawat berhadapan dengan pasien di ruang praktek. Kecuali karena ada obat-obat sekaligus perban dan alat-alat kedokteran sederhana, di ruang praktek yang hanya berukuran 4x6 meter tersebut dan hanya ada dua ranjang pengobatan (tadinya ruang shalat), tak tampak kesan “menakutkan”, layaknya dirasakan sebagian orang ketika datang berobat ke rumah sakit.

Kemarin ada tiga orang dari tim medis Samur ini menangani luka M Hidayat, warga Lamteumen Timur (korban tsunami yang sekarang mengungsi di Jalan Kakap Lampriek). Dari pintu ruang praktek yang setengah terkuak Serambi sempat mengintip. Dokter dan perawat sedang cas-cis-cus berbahasa Spanyol. Mereka juga tertawa-tawa ramah sembari menangani luka belah di kaki Hidayat.

Anehnya, Hidayat tak menyembulkan rona takut atau gurat tersinggung. Malah senyam-senyum juga ia sendiri, walau tak sepotong pun dari pembicaraan mereka dimengertinya ––sebab saat itu satu-satunya penerjemah di tempat itu sedang memanggil pasien berikutnya. Ketika Hidayat ke luar ruang praktek (di wajahnya masih ada masih ada senyum), ia sempat mengutarakan perasaannya kepada Serambi. “Hayeu that, Kak. Pokok jih hayeu man-mandum. Pakiban ipeulaku tanyoe, ramah, tanyoe ipeulaku lagee ngon mantong” (Hebat sekali, Kak. Pokoknya semua-semua hebat. Bagaimana dia menangani kita, ramah, kita diperlakukan bagai teman saja,” urai Hidayat yang empat hari ke depan harus berobat ulang.

Bukan Hidayat saja yang terkesan dengan cara kerja mereka. Nahrasiah, sekretaris Ruang Anak RSUZA yang bernama akrab Bunda yang menjadi penerjemah sukarela di Samur, berpendapat sama. “Saya terkesan betul dengan keramahan mereka. Mereka itu sangat mementingkan hubungan perasaan. Mereka bekerja dengan sentuhan, terutama sentuhan perasaan. Pernah seorang anak menangis karena ketakutan. Mereka ke luar mengejar, menjemput anak tersebut hingga kembali berobat. Si anak diberi bombon, boneka, atau balon dari negeri mereka. Nah, kalau ada pasien yang menangis, mereka tak segan-sega menyeka airmatanya sekaligus memberi pengertian-pengertian menyangkut derita pasien,” kata Nahrasiah yang menerjemah dengan bahasa Inggris.

Sayangnya, Samur, yang rata-rata dikunjungi 25 pasien setiap hari, memang kekurangan penerjemah. Berhubungan dengan tim relawan Samur, Nahrasiah mengandalkan satu dari mereka yang bisa (alakadarnya) berbahasa Inggris, senada juga dengan Nahrasiah. Jangan heran kalau komunikasi sempat juga terputus-putus dan harus mengulang maksud masing-masing.

Namun, Nahrasiah yang relawan perorangan yang sampai kemarin mengaku tidak dibayar apa-apa kecuali makan, tetap bersinergi dalam kerja, boleh jadi sekali-kali memperlengkap diri dengan bahasa tubuh juga. Tapi yang jelas, kata Nahrasiah, konsep ramah-tamah tim Samur, nyatanya berdampak positif bagi pasien. Kita bekerja seperti sebuah keluarga.

Begitu pula pengakuan Kepala Rumah Sakit Kesdam Banda Aceh, dr Taufiq Urahman SpD. “Kebetulan di Kesdam ada relawan dari Korea. Mereka memang ramah dan sopan sekali. Mereka disenangi masyarakat. Sampai-sampai, saking berkesannya, mereka kembali ke rumah sakit sembari bawa oleh-oleh, rambutan misalnya,” kata Taufiq.

Tim medis dari negara gingseng ini seluruhnya ditempatkan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Tak lain karena minimnya jasa penerjemah. Kendati begitu suasana begitu marak. Kalau di kamp Samur dokter dan perawat wanitanya hanya enam orang, di antaranya Mieros dan Elena (dari sekitar 50 relawan termasuk bagian sanitasi, mesin, dan air bersih), di IGD Kesdam ada delapan perawat dan delapan dokter (spesialis kulit, tulang, penyakit dalam, dan ahli bedah).

Lebih seru lagi, ketika mendengar dialek bahasa dari komunitas dokter Kota Seul ini. Ibarat sedang berada di tengah-tengah komunitas Tionghoa. Cas-cis-cus-nya lebih tajam dan relatif menghentak. Namun, kesan kedekatan tetap menonjol ketika sedang menangani pasien, baik dari cara kerja yang detail dan hati-hati, maupun dari raut wajah yang ramah tapi serius.

Dokter Ahli Bedah Choi Moon-Sung yang siang kemarin hanya bersandal dan mengenakan kain sarung, dalam posisi jongkok tak segan meraih kaki seorang pasien ke lututnya. Sambil “mempreteli” kaki berluka abses tersebut, melalui jasa penerjemah dari negerinya, Nyonya Song, berkali-kali menerangkan perihal kaki si pasien tersebut. Dokter yang tak kelihatan bermata sipit ini tak sendiri. Ia juga “dikerubuti” para perawat. Pembicaraan antara mereka memang tak diterjemahkan, namun secara universal mengesankan membicarakan kasus pasien yang bersangkutan.

Tentu Serambi ingin bertanya kesan salah seorang pasien yang baru mendapat perawatan. Dery namanya. Yang bertempat tinggal di Luengbata Banda Aceh ini selain salah satu korban tsunami juga belum lama kecelakaan lalu lintas. “Wah puas saya berobat di sini. Yang pertama, jelas rumah sakitnya dan kebetulan ada tim dokter dari Korea yang menurut saya cukup profesional,” puji anak baru gede ini dengan wajah cerah. Dia pun harus kembali berobat jalan. Sama seperti ratusan lainnya atau perlakuan yang sama untuk sekitar 125 pasien yang sedang dirawat inap di RS militer ini.

Yang lebih penting seperti yang dikatakan, dr Taufiq, pihaknya tidak menerima relawan kesehatan yang cuma singgah satu dua hari ke Rumkitnya. “Saya tak ingin mereka hanya merusak suasana kerja. Bagi kepentingan kesehatan tak baik cara kerja seperti itu. Kita perlu orang yang mau bekerja lebih lama, ya paling tidak dua minggulah. Sayang dong pasien harus berganti-ganti dokter. Baru kemarin berobat dengan satu dokter, eh waktu kembali tiga hari berikutnya sudah ganti dokter lagi. Itu tidak baik bagi rumah sakit dan pasien sendiri kan?” katanya. Kemarin masih ada ratusan pasien yang antre menunggu giliran berobat. Kalau ditanya kenapa, rata-rata mereka dengar dari mulut ke mulut, “Ramah betul dokter asing itu. Puas kita dilayaninya”.

By : Nani HS - Serambi Indonesia




Tidak ada komentar: