30/07/07

SLOW ROCK DEWI SAFITRI, BEBAN CINTA RINDU DAN PATAH HATI

SERAMBI INDONESIA
29/07/2007 10:30 WIB


Sedang kasmaran? Slow Rock Dewi S sepertinya memang sedang bicara ihwal kemanusiawian itu. Saat fall in love biasanya kita suka pada tema cinta, rindu, bahkan sebaliknya, patah hati. Benar, seperti kata Titiek Puspa, jatuh cinta berjuta rasanya, amboi indahnya. Inilah yang terkemas dalam Slow Rock Dewi S. Album perdana milik Dewi Safitri, pendatang baru di dunia rekaman lagu-lagu Aceh.

Tak dimungkiri bahwa suara Dewi memang bernilai jual, terlebih untuk lagu-lagu berirama tenang. Wajar saja, karena Dewi telah mengalami masa pembelajaran olah vokal yang relatif panjang. Kalau tidak, mana mungkin Dewi acap kali menjuarai berbagai festival di level Aceh (misalnya keroncong, 2006 dan lagu Melayu, 2004) dan tingkat Indonesia (Keroncong, 2004). Tentu bagi komunitas seni suara, utamanya pelanggan ajang festival di Aceh, bahkan tingkat Indonesia, sudah tak asing lagi dengan kualitas vokal dan olah vokal warga Blangbintang, Aceh Besar, ini.

Kendati kiprahnya di dunia tarik suara sudah berbilang tahunan, namun baru kali ini Dewi tampil dalam album, slow rock pula. Tapi jangan salah. Anda yang “alergi” dengan lagu rock tak perlu moh dengan Slow Rock Dewi S yang keseluruhan lagu dan liriknya karya Samsul Vata itu. Kemasan yang mengandalkan nomor Troeh Hate, Asmara, Janji, dan Lumpoe, nyatanya tak “seangker” slow rock sebenarnya tuh. Memang intro pembuka Troeh Hate (lagu pertama) terhitung cadas, tapi sebenarnya ketika Dewi menyanyi terdengar bagai pop biasa. Tak ada warna slow rock Dewi yang tajam, apalagi total. Pada bagian reff sekalipun, yang seharusnya punya tingkat kesulitan yang tinggi dan harus ke luar warna rock-nya, tapi Dewi hanya setengah “bendera” saja kibarannya.

Boleh jadi, ini semua gara-gara Dewi kurang latihan atau memang latar belakang Dewi bukanlah penyanyi rock, melainkan sebagai penyanyi lagu Melayu Deli, pop, keroncong, dan dangdut. Entahlah, jangan-jangan ini memang sebuah kolaborasi yang setengah berkolaborasi? Artinya, Slow Rock Dewi S memang lagu pop Aceh, tapi bermusik slow rock. Yang ngerock musiknya, Dewi tidak.

Tak mengapalah, ini bisa saja menyangkut selera. Hanya saja, bagaimana andai ada penggemar slow rock yang kecewa, ketika memiliki kaset Dewi? Ah, ini siapa yang salah? Bagaimana kalau kita “persalahkan” orang yang melabelkan kaset ini, yang telah menabalkannya sebagai produk slow rock? Anggap saja Dewi “dipaksa” menyanyi lagu yang bukan jalurnya. Kita pun harus maklum, siapa tahu di balik ini ada alasan klisenya, permintaan pasar. Atau jenis dangdut sudah banyak di pasaran, kalau dikemas keroncong malah tidak laku.

Tapi sayang dong Dewi yang potensi di pop atau Melayu Deli itu disetel untuk slow rock (sementara Dewi tak pas menyanyikan ragam rock). Padahal, lagu pop ––asal mantap–– tak seret kok di pasaran daerah kita ini. Ingat album Payong Keunangan (Geulumpang Raya Groups)? Album lagu berbahasa Aceh irama pop yang diproduksi jauh sebelum tsunami dan berlanggam Melayu itu, sempat melejitkan nama penyanyinya. Malah saking larisnya, Payong Keunangan waktu itu sampai diproduksi ulang dan dalam tempo singkat ludes. Mudah-mudahan keberuntungan serupa akan diraih Slow Rock Dewi S.

Ketidaknyamanan kedua mendengar album ini adalah saat Dewi tak fasih berbahasa Aceh. Kalau album ini memang utamanya diedarkan di Aceh untuk orang Aceh, tentu bahasa Acehnya harus kuat. Dari tata bahasanya hingga pengucapannya. Mubazir suara Dewi yang “sedap”, tapi lafal Acehnya, meukeulido (maaf). Kalau sudah komit memilih lagu berbahasa Aceh, berbahasa Acehlah dengan baik dan benar. Penyanyi yang profesional akan berbuat begitu. Tak perlu malu dengan bahasa sendiri.

Setelah itu, album ini bermasalah pula dengan sejumlah ejaan kata (bayangkan kalau lagu-lagunya dinyanyikan oleh penyanyi non-Aceh, maka akan lebih bersalahan). Sebut saja ada kata salem (salam) mestinya saleuem, menan (begitu) mestinya meunan, male (malu) mestinya malee, lake (minta) mestinya lakee, senang mestinya seunang. Bahasa menentukan dekat tidaknya lagu bersangkutan dengan publiknya lho. Belum lagi ada pemilihan kata yang kurang tepat. Apa tidak lebih bagus kata Kanda diganti Cut Bang? Rindu maunya dipakai meusyen; kata “walaupun” diganti bahthat pih. Belum lagi lafal deurita diucapkan Dewi bukan dengan khas Aceh, tapi dengan ucapan deritha, kanda menjadi kandha. Tidak bermaksud menggurui, mungkin ini juga perlu pembelajaran lagi jika Dewi ingin tetap profesional di jalur lagu berbahasa Aceh. Percayalah lagu yang dinyanyikan Dewi akan bertambah banyak peminatnya.

Lalu catatan lain, bila dihubungkan dengan syariat Islam materi Slow Rock Dewi S memang terlalu fana, belum kelihatan pesan moralnya. Kanda keuh bandum gairah hudep lon nyoe (seharusnya Samsul Vata bisa mencari personifikasi lain ––yang tetap bermakna betapa pentingnya seorang kekasih dalam hidup ini. Jadi tak terkesan bahwa hanya dengan cinta kepada kekasihlah yang bisa bikin hidup ini gairah. Penulis lirik rupanya lebih suka blak-blakan dalam pujian-pujian cintanya yang kalau ditilik lagi, tak pantas rasanya diucapkan secara terbuka oleh perempuan Aceh. Padahal, oleh orang yang pengalaman rohaninya lebih kuat (seperti Dewi yang sering juara musabaqah tilawatil Quran dan mahasiswi IAIN Ar-Raniry), gairah hidup bukan tok dari dicintai/mencintai sang pacar).

Bagaimana pendapat Anda dengan lirik Teugoda berikut ini? Kayem lon kalon menarek hate/Aleh pakon menan/Soe keuh pemuda nyan oh…/Lon keuneuk marit keujuet-keujeut han/Lon takot male/Hana sambotan//Di dalam hate nyoe teumanyong keudroe/Pajan keuh meurumpok Kanda/Peukeuh nyoe cara alasan lon ba/Pemuda nyoe sidroe ulon teugoda/Smaken lon pandang maken teurasa/Gairah teuka mengundang cinta//

Reff:Uroe-uroe lon senang/Malam pih troh meubayang/Rupa pemuda nyang di ruweung mata/Bit ulon ka teugoda//Dengon hati nyang dalam/Ngon perasaan lon lake/Neuteupeukeuh hate nyoe/Lon kamabok cinta/Keudroeneuh hai pemuda.

Nah, andai penyanyi profesional, beranikah Anda menyanyikan lagu yang sangat berterus terang ini? Kalau berani, itu pertanda, perempuan Aceh sudah proaktif bahkan “berani” dalam mengutarakan cinta secara terang-terangan. Kalau album ini laris manis nantinya, berarti persoalan ini akan mendorong kalangan muda berpikir moderat soal kebebasan pengungkapan cinta. Padahal, kalau dipandang dari segi etika (bukan perspektif gender) apa yang terpapar dalam Teugoda, mestinya merupakan rahasia hati seorang perempuan. Tapi ini hanya sebuah apresiasi, selanjutnya terseran Anda (meminjam istilah salah satu parfum).

Yang tak lupa pantas dipujikan, di saat banyak penyanyi lagu Aceh (orang Aceh) mengeluarkan album dengan tata wajah yang tak berdimensi syariat, sampul Slow Rock Dewi S cukup apik. Dewi nan manis yang menutup aurat (kepala) dengan “siluet” modern, sidikitnya membuat penyuka kaset lagu Aceh mau menoleh ke rak-rak kaset di pasaran.

Lalu, ada yang “renyah” di album ini. Dewi sering berimprov dengan menyeret nada-nadanya. Sebut saja dalam Pilehan Hate, Lumpoe. Ada falset yang enak didengar. Kalau bisa kita tebak, Dewi seperti terobsesi dengan Siti Nurhaliza, penyanyi kondang asal Malaysia. Jika benar, (kalau bisa kita tebak lagi), secara pasar (kalau tidak gede rasa), Dewi sah-sah saja bisa “menggaet” publiknya Siti, bukan?

Kabar baik lainnya, Salman Varisy dan Hasan Basri M Nur selaku produser, sedang berupaya menawarkan “sistem baru” dalam memberikan penghargaan bagi penyanyi dan pencipta lagu di Aceh, yaitu pemberian royalty kepada penyanyi dan pencipta lagu. Langkah terhormat ini dimulai pada album Slow Rock Dewi S. Kalau berhasil, ini bagus, bukan saja bagi Dewi.

Yang jelas, tulisan ini sekadar apresiasi segi artistik dan estetika yang dilatarbelakangi rasa berkesenian. Tak bertendensi macam-macam.

Sebagai produk seni, album Slow Rock Dewi S tetap punya kualitas sendiri dan pangsa tersendiri. Beruntunglah Salman Varisy dan Hasan Basri sebagai produser. Sebab, kualitas vokal Dewi memang tidak bisa “dipandang” sebelah mata.

Nani.HS



Tidak ada komentar: