23/07/07

AROMA MODERN DALAM "MUARA TEDUH" RAFLY

 Serambi Indonesia : 22/07/2007 10:45 WIB

[ rubrik: Serambi | topik: Budaya ]


MODERN cenderung jazz-fusion, itulah kesan pertama menyimak lagu Ampuni pada sisi A cassette rekaman terbaru Rafly, Muara Teduh. Kalau dari segi arrangement (Darwin), tak dipungkiri Ampuni memang ragam modern dengan harmoni yang kuat dan padat. Hanya lengking oktaf tinggi khas Rafly nan bercengkok Melayu yang menandai Rafly hadir kembali dan masih terasa milik Serambi Mekah ini.

Atau mungkin juga lantaran salah satu kekuatan lagu-lagu yang ditulis Rafly punya rentak Melayu yang selama ini kita percayai memiliki benang merah dengan Aceh?
Bukan Ampuni saja yang beraroma seperti itu. Nomor kedua, Suara Hati (lagu; Rafly, lirik; dikutip oleh Maskirbi (alm) dari syair Rabi‘ah Al Adawiah, Arr; Fauzi), juga hampir sama idiomnya. Sama kentara rentak jazzy dan fusion-nya, biarpun tidak senada seirama.

Nomor terakhir sisi A, Kasih Ibu (lagu & lirik; Rafly, arr; Darwin/Rafly), malah sangat kental ramuan modernnya. Dengarlah, ada juga ragam “orkestra” yang didominasi suara biola dan piano di sana. Menjadikan Kasih Ibu milik semua orang, bukan milik etnis Aceh, Jawa, Sunda, Kalimantan, dan seterusnya. Kasih Ibu yang mampu menyentuh kalbu lagi mengharukan itu adalah sesuatu yang modern milik Nusantara.

Nah, sebagai penikmat dan peminat lagu-lagu Aceh, ketika menyimak Muara Teduh yang berbahasa Indonesia, apakah Anda merasa Rafly mulai menjauh dan berantara dari kita, dari akar budayanya? Bukan lagi Rafly yang kental dengan bahasa Aceh seperti yang kita kenal? Maybe yes, maybe no, kata orang sono. Ini tentu menjadi relatif, di tengah-tengah kita menuju modernisasi, bahkan globalisasi, di hampir segala lini. Rafly pun boleh jadi hendak menuju ke sana, bukan?

Barangkali Rafly sendiri tak pernah merasa dan bermaksud menjadi orang lain, kecuali seorang penyanyi lagu Aceh, walau sebenarnya selama ini kita telanjur mengidentikkan Rafly dengan lagu Aceh nan heroik, mendidik, dan islami. Namun, mungkin saja bagi Rafly Muara Teduh adalah eksplorasinya, proses kreatifnya. Siapa tahu lewat Muara Teduh yang berdimensi dakwah islamiah itu, Rafly ingin lebih memerdekakan lagu-lagunya ke wahana yang lebih luas, tak sekadar berkutat di kancah lagu-lagu berbahasa Aceh. Go Indonesia, begitu kira-kira.

Barangkali juga ayah tiga anak ini menginginkan Muara Teduh menjadi universal, sekaligus mudah dinikmati siapa pun di republik ini? Atau adakah lahirnya Muara Teduh tak luput dari tujuan mendongkrak “oplah” dan memperluas jaringan sirkulasi kaset? Who knows?

Tapi fair saja, melihat sepak terjangnya di dunia kesenian, terutama seni suara, plus pertemanannya dengan kalangan musisi nasional semisal Krakatau Group dan kemampuan vokalnya, Rafly memang sudah pantas melang-lang ke level metropolis kita kok. Minimal itu kesan dari komunitas seni di Indonesia seperti dilansir media-media nasional selama ini, terutama di era pascatsunami.

Muara Teduh nan religi dan meneduhkan itu pun sah-sah saja disandingkan dengan produk Opik, misalnya. Memang Muara Teduh, hanya tampil dengan tiga lagu baru (Kasih Ibu, Nurul Qalbi, Ampuni), tapi inilah Rafly dalam bahasa Indonesia ––kecuali Yatim (lagu; Rafly, lirik Medya Hus, arr; Fauzi) yang berbahasa Aceh yang diaransir ulang hingga lebih menyentuh, jadilah sebagai pengobat rindu orang Aceh, dan Nurul Qalbi (lagu; Rafly, lirik; Abu Habib Seumayan, arr; darwin/Rafly) yang berbahasa Arab-Indonesia. Tapi entah kenapa, best cut Muara Teduh (lagu Muara Teduh) yang sebenarnya lagu lama, syairnya diganti dengan yang baru (bukan dialihbahasakan dari versi lama yang berkisah tentang Hasan-Husen). Tapi jujur saja, ternyata ide itu lebih bagus hasilnya. Lebih serius dan mendidik, berbicara tentang perjuangan anak manusia menuju ukhrawi.

Well, kalau Rafly tak lagi meramu lagu-lagu berbahasa Aceh, siapa yang bisa melarang? Kesenian bukan politik. Dalam kesenian tidak ada diskriminasi, bahkan dinding pembatas, kan? Biarlah Rafly berkolaborasi, lalu mengalir di arus perkembangan zaman. Biarlah Rafly menjadi milik Indonesia. Kita juga yang bangga, kan?

Kalau berbicara rindu, siapa pula yang tak rindu? Tapi cobalah mempersiapkan diri bahwa siapa tahu suatu saat kita akan kehilangan Rafly dalam roh keacehan. Mudah-mudahan taklah begitu.

Namun, yang penting, dengan Muara Teduh Rafly sedikitnya tetap nimbrung berdakwah seperti album-album terdahulunya, sesuai dengan eksistensi dan kapasitasnya di seni suara. Toh banyak cara membangun atau berbuat demi syariat. Betul, tidak?

Nani.HS




Tidak ada komentar: