20/07/07

CHRISTINE HAKIM : AYO SEKOLAH, ANAK PEREMPUAN PRIORITAS

SERAMBI INDONESIA
19/07/2007 10:51 WIB

“Terutama dalam masalah pendidikan, tak boleh ada diskriminasi. Anak perempuan seharusnya tetap diprioritaskan,” ujar Christine Hakim kepada wartawan, di Markas Unicef Program Aceh, Jalan Shadah 2 Banda Aceh, Rabu (18/7) kemarin.

Perempuan kelahiran Kuala Tungkal, Jambi, 25 Desember 1956 yang sejak Agustus 2004 menjadi Duta Nasional Unicef ini, terlihat bersemangat bicara soal pendidikan. Padahal, saat itu wajahnya tampak berkilat karena berpeluh. Maklum, di Unicef tugas utamanya adalah mempromosikan hak-hak anak Indonesia. Lagi pula aktris besar Indonesia dan produser film ini, kali ini datang untuk mengampanyekan Program “Ayo Sekolah” (Unicef).

Meski ia menekankan anak perempuan harus diprioritaskan untuk bersekolah, cuma dia mengakui hal itu memang problematik. “Ya, karena masalah budaya itu lho. Masyarakat kita kan middle cost. Kalau di keluarga miskin yang punya empat anak, nah orang tua biasanya tak mampu menyekolahkan semua anaknya, sehingga harus menetapkan prioritas. Lha biasanya prioritas itu adalah laki-laki. Bukan melihat mana yang mampu yang diprioritaskan. Saya kira, ini satu budaya yang harus diubah,” kata Christine.

Ia ingatkan, program education for all (pendidikan untuk semua) yang dicanangkan pada tahun 1990, tidak akan pernah jalan, bila masih ada sekat-sekat budaya di sana. Adanya polarisasi prioritas antara yang laki-laki dengan yang wanita.

Menurut istri Edo Edward Jeroen Lezar ini, kalau budaya yang lebih mementingkan anak laki-laki masih harus dipertahankan, alamat kerugian akan kita alami nantinya. Kita tak akan bisa melahirkan generasi yang dengan kualitas yang baik.

Lalu bagaimana sih mengatasi ekses budaya tadi?

Dengan pasti Christine menegaskan bahwa mengatasi itu, harus kita mulai dari diri kita sendiri. Jadi, kalau memang kita melihat anak perempuan kita punya kemampuan lebih, jangan dihambat. Jangan karena dia perempuan, lalu dikatakan, toh suatu hari dia jadi istri dan masak di dapurlah pekerjaannya.

“Perempuan itu harus ada revolusi pemikiran. Tentunya dalam hal ini orang tua. Alangkah idealnya kalau laki-laki pun mengerti akan hal ini. Jangan berpikir toh laki-laki kepala rumah tangga. Kenyataannya kenapa Mbak-mbak ada di sini (Christine menanya kepada wartawan yang perempuan -red)? Zaman sudah berubah,” kata perempuan peraih tujuh penghargaan bidang seni dalam dan luar negeri dan sosok yang sering menjadi juri dalam even seni budaya internasional ini.

Dia juga mengatakan, itulah juga yang menjadi salah satu kendala Unicef. Kenapa akhirnya education for all keberhasilannya baru hanya 65%. Dari 65 % itu pun, kira-kira 65% adalah anak perempuan yang tidak diprioritaskan pendidikannya.

Namun, si pemeran utama film Tjoet Nja‘ Dhien ini cukup optimis kalau suatu hari nanti anak-anak Aceh akan maju. Seperti kebahagiaannya melihat Aceh yang sekarang sudah relatif maju. “Ayo Sekolah, sudah tiga tahun. Saya bahagia sekali saya datang kali ini, saya lega. Ada revolusi. Dari keadaan emergency kini sudah kelihatan ada progresnya,” ungkapnya lalu tiba-tiba terdiam, seolah sekejab menikmati kebahagiaannya itu.

Kalaupun Ayo Sekolah tidak mencapai target maksimal, Christine menargetkan minimal anak-anak tetap bersemangat untuk kembali ke sekolah. Sebab, menurutnya, anak-anak Aceh sangat beruntung dibanding dengan anak-anak Indonesia lainnya. Perlu bersyukur, lantaran mendapat fasilitas dari Unicef.

Christine lalu memaparkan maksud tersebut. Bahwa Aceh akan mendapatkan 367 sekolah yang akan diselesaikan sampai tahun 2008 (30 unit akan selesai tahun ini, dan 110 sedang dibangun) dengan total biaya 100.000.000 US dolar.

Itu sebabnya baik kemarin pagi di Simpang Keuramat Montasik, Aceh Besar, (ketika menyerahterimakan sekolah), maupun ketika press conference kemarin siang, ia berharap segenap lapisan masyarakat Aceh harus menjaga kemudahan yang diberikan Unicef itu. Termasuk mendidik anak-anak untuk menjaga dan merawat lingkungan sekolahnya.

Sepuluh gedung sekolah yang diserahterimakan kepada masyarakat Aceh Besar itu kemarin, meliputi SDN Ateuk Kuta Baro, SDN Neusok Teubaluy Darul Kamal, SDN Rumpet Krueng Barona Jaya, SDN Simpang Keuramat Montasik, SDN Seuneubok Seulimuem, SDN Desa Teuladan Lembah Seulawah, SDN Lambirah Sukamakmur, SDN Ie Seuuem Masjid Raya, SDN Leungah Seulimum, dan SDN Cot Jeumpa Seulimum. Total dananya 250.000 US dolar.

Berkali-kali Christine mengingatkan bahwa bantuan tersebut bukanlah bantuan dan biaya yang kecil. Kualitas bangunan tersebut, menurutnya, bisa bertahan minimal 30 tahun, asalkan di-maintenance dengan baik.

“Untuk itulah Aceh harus belajar mandiri dengan berpartisipasi, apresiatif, dan komitmen dari masyarakatnya, dari pemerintah daerah dan wartawan harus membantu, supaya pembangunan di Aceh ini seperti yang diharapkan,” harap Christine Hakim.

Masih soal pendidikan dia pun tak lupa menyinggung soal guru yang harus ikhlas dan rela berkorban jika sudah committed memilih jadi guru. Tak ketinggalan soal pengadaan mata pelajaran tertentu, sebab kita ini adalah multietnis. Paling tidak mata pelajaran kesenian daerah, bahasa daerah harus dihidupkan lagi dan harus masuk kurikulum. Jadi anak-anak kita tidak tercabut dari akarnya. Lalu dengan otonomi daerah, daerah seharusnya mempunyai otoritas untuk mengembangkan kurikulum pendidikan disesuaikan dengan keadaan daerah setempat. Juga dengan sistem pengajaran yang tepat. Itu sebabnya perlu training yang memberi bekal kepada guru untuk kreatif, sehingga guru tidak pasif. “Pemerintah pun harus memperhatikan salery guru, agar mereka bergairah dalam proses belajar mengajar,” harap Christine mengakhiri pertemuan.

Sosok matang dalam hampir segala hal ini tak sudi diajak bicara soal film, apalagi hal-hal nan mempribadi. “Aku sedang bosen ngomong film,” ungkapnya yang lewat pendidikan mengaku ingin mencapai kualitas hidup yang lain. The meaning of life.

Nani.HS



Tidak ada komentar: