Koran Tempo, Minggu, 08 Juli 2007
(Sulaiman Tripa, Penulis dan Editor Buku)
Produksi buku sastrawan Aceh melimpah. Kritikus masih minim.
BELUM lagi kumpulan sajak Aku Agam dengan 99 Nama karya Wiratmadinata yang diluncurkan 28 Mei surut dibicarakan, telah muncul lagi karya-karya baru sastrawan Aceh. Bulan lalu Aliansi Sastrawan Aceh (ASA), dengan dukungan dana dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR) kembali menelurkan 10 judul buku baru.
Buku-buku itu terdiri atas kategori hikayat, puisi, cerita pendek, novel, dan esai. Sebelum kesepuluh buku tersebut muncul, ASA juga telah menerbitkan antologi puisi pada 2005, bekerja sama dengan Japan Aceh Net. Lalu ada lagi buku memoar sastrawan modern Aceh, Hasyim KS, yang beredar pada 2006, bekerja sama dengan Dewan Kesenian Aceh (DKA).
Penerbitan buku telah menampakkan wajah baru sastra di Aceh. Tsunami menjadi semacam titik balik perkembangan sastra yang kini berlangsung pesat. Beberapa komunitas sastra, seperti Tikar Pandan, Lapena, Amuk, ASA, Dewan Kesenian Banda Aceh (DKB), serta Seniman Bangkit, seakan berlomba-lomba menerbitkan buku.
Diskusi dan kelas menulis dibuka di banyak tempat. Sekolah Do Karim (kelompok Tikar Pandan) tiap semester membuka kelas. Kelas menulis secara terbatas juga dibuka Lapena. BRR mensponsori kegiatan kelas menulis “Seuramoe Tumuleh”. Forum Lingkar Pena Aceh pun rutin melakukan diskusi sastra.
Dalam tiga tahun terakhir, sastrawan Aceh memang sedang genit menggeliat. Komunitas Tikar Pandan mengembangkan sayapnya mendirikan Aneukmulieng Publishing, yang menerbitkan sejumlah karya sastra. Lapena sudah menerbitkan 14 buku (lima di antaranya nonfiksi). Begitu pula Amuk Community.
Penerbit buku di Aceh ada yang mendapat sokongan dana dari berbagai lembaga dan ada juga yang mulai bergerak dengan "berbisnis". Tikar Pandan sudah menerbitkan beberapa buku dengan modal sendiri yang pas-pasan sebagaimana Lapena, yang kemudian dijual. Keuntungannya dipergunakan untuk menerbitkan buku selanjutnya.
Adanya dana dapat menjadi penanda lembaga masih bertahan. Lembaga yang sangat bergantung pada donatur pada akhirnya terpaksa tiarap karena kehabisan tenaga. Lembaga yang bertahan adalah lembaga yang tidak sepenuhnya menggantungkan pendanaan pada penyandang dana.
Itulah perkembangan sastra Aceh mutakhir, yang sangat berbeda dengan empat atau sepuluh tahun lalu. Tema yang dipilih para penulisnya pun semakin beragam. Para penulis muda umumnya sudah mulai melihat tema-tema "pinggir" yang tak jarang menabrak "standar". Mereka juga terkenal agresif.
Kondisi ini berbeda dengan sebelumnya, di saat penulis senior dominan dalam penerbitan buku. Tapi, dari segi bedah karya, masa lalu harus diakui lebih semarak. "Pengadilan" dan diskusi sastra pernah berlangsung pesat pada 1990-an. Tapi kegiatan itu kini berhenti. Menurut kabar, kritik-mengkritik karya belum sepenuhnya dapat diterima oleh sebagian penulis.
Sekarang perkembangan buku sastra masih belum diimbangi dengan adanya kritikus sastra. Kalaupun ada, juga berasal dari penulis karya yang mencoba-coba melihat karya penulis lain.
Fenomena ini membuka peluang munculnya potensi subyektivitas, baik dalam melihat karya maupun penulis karya dalam melihat pengkritik. Ditambah lagi dengan pengkritik yang jarang menguasai "ilmu" kritik. Kalaupun kemudian muncul orang yang mengkritik, potensi mengkritik pengkritik juga muncul, seolah-olah ada persaingan penulis dan pekarya yang saling mematikan.
Suasana ini kontradiksi dengan yang terjadi di luar Aceh: beberapa karya penulis Aceh sudah dibedah di beberapa tempat. Beberapa orang seperti Azhari, Fikar W. Eda, Mustafa Ismail, dan L.K. Ara adalah penulis yang karyanya sering dibedah di luar Aceh.
Diskusi karya ini sebenarnya yang akan membantu orang lain melihat kelebihan dan kekurangan dalam karya. Seperti di Aceh, bila jalan ini tidak dipilih, sepertinya sulit mengukur sejauh mana kualitas sastra yang berkembang di Aceh saat ini.
Kurangnya diskusi karya sastra di Aceh mungkin dipengaruhi oleh semangat yang dimiliki para penulis di sana: bahwa yang penting bagi penulis adalah menulis dan melahirkan karya. Kerap kali, karena semangat ini, para pengkritik dianggap sebagai "hakim pemvonis" yang tidak perlu ada dalam perkembangan sastra, khususnya di Aceh. Padahal tak selalu begitu!
(Sulaiman Tripa, Penulis dan Editor Buku)
Produksi buku sastrawan Aceh melimpah. Kritikus masih minim.
BELUM lagi kumpulan sajak Aku Agam dengan 99 Nama karya Wiratmadinata yang diluncurkan 28 Mei surut dibicarakan, telah muncul lagi karya-karya baru sastrawan Aceh. Bulan lalu Aliansi Sastrawan Aceh (ASA), dengan dukungan dana dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR) kembali menelurkan 10 judul buku baru.
Buku-buku itu terdiri atas kategori hikayat, puisi, cerita pendek, novel, dan esai. Sebelum kesepuluh buku tersebut muncul, ASA juga telah menerbitkan antologi puisi pada 2005, bekerja sama dengan Japan Aceh Net. Lalu ada lagi buku memoar sastrawan modern Aceh, Hasyim KS, yang beredar pada 2006, bekerja sama dengan Dewan Kesenian Aceh (DKA).
Penerbitan buku telah menampakkan wajah baru sastra di Aceh. Tsunami menjadi semacam titik balik perkembangan sastra yang kini berlangsung pesat. Beberapa komunitas sastra, seperti Tikar Pandan, Lapena, Amuk, ASA, Dewan Kesenian Banda Aceh (DKB), serta Seniman Bangkit, seakan berlomba-lomba menerbitkan buku.
Diskusi dan kelas menulis dibuka di banyak tempat. Sekolah Do Karim (kelompok Tikar Pandan) tiap semester membuka kelas. Kelas menulis secara terbatas juga dibuka Lapena. BRR mensponsori kegiatan kelas menulis “Seuramoe Tumuleh”. Forum Lingkar Pena Aceh pun rutin melakukan diskusi sastra.
Dalam tiga tahun terakhir, sastrawan Aceh memang sedang genit menggeliat. Komunitas Tikar Pandan mengembangkan sayapnya mendirikan Aneukmulieng Publishing, yang menerbitkan sejumlah karya sastra. Lapena sudah menerbitkan 14 buku (lima di antaranya nonfiksi). Begitu pula Amuk Community.
Penerbit buku di Aceh ada yang mendapat sokongan dana dari berbagai lembaga dan ada juga yang mulai bergerak dengan "berbisnis". Tikar Pandan sudah menerbitkan beberapa buku dengan modal sendiri yang pas-pasan sebagaimana Lapena, yang kemudian dijual. Keuntungannya dipergunakan untuk menerbitkan buku selanjutnya.
Adanya dana dapat menjadi penanda lembaga masih bertahan. Lembaga yang sangat bergantung pada donatur pada akhirnya terpaksa tiarap karena kehabisan tenaga. Lembaga yang bertahan adalah lembaga yang tidak sepenuhnya menggantungkan pendanaan pada penyandang dana.
Itulah perkembangan sastra Aceh mutakhir, yang sangat berbeda dengan empat atau sepuluh tahun lalu. Tema yang dipilih para penulisnya pun semakin beragam. Para penulis muda umumnya sudah mulai melihat tema-tema "pinggir" yang tak jarang menabrak "standar". Mereka juga terkenal agresif.
Kondisi ini berbeda dengan sebelumnya, di saat penulis senior dominan dalam penerbitan buku. Tapi, dari segi bedah karya, masa lalu harus diakui lebih semarak. "Pengadilan" dan diskusi sastra pernah berlangsung pesat pada 1990-an. Tapi kegiatan itu kini berhenti. Menurut kabar, kritik-mengkritik karya belum sepenuhnya dapat diterima oleh sebagian penulis.
Sekarang perkembangan buku sastra masih belum diimbangi dengan adanya kritikus sastra. Kalaupun ada, juga berasal dari penulis karya yang mencoba-coba melihat karya penulis lain.
Fenomena ini membuka peluang munculnya potensi subyektivitas, baik dalam melihat karya maupun penulis karya dalam melihat pengkritik. Ditambah lagi dengan pengkritik yang jarang menguasai "ilmu" kritik. Kalaupun kemudian muncul orang yang mengkritik, potensi mengkritik pengkritik juga muncul, seolah-olah ada persaingan penulis dan pekarya yang saling mematikan.
Suasana ini kontradiksi dengan yang terjadi di luar Aceh: beberapa karya penulis Aceh sudah dibedah di beberapa tempat. Beberapa orang seperti Azhari, Fikar W. Eda, Mustafa Ismail, dan L.K. Ara adalah penulis yang karyanya sering dibedah di luar Aceh.
Diskusi karya ini sebenarnya yang akan membantu orang lain melihat kelebihan dan kekurangan dalam karya. Seperti di Aceh, bila jalan ini tidak dipilih, sepertinya sulit mengukur sejauh mana kualitas sastra yang berkembang di Aceh saat ini.
Kurangnya diskusi karya sastra di Aceh mungkin dipengaruhi oleh semangat yang dimiliki para penulis di sana: bahwa yang penting bagi penulis adalah menulis dan melahirkan karya. Kerap kali, karena semangat ini, para pengkritik dianggap sebagai "hakim pemvonis" yang tidak perlu ada dalam perkembangan sastra, khususnya di Aceh. Padahal tak selalu begitu!
Beberapa karya seniman Aceh:
2005
· Lagu Kelu (Antologi puisi, Aliansi Sastrawan Aceh dan Japan Aceh Net)
· Ziarah Ombak (Antologi puisi, Lapena)
· Menunggu Pagi Datang (Antologi cerpen, Lapena)
· Malam Memeluk Intan (Novel, Sulaiman Tripa)
· Hikayat Sang Gila (Novel, Saiful Bahri)
· Syair Tsunami (Antologi puisi, Balai Pustaka)
· Rapai Sobek (Antologi puisi dan cerpen, Yayasan Matahari)
2005
· Lagu Kelu (Antologi puisi, Aliansi Sastrawan Aceh dan Japan Aceh Net)
· Ziarah Ombak (Antologi puisi, Lapena)
· Menunggu Pagi Datang (Antologi cerpen, Lapena)
· Malam Memeluk Intan (Novel, Sulaiman Tripa)
· Hikayat Sang Gila (Novel, Saiful Bahri)
· Syair Tsunami (Antologi puisi, Balai Pustaka)
· Rapai Sobek (Antologi puisi dan cerpen, Yayasan Matahari)
2006
· Serdadu Tua Nguyen Pulan (Memoar Hasyim KS, DKA)
· Meunasah di Gampong Kamoe (Cerita anak, Sulaiman Tripa)
· Indahnya Nikmat Tuhan (Cerita anak, Herman R.N.)
· Ketika Musim Jamblang Tiba (Cerita anak, Alfi Rahman)
· Kampung dalam Goa (Karya peserta kelas menulis, Aneukmulieng Publishing)
· Meusyen (Antologi cerpen, Aneukmulieng Publishing)
· Tungku (Novel, Salman Yoga)
· Nyanyian Manusia (Antologi puisi, Mohd. Harun al Rasyid)
· Surat dari Negeri Tak Bertuan (Antologi puisi, D. Kemalawati)
· Pada Tikungan Berikutnya (Antologi cerpen, Musmarwan Abdullah)
· Selayang Pandang Sastrawan Aceh (Nonfiksi, Lapena)
· Bayang Bulan di Pucuk Mangrove (cerpen, DKB)
· Dandelion (Antologi puisi dan cerpen, Amuk)
· Puisi Didong Gayo (Antologi puisi, LK Ara)
2007
· Haba Angen Pot (Hikayat, Hasbi Burman)
· Hikeumah Tsunami (Hikayat, Ameer Hamzah)
· Seumangat Aceh (Hikayat, Hilmi Hasballah)
· Tarian Cermin (Antologi puisi, Mustafa Ismail)
· Luka Poma (Antologi puisi, Maskirbi)
· Yang (Antologi puisi, M. Nurgani Asyik)
· Serenade Senja (Antologi cerpen, Nani HS dan AR Nasution)
· Orang-orang Pos 327 (Antologi cerpen, M.N. Age)
· Romansa Taman Cinta (Novel, Arafat Nur)
· Sastra dan Problematika Pembelajarannya di Aceh (Esai, Mukhlis A. Hamid)
· Seulusoh (Novel, D. Kemalawati)
· Tanah Perempuan (Naskah drama, Helvy Tiana Rosa)
· Aloen Buloek (Novel, Ayi Jufridar)
· Serdadu Tua Nguyen Pulan (Memoar Hasyim KS, DKA)
· Meunasah di Gampong Kamoe (Cerita anak, Sulaiman Tripa)
· Indahnya Nikmat Tuhan (Cerita anak, Herman R.N.)
· Ketika Musim Jamblang Tiba (Cerita anak, Alfi Rahman)
· Kampung dalam Goa (Karya peserta kelas menulis, Aneukmulieng Publishing)
· Meusyen (Antologi cerpen, Aneukmulieng Publishing)
· Tungku (Novel, Salman Yoga)
· Nyanyian Manusia (Antologi puisi, Mohd. Harun al Rasyid)
· Surat dari Negeri Tak Bertuan (Antologi puisi, D. Kemalawati)
· Pada Tikungan Berikutnya (Antologi cerpen, Musmarwan Abdullah)
· Selayang Pandang Sastrawan Aceh (Nonfiksi, Lapena)
· Bayang Bulan di Pucuk Mangrove (cerpen, DKB)
· Dandelion (Antologi puisi dan cerpen, Amuk)
· Puisi Didong Gayo (Antologi puisi, LK Ara)
2007
· Haba Angen Pot (Hikayat, Hasbi Burman)
· Hikeumah Tsunami (Hikayat, Ameer Hamzah)
· Seumangat Aceh (Hikayat, Hilmi Hasballah)
· Tarian Cermin (Antologi puisi, Mustafa Ismail)
· Luka Poma (Antologi puisi, Maskirbi)
· Yang (Antologi puisi, M. Nurgani Asyik)
· Serenade Senja (Antologi cerpen, Nani HS dan AR Nasution)
· Orang-orang Pos 327 (Antologi cerpen, M.N. Age)
· Romansa Taman Cinta (Novel, Arafat Nur)
· Sastra dan Problematika Pembelajarannya di Aceh (Esai, Mukhlis A. Hamid)
· Seulusoh (Novel, D. Kemalawati)
· Tanah Perempuan (Naskah drama, Helvy Tiana Rosa)
· Aloen Buloek (Novel, Ayi Jufridar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar