Cerita Pendek ·
SERAMBI INDONESIA 07/12/2004 10:30 WIB
[ penulis: Nani HS ]
“Segera pulang hari ini juga. penting.” Werr, dadaku. Dada suamiku. dada kami semua. Kabar kabur lewat telegram yang menukikkan sakit ke ubun, merapuhkan ketegaran. Lebih mengguncang, daripada mendengar kabar yang sesungguhnya, sekalipun duka.
Aku paling tidak bisa dikejutkan seperti itu. Kecuali langsung mual, aku bisa ke wc saat itu juga. Kesal aku. Apa maunya mereka itu? Berita kok kabur. Memang kami saudara-saudaranya ini punya seribu jantung yang boleh dipacu semena-mena? Bok ya bikin telegram yang jelas sedikit, jangan memuat sejuta pertanyaan begitu.
Memangnya kami tak punya iman bila mendengar taqdir yang sebenarnya? Kabar orang sekarat sekalipun kendati sangat mendebarkan toh akan lain rasanya, bila diberitahu secara transparan dan hati-hati. Bukan disodori kecemasan begini. Ini bukan lelucon, kejutan, apapun namanya buat berseloroh.
Ada apa di kampung? Ada yang ditangkap? Atau bapak barangkali? Bapak sakit parah? Tapi kabar tiga hari lalu bapak masih bugar-bugar saja.
Malah bapak mengirim manisan asam jawa kesayanganku, tak lupa sebakul salam kasihnya melalui tetanggaku, Makcik Salam. Bayangan ketuaannya langsung saja berkelebat dalam benakku. Apakah sekarang bapak harus menjalani fungsi akhir raga tipisnya? Tak, lebih sebagai onggok kenangan buat anak cucu?
Ah tidak. Ketuaan bukan ukuran kematian yang segera.
Bila masanya, kematian bisa menjemput kapanpun, kepada siapapun, termasuk yang masih orok. Namun ketuaan bapak memang menggundahkanku sejak lama. Kerena ketuaan itu pula aku tak sampai hati mengurut betisnya yang nyaris tak berdaging, kepalanya, keningnya saat diopname bulan lalu.
Waktu itu antara prihatin dan kerelaanku teraduk-aduk. Kesanku memang beda dengan apa yang dirasakan bapak. Rasaku gebalau, rasa bapak kemillau dengan percaya diri yang tinggi. Dia paling tak suka dibantu atau dicemasi bolak-balik dari kampung dengan sepeda motor, misalnya. tapi aku selalu dag dig dug kalau dia sudah bepergian.
Kalau dia bicara padaku, bukan main. Rada “genit” juga bila tengah hanyut dengan masa lalunya yang enerjik dan berdisplin tinggi. Selalu terkesan menyindir santainya anak sekarang. Apalagi nafsi-nafsinya. Wah bukan main, di belakangku dia sempat memujiku sebagai menantu satu-satunya yang tahu diri. Selalu hormat meski berhadapan dengan kumuh dirinya dalam sakit. Anaknya yang lebih setengah lusinpun tak becus mengurusinya. Ya jijik, malas, ngomel capek lah.
Tapi bukan lantaran pujian itu aku jatuh sayang pada sang mertua. Tak bisa kujelaskan bagaimana akurnya hubungan batin kami. Mau tak mau ada kekosongan yang saling terisi. Aku tahu, itu bukan cinta, kecuali sekadar rasa persahabatan. Mungkin lantaran kami sama bermasalah. Yang satu kehilangan pamor di tengah-tengah keluarga. Sedang aku babak belur dengan persoalanku yang butuh seseorang tempat mencurah rasa, selain suamiku.
Oh Bapak, akankah aku tidak sempat menyaksikan lagi kamu datang dari kampung naik honda, lengkap dengan segala macam oleh-oleh yang kau ikat di hampir seluruh tubuh motor hadiah undian dari tabunganmu di bank daerah itu?
Bapakku sayang, ada apa? Penyakit darah manismu kambuh lagi? Itulah, engkau tak bisa lepas dari kopimu. Tak perduli walau sedang kehabisan sakarinmu. Aduh bapak bagaimana dengan hypertensi-mu bapak? Mengingat itu airmataku meleleh juga.
Konon mengingat ketabahannya kala sakit. Mengingat kami sering masak bersama-sama makanan kesayang kami. Mengingat dia selalu duduk di bagian kepalaku, bila menunggu aku sakit. Aduh, sumpah mati aku sayang mertuaku itu. Akulah yang masih bisa memaklumi kebiasaannya yang nyaris kembali ke tabiat anak-anak. Dengan aku pula yang bernama Syamaun Nyak Syeh itu mau bercerita soal kaki cacatnya, gara-gara suatu wabah penyakit waktu perang Cumbok.
Lalu dia bisa terkekeh bila mengulang soal kuntilanak yang pernah mengganggunya ketika masih menjabat mantri kepala di sebuah rumah sakit kabupaten. “Jangankan kuntilanak, bapak pernah tidur dengan mayat. Habis, tidur di sal berisik sekali, bapak tak bisa pulas, makanya bapak pilih tidur dengan mayat,” mertuaku tambah terkekeh sampai seluruh gigi palsunya jelas berjajar. Dan “kegenitan” itu tak pernah dicuatkannya dengan orang lain, bahkan dengan anaknya sendiri.
Laki-laki itupun pernah juga membeberkan kisah masa kecil suamiku yang diperlakukan sebagai bos yunior oleh para bawahannya, di rumah sakit. Tak lupa, bagaimana suamiku minta sambal terasi, padahal waktu itu ia sedang kena muntah berak. Begitupun suamiku dimanja para perawat. Seringkali membuatkan es di kulkas rumah sakit, khusus untuk suamiku. Kalau sudah bercerita, aku dan bapak bukan main rileksnya. Tapi tunggu, tunggu dulu! Sekitar dua bulan lalu, tiba-tiba bapak minta kawin lagi dengan Nyak Maneh yang kurang pas pikirannya.
Itukah pertanda bapak hendak meninggalkan perangai? Memang aku sempat terbahak mendengar cerita tukang cuciku waktu itu. Aku menganggapnya seloroh. Masa iya sih kakek-kakek mau menikahi gadis dua puluhan. Lagi pula bapak tak punya sifat Don Yuan. Oh bapak, jangan pergi dulu. Tidak, masih banyak anekdot yang belum kudengar darimu bapak. Benarkah mudikku bulan lalu bulannya perpisahan kami?
Ya Tuhan, lepas magrib tadi iparku yang anak perempuan kesayangannya begitu gelisah, kendati ibu beranak tiga itu paling gengsi dengan kecengengan. Aku juga melihat geliat gelisah dan pucat di wajah itu. Diapun sempat mengira kalau-kalau telegram itu sinyal berpulangnya bapak.
Suamiku yang arif memadamkan kesuhahanku, gebalauku, kendati berpeluh juga wajahnya. Hilang kata-katanya.
Mungkin tak saja mempersoalkan bakal kehilangan orangtua. Bagaimana dengan ongkos berangkat atau masalahku yang pemabuk darat dan selalu butuh ini itu sebagai penangkal muntah. Namun bagaimanpun kami memang harus pulang. Kuminum obat antimabuk, kupasang koyo cabe, persis menutup pesarku. Aku harus kuat untuk berangkat. Ini masalah kasih sayang, kesetiaan, rasa hormat, kemanusian, dan martabat keluarga.
Kalau tidak, esok lusa bisa merambat jadi penyesalan.
Tidak. Bapak tidak akan meninggalkan kami sekarang, kata hatiku. Semoga belum terlambat. Bapak masih diperlukan. Bapak belum boleh berhenti bernostalgia, menerawangi simbol masa lalu yang menggairahkan. Sungguh laki-laki loyal plus tak banyak bicara yang disegani warga sekampung.
Bapak mantri yang mujarab, yang mau naik sepeda berkilo meter untuk pasiennya, yang banyak menolong orang papa. Kemahiran babak membuat aquades, sering dipakai rumah sakit bila kehabisan stok, yang masa itu sulit didapatkan, terlebih kalau terjadi kasus endemi tertentu. Pokonya bapak sosok teladan.
“Cepatlah!” Bentak suamiku, ketika aku siap tak siap mengemasi keperluan berangkat.
“Sebentar Bang. Yasin dan mukenaku ketinggalan nih,” kataku dengan nada kusabar-sabarkan, kelembut-lembutkan.
“Memangnya bawaanmu itu barang langka, di kampung kan ada?” Bentakan itu menjadi lebih kuat. Suamiku yang sejak tadi berusaha menyembunyikan kegelisahan, kiranya lepas kontrol juga.
“Bukan begitu, barang kecil kan diurus sendiri. Kalau rumah sedang ramai mencari bantalpun sulit kok,” jawabanku begitu saja. Entah dari mana, firasat burukku tentang babak tak bisa ditawar lagi. Benar, lututku semakin bergetar juga saat di rumah adik kami, Ibrahim. Tempat kami, anak dan para menantu berkumpul untuk berangkat bareng.
Tak tahu pertanda apa, tapi ipar perempuanku yang membawa kabar dari rumah ke rumahpun sekarang digilir celaka pula. Gawat juga kondisinya. Sibuk-sibuk lalulintas magrib mengkaparkannya tak sadar diri, setelah disenggol beca di tikungan menanjak menuju rumah Ibrahim. Guncang hatiku. Duh, jatuh ditimpa tangga pula.
“Bagaimana Din,” tanyaku pada kemanakan yang datang dari rumah sakit. “Cek Miswani sudah sadar dan mau kemari, gak papa. Tadi dia sempat menggigau soal kakek. Tadi sebelum kecelakaan, sebenarnya cek Mis bilang kakek sudah meninggal. Entah darimana dia tau?” “Hah? Din, kakek meninggal?” Setelah sekali terjerit aku pingsan rupanya. Aku baru menangis lagi ketika tersengat bau aude cologne.
lronisnya ketegaran ragaku malah membaik dalam perjalanan seratusan kilometer ke kampungku. Seperti juga lima kemanakanku tak saling rewel. Atau barangkali para bocah sama tercekam seperti enam kami orangtuanya?
Benar atau tidak, yang kutau hanya terdengar deru bus jarak jauh, berbaur dengan sayup angin gunung, basah mataku, dan bisu suamiku.
Kegelisahan bagai tak berujung. Mengalir juga ke tangan suamiku yang tanpa lelah mengurut dahi, jemariku yang kaku dan ngilu oleh mual yang datang. Membuat jarak kampung bagai berlipat ganda. Bahkan ketika kami sudah berada di becak dayung. Hanya derit tiga rodanya dan udara menjelang subuh saja yang bicara. Itupun seperti mengganggu dan menggidikkan bulu roma.
Belum lagi berada di lorong-lorong kampung kami yang terlampu redup, belukar yang menyemaki deret perumahan yang tak elok. Bunyi gesekan daun bambu dan bau kotoran sapi menggenapkan rasa mencekam kami. Persis pukul lima dini hari becakku sampai di gerbang rumah kami. Kulihat lampu teras tak berneon lagi dan berganti pijar sepuluh watt. Sedaun jendela dan pintupun tak terkuak. Serem sekali kurasa. Bagaimana mungkin rumah kami sesunyi itu.
Apalagi dalam cuaca kemalangan. Kenduri kecil-kecilan yang merebahkan satu ayam sajapun tidak ada? Seharusnya rumah tua kami bertamu lumayan banyak, karena kami memang keluarga besar. Aku terpana di ujung halaman. Betapapun sejak tadi seperti ingin terbang cepat-cepat mau ketemu bapak, berat juga langkahku sekarang. Terus terang aku terkadang penakut. Becak lainnya masih puluhan meter di belakangku. Aku belum berani masuk pintu halaman.
Ketika becak lainnya menyusul satu-satu, ada semacam rasa kelu dan entah apa namanya. Kami semua sesaat bagai terpacak di halaman, seolah perasaan kami sama. Suamiku lalu berada di depan dengan dua kali ketukan di pintu. Tiba-tiba ada yang mengaroma di hidungku. Harum melati dan bunga melur di halaman terlalu tajam, bertambah datang pula kepengecutanku. Sekaligus saja aku ingin berada di tengah-tengah yang lain. Suamiku serta merta memegang leherku bagian belakang.
Dia tahu betul, kalau sedang ketakutan, leherku harus dipegang. Begitupun berkurang rasa takutku, bila berjalan di tengah barisan, tak ke muka dan tak ke kebelakang. “Mak,” sergahku. Kusalami ibu mertua sebagaimana adat istiadat. Seperti biasa masih ada peluk cium. Kali ini mamak tak menangis lagi. Namun jelas garis mukanya keras dan kelu.
“Bapak?”
“Ada,” sahut mamak langsung mengamit lengan suamiku diekori dua saudara iparku yang lain menuju tempat tersudut dan tersuram di rumah kami. Kudengar mamak bisik-bisik. Kami yang menantu perempuan cukup terpojok di sudut lain. Antara tertanya-tanya dan sungkan bicara. “Macam-macam saja!” Suara suamiku tak sebiasanya. Dia marah.
“Jangan beginilah caranya. Siapa yang bikin telegram?” kulihat tinju suamiku kian membulat.
“Saya sampai tak minta izin di kantor. Itu si Miswani ditabrak becak, untung tidak kenapa-kenapa. Muka anaknya tergores batu. Mestinya kami yang laki-laki kan yang menerima berita, jangan dia yang jantungan itu?” suara suamiku makin tak enak didengar, dan bergegas ke kantor telepon untuk mengabarkan kondisi bapak pada Miswani.
“Huh, macam-macam saja, kasak kusuk tak menentu,” balas Ibrahim iparku, nyaris memecahkan Subuh, apalagi setelah tau kalau tadi sore tetua kampung sampai datang ke rumah.
Ibu mertuaku terkesima. Hilang keahlian berkilahnya. Surat dari Kuakec di tangan suamiku, diraihnya kembali.
“Dimana bapak mak?” Ulangku. Tak menunggu jawaban kucoba saja menuju kamar bapak. Di sana, bapak terbujur. Ah masih ada denyut di dada, bahkan nafasnya keluar teratur, sedikit mengorok. Kupegang dahinya kuselimuti dia. Dahinya pun tak panas seperti orang demam. “Bacalah ini.” kata ibu mertuaku. Cermat-cermat kuamati surat secarik yang jadi sumber debaran. Surat itu dari KUA yang harus ditandatangani mamak. Bapak mau menceraikan mamak? Sekelebat rasa heranku datang.
Jadi betul seperti cerita lelaki itu padaku, tentang kecemburuannya pada mamak, yang ditudingnya main serong? Tapi toh mamak sama rentanya dengan dia? Apa betul bapak sangat tertekan dengan omelan mamak selama ini? Yang kutahu, bapakpun terkadang subhanallah rewelnya. Oh bapak, semua curhatmu padaku benarkah adanya? Atau memang sudah tua jiwa raga engkau sekarang? Inikah isyarat awal datangnya keuzuran? Entahlah, aku hanya terhenyak. Tak ada lagi rasa humorku dini hari itu.
Esok pagi mungkin saja aku terpingkal kegelian, atau malah jengkel sampai mangkel memaki si pengirim telegram yang tak pakai pikiran itu? Yang kutahu aku sangat letih, untuk cuci muka ke sumur pun aku tak kuat lagi. Aku hanya sanggup menggeletak di ruang keluarga, dimana kami sering tidur kakak beradik, anak pinak, bila mudik Lebaran. Sebelum lelap, sempat aku gundah, tadi berangkat tanpa pamit, bagaimana besok berhadapan dengan bosku yang galak di kantor? Apa pula yang harus kukatakan pada bapak?
*)
[ penulis: Nani HS ]
“Segera pulang hari ini juga. penting.” Werr, dadaku. Dada suamiku. dada kami semua. Kabar kabur lewat telegram yang menukikkan sakit ke ubun, merapuhkan ketegaran. Lebih mengguncang, daripada mendengar kabar yang sesungguhnya, sekalipun duka.
Aku paling tidak bisa dikejutkan seperti itu. Kecuali langsung mual, aku bisa ke wc saat itu juga. Kesal aku. Apa maunya mereka itu? Berita kok kabur. Memang kami saudara-saudaranya ini punya seribu jantung yang boleh dipacu semena-mena? Bok ya bikin telegram yang jelas sedikit, jangan memuat sejuta pertanyaan begitu.
Memangnya kami tak punya iman bila mendengar taqdir yang sebenarnya? Kabar orang sekarat sekalipun kendati sangat mendebarkan toh akan lain rasanya, bila diberitahu secara transparan dan hati-hati. Bukan disodori kecemasan begini. Ini bukan lelucon, kejutan, apapun namanya buat berseloroh.
Ada apa di kampung? Ada yang ditangkap? Atau bapak barangkali? Bapak sakit parah? Tapi kabar tiga hari lalu bapak masih bugar-bugar saja.
Malah bapak mengirim manisan asam jawa kesayanganku, tak lupa sebakul salam kasihnya melalui tetanggaku, Makcik Salam. Bayangan ketuaannya langsung saja berkelebat dalam benakku. Apakah sekarang bapak harus menjalani fungsi akhir raga tipisnya? Tak, lebih sebagai onggok kenangan buat anak cucu?
Ah tidak. Ketuaan bukan ukuran kematian yang segera.
Bila masanya, kematian bisa menjemput kapanpun, kepada siapapun, termasuk yang masih orok. Namun ketuaan bapak memang menggundahkanku sejak lama. Kerena ketuaan itu pula aku tak sampai hati mengurut betisnya yang nyaris tak berdaging, kepalanya, keningnya saat diopname bulan lalu.
Waktu itu antara prihatin dan kerelaanku teraduk-aduk. Kesanku memang beda dengan apa yang dirasakan bapak. Rasaku gebalau, rasa bapak kemillau dengan percaya diri yang tinggi. Dia paling tak suka dibantu atau dicemasi bolak-balik dari kampung dengan sepeda motor, misalnya. tapi aku selalu dag dig dug kalau dia sudah bepergian.
Kalau dia bicara padaku, bukan main. Rada “genit” juga bila tengah hanyut dengan masa lalunya yang enerjik dan berdisplin tinggi. Selalu terkesan menyindir santainya anak sekarang. Apalagi nafsi-nafsinya. Wah bukan main, di belakangku dia sempat memujiku sebagai menantu satu-satunya yang tahu diri. Selalu hormat meski berhadapan dengan kumuh dirinya dalam sakit. Anaknya yang lebih setengah lusinpun tak becus mengurusinya. Ya jijik, malas, ngomel capek lah.
Tapi bukan lantaran pujian itu aku jatuh sayang pada sang mertua. Tak bisa kujelaskan bagaimana akurnya hubungan batin kami. Mau tak mau ada kekosongan yang saling terisi. Aku tahu, itu bukan cinta, kecuali sekadar rasa persahabatan. Mungkin lantaran kami sama bermasalah. Yang satu kehilangan pamor di tengah-tengah keluarga. Sedang aku babak belur dengan persoalanku yang butuh seseorang tempat mencurah rasa, selain suamiku.
Oh Bapak, akankah aku tidak sempat menyaksikan lagi kamu datang dari kampung naik honda, lengkap dengan segala macam oleh-oleh yang kau ikat di hampir seluruh tubuh motor hadiah undian dari tabunganmu di bank daerah itu?
Bapakku sayang, ada apa? Penyakit darah manismu kambuh lagi? Itulah, engkau tak bisa lepas dari kopimu. Tak perduli walau sedang kehabisan sakarinmu. Aduh bapak bagaimana dengan hypertensi-mu bapak? Mengingat itu airmataku meleleh juga.
Konon mengingat ketabahannya kala sakit. Mengingat kami sering masak bersama-sama makanan kesayang kami. Mengingat dia selalu duduk di bagian kepalaku, bila menunggu aku sakit. Aduh, sumpah mati aku sayang mertuaku itu. Akulah yang masih bisa memaklumi kebiasaannya yang nyaris kembali ke tabiat anak-anak. Dengan aku pula yang bernama Syamaun Nyak Syeh itu mau bercerita soal kaki cacatnya, gara-gara suatu wabah penyakit waktu perang Cumbok.
Lalu dia bisa terkekeh bila mengulang soal kuntilanak yang pernah mengganggunya ketika masih menjabat mantri kepala di sebuah rumah sakit kabupaten. “Jangankan kuntilanak, bapak pernah tidur dengan mayat. Habis, tidur di sal berisik sekali, bapak tak bisa pulas, makanya bapak pilih tidur dengan mayat,” mertuaku tambah terkekeh sampai seluruh gigi palsunya jelas berjajar. Dan “kegenitan” itu tak pernah dicuatkannya dengan orang lain, bahkan dengan anaknya sendiri.
Laki-laki itupun pernah juga membeberkan kisah masa kecil suamiku yang diperlakukan sebagai bos yunior oleh para bawahannya, di rumah sakit. Tak lupa, bagaimana suamiku minta sambal terasi, padahal waktu itu ia sedang kena muntah berak. Begitupun suamiku dimanja para perawat. Seringkali membuatkan es di kulkas rumah sakit, khusus untuk suamiku. Kalau sudah bercerita, aku dan bapak bukan main rileksnya. Tapi tunggu, tunggu dulu! Sekitar dua bulan lalu, tiba-tiba bapak minta kawin lagi dengan Nyak Maneh yang kurang pas pikirannya.
Itukah pertanda bapak hendak meninggalkan perangai? Memang aku sempat terbahak mendengar cerita tukang cuciku waktu itu. Aku menganggapnya seloroh. Masa iya sih kakek-kakek mau menikahi gadis dua puluhan. Lagi pula bapak tak punya sifat Don Yuan. Oh bapak, jangan pergi dulu. Tidak, masih banyak anekdot yang belum kudengar darimu bapak. Benarkah mudikku bulan lalu bulannya perpisahan kami?
Ya Tuhan, lepas magrib tadi iparku yang anak perempuan kesayangannya begitu gelisah, kendati ibu beranak tiga itu paling gengsi dengan kecengengan. Aku juga melihat geliat gelisah dan pucat di wajah itu. Diapun sempat mengira kalau-kalau telegram itu sinyal berpulangnya bapak.
Suamiku yang arif memadamkan kesuhahanku, gebalauku, kendati berpeluh juga wajahnya. Hilang kata-katanya.
Mungkin tak saja mempersoalkan bakal kehilangan orangtua. Bagaimana dengan ongkos berangkat atau masalahku yang pemabuk darat dan selalu butuh ini itu sebagai penangkal muntah. Namun bagaimanpun kami memang harus pulang. Kuminum obat antimabuk, kupasang koyo cabe, persis menutup pesarku. Aku harus kuat untuk berangkat. Ini masalah kasih sayang, kesetiaan, rasa hormat, kemanusian, dan martabat keluarga.
Kalau tidak, esok lusa bisa merambat jadi penyesalan.
Tidak. Bapak tidak akan meninggalkan kami sekarang, kata hatiku. Semoga belum terlambat. Bapak masih diperlukan. Bapak belum boleh berhenti bernostalgia, menerawangi simbol masa lalu yang menggairahkan. Sungguh laki-laki loyal plus tak banyak bicara yang disegani warga sekampung.
Bapak mantri yang mujarab, yang mau naik sepeda berkilo meter untuk pasiennya, yang banyak menolong orang papa. Kemahiran babak membuat aquades, sering dipakai rumah sakit bila kehabisan stok, yang masa itu sulit didapatkan, terlebih kalau terjadi kasus endemi tertentu. Pokonya bapak sosok teladan.
“Cepatlah!” Bentak suamiku, ketika aku siap tak siap mengemasi keperluan berangkat.
“Sebentar Bang. Yasin dan mukenaku ketinggalan nih,” kataku dengan nada kusabar-sabarkan, kelembut-lembutkan.
“Memangnya bawaanmu itu barang langka, di kampung kan ada?” Bentakan itu menjadi lebih kuat. Suamiku yang sejak tadi berusaha menyembunyikan kegelisahan, kiranya lepas kontrol juga.
“Bukan begitu, barang kecil kan diurus sendiri. Kalau rumah sedang ramai mencari bantalpun sulit kok,” jawabanku begitu saja. Entah dari mana, firasat burukku tentang babak tak bisa ditawar lagi. Benar, lututku semakin bergetar juga saat di rumah adik kami, Ibrahim. Tempat kami, anak dan para menantu berkumpul untuk berangkat bareng.
Tak tahu pertanda apa, tapi ipar perempuanku yang membawa kabar dari rumah ke rumahpun sekarang digilir celaka pula. Gawat juga kondisinya. Sibuk-sibuk lalulintas magrib mengkaparkannya tak sadar diri, setelah disenggol beca di tikungan menanjak menuju rumah Ibrahim. Guncang hatiku. Duh, jatuh ditimpa tangga pula.
“Bagaimana Din,” tanyaku pada kemanakan yang datang dari rumah sakit. “Cek Miswani sudah sadar dan mau kemari, gak papa. Tadi dia sempat menggigau soal kakek. Tadi sebelum kecelakaan, sebenarnya cek Mis bilang kakek sudah meninggal. Entah darimana dia tau?” “Hah? Din, kakek meninggal?” Setelah sekali terjerit aku pingsan rupanya. Aku baru menangis lagi ketika tersengat bau aude cologne.
lronisnya ketegaran ragaku malah membaik dalam perjalanan seratusan kilometer ke kampungku. Seperti juga lima kemanakanku tak saling rewel. Atau barangkali para bocah sama tercekam seperti enam kami orangtuanya?
Benar atau tidak, yang kutau hanya terdengar deru bus jarak jauh, berbaur dengan sayup angin gunung, basah mataku, dan bisu suamiku.
Kegelisahan bagai tak berujung. Mengalir juga ke tangan suamiku yang tanpa lelah mengurut dahi, jemariku yang kaku dan ngilu oleh mual yang datang. Membuat jarak kampung bagai berlipat ganda. Bahkan ketika kami sudah berada di becak dayung. Hanya derit tiga rodanya dan udara menjelang subuh saja yang bicara. Itupun seperti mengganggu dan menggidikkan bulu roma.
Belum lagi berada di lorong-lorong kampung kami yang terlampu redup, belukar yang menyemaki deret perumahan yang tak elok. Bunyi gesekan daun bambu dan bau kotoran sapi menggenapkan rasa mencekam kami. Persis pukul lima dini hari becakku sampai di gerbang rumah kami. Kulihat lampu teras tak berneon lagi dan berganti pijar sepuluh watt. Sedaun jendela dan pintupun tak terkuak. Serem sekali kurasa. Bagaimana mungkin rumah kami sesunyi itu.
Apalagi dalam cuaca kemalangan. Kenduri kecil-kecilan yang merebahkan satu ayam sajapun tidak ada? Seharusnya rumah tua kami bertamu lumayan banyak, karena kami memang keluarga besar. Aku terpana di ujung halaman. Betapapun sejak tadi seperti ingin terbang cepat-cepat mau ketemu bapak, berat juga langkahku sekarang. Terus terang aku terkadang penakut. Becak lainnya masih puluhan meter di belakangku. Aku belum berani masuk pintu halaman.
Ketika becak lainnya menyusul satu-satu, ada semacam rasa kelu dan entah apa namanya. Kami semua sesaat bagai terpacak di halaman, seolah perasaan kami sama. Suamiku lalu berada di depan dengan dua kali ketukan di pintu. Tiba-tiba ada yang mengaroma di hidungku. Harum melati dan bunga melur di halaman terlalu tajam, bertambah datang pula kepengecutanku. Sekaligus saja aku ingin berada di tengah-tengah yang lain. Suamiku serta merta memegang leherku bagian belakang.
Dia tahu betul, kalau sedang ketakutan, leherku harus dipegang. Begitupun berkurang rasa takutku, bila berjalan di tengah barisan, tak ke muka dan tak ke kebelakang. “Mak,” sergahku. Kusalami ibu mertua sebagaimana adat istiadat. Seperti biasa masih ada peluk cium. Kali ini mamak tak menangis lagi. Namun jelas garis mukanya keras dan kelu.
“Bapak?”
“Ada,” sahut mamak langsung mengamit lengan suamiku diekori dua saudara iparku yang lain menuju tempat tersudut dan tersuram di rumah kami. Kudengar mamak bisik-bisik. Kami yang menantu perempuan cukup terpojok di sudut lain. Antara tertanya-tanya dan sungkan bicara. “Macam-macam saja!” Suara suamiku tak sebiasanya. Dia marah.
“Jangan beginilah caranya. Siapa yang bikin telegram?” kulihat tinju suamiku kian membulat.
“Saya sampai tak minta izin di kantor. Itu si Miswani ditabrak becak, untung tidak kenapa-kenapa. Muka anaknya tergores batu. Mestinya kami yang laki-laki kan yang menerima berita, jangan dia yang jantungan itu?” suara suamiku makin tak enak didengar, dan bergegas ke kantor telepon untuk mengabarkan kondisi bapak pada Miswani.
“Huh, macam-macam saja, kasak kusuk tak menentu,” balas Ibrahim iparku, nyaris memecahkan Subuh, apalagi setelah tau kalau tadi sore tetua kampung sampai datang ke rumah.
Ibu mertuaku terkesima. Hilang keahlian berkilahnya. Surat dari Kuakec di tangan suamiku, diraihnya kembali.
“Dimana bapak mak?” Ulangku. Tak menunggu jawaban kucoba saja menuju kamar bapak. Di sana, bapak terbujur. Ah masih ada denyut di dada, bahkan nafasnya keluar teratur, sedikit mengorok. Kupegang dahinya kuselimuti dia. Dahinya pun tak panas seperti orang demam. “Bacalah ini.” kata ibu mertuaku. Cermat-cermat kuamati surat secarik yang jadi sumber debaran. Surat itu dari KUA yang harus ditandatangani mamak. Bapak mau menceraikan mamak? Sekelebat rasa heranku datang.
Jadi betul seperti cerita lelaki itu padaku, tentang kecemburuannya pada mamak, yang ditudingnya main serong? Tapi toh mamak sama rentanya dengan dia? Apa betul bapak sangat tertekan dengan omelan mamak selama ini? Yang kutahu, bapakpun terkadang subhanallah rewelnya. Oh bapak, semua curhatmu padaku benarkah adanya? Atau memang sudah tua jiwa raga engkau sekarang? Inikah isyarat awal datangnya keuzuran? Entahlah, aku hanya terhenyak. Tak ada lagi rasa humorku dini hari itu.
Esok pagi mungkin saja aku terpingkal kegelian, atau malah jengkel sampai mangkel memaki si pengirim telegram yang tak pakai pikiran itu? Yang kutahu aku sangat letih, untuk cuci muka ke sumur pun aku tak kuat lagi. Aku hanya sanggup menggeletak di ruang keluarga, dimana kami sering tidur kakak beradik, anak pinak, bila mudik Lebaran. Sebelum lelap, sempat aku gundah, tadi berangkat tanpa pamit, bagaimana besok berhadapan dengan bosku yang galak di kantor? Apa pula yang harus kukatakan pada bapak?
*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar