27/05/08

OUTBOND, BUKAN SANTAI BIASA

Serambi Indonesia : 26/05/2008 11:21 WIB

[ rubrik: Serambi | topik: Olah Raga ]

Selama outbond seluruh peserta tidur di lokasi outbond, menggunakan tenda peleton, veltbed, dan sleepingbag. Pakaian outbond dan kaus kaki minimal empat setel, jaket dan baju hangat, perlengkapan mandi, dan obat-obat pribadi. Inilah sebagian kalimat yang tertera pada undangan Media Gathering yang digelar oleh PT Djarum pada tanggal 18-22 Mei 2008.

Apa komentar peserta? Sebagian peserta mengaku tak tahu apa outbond dan tak menyangka kegiatan itu sangat menguras tenaga dan sepantasnya tidak lagi diikuti peserta usia 40 hingga 50-an puluhan.

Namun, tahu tak tahu, berani tak berani, 52 wartawan dari berbagai media massa se-Sumatera, Kalimantan, Jakarta, termasuk unsur Djarum, pada magrib Minggu, 18 Mei 2008, tiba juga di gerbang Zone Training Center, di ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut, di kaki Gunung Tangkuban Perahu Cikole, Lembang, Bandung, Jawa Barat.



Alam berpohon cemara dan semak belukar nan bertopografi naik turun, suhu 18 derajat Celcius, dan sebuah spanduk bertuliskan Journalist Days Out, Fun & Challenge, bagai berucap selamat datang di lokasi penuh tantangan itu.

“Mari kita kembali ke alam. Di tempat ini tidak seperti keseharian Ibu dan Bapak sekalian. Di sini serbakekurangan. Tidak ada tempat tidur yang empuk, makan enak. Tidak ada fasilitas yang lengkap, air kita tidak banyak,” ungkap Operational Director Zone 235 Simulasi Tempur Cikole-Lembang Bandung, Ronny Aprilianto ST.

Gigi mulai gemertak, dingin sekali, itulah awal “penderitaan” di Zone 235. Duduk bersaf-saf berhadap-hadapan di tanah tanpa alas, lalu makan malam (nasi kotak) bersama, adalah awal sebuah peraturan dan keteraturan di Zone 235. Boleh jadi, diam-diam rasa kesederhanaan dan kebersamaan mulai merayapi sanubari masing-masing. Semua rasa ada di Zone 235. Sebut saja rasa takut, tidak percaya diri, ngeri, tertantang, rasa persatuan, kekompakan, dan kegembiraan.

Siapa yang tak ngeri dengan flying fox alias meluncur dengan tali dari ketinggian (melalui lembah) menuju kerendahan, kendati di tubuh kita dipasang tali pengaman (safety belt)? Bagi peserta pemula atau lima puluhan apalagi bertubuh “subur”, ini tidak mudah. Untung saja kita masih punya rasa gengsi ––tak mau kalah atau dikatakan pengecut–– dan masih memiliki semangat juang.



Rasakanlah, betapa lelah dan mengerikan berjalan di atas seutas kawat dengan berpegangan di kawat lainnya, lalu menyeret langkah ke samping dengan menyeberang sebuah lembah berjurang, kendati tak begitu dalam dan berbahaya. Jangan salah, dalam perjalanan jembatan tali dua ini, bukan rasa ngeri saja yang muncul, tapi ada tantangan lain. Sesampai di perempat titian, tali digoyang dan dihentak ke belakang, hingga kita terbalik dan menggantung. Parahnya lagi, tak ada tedeng aling-aling, kita tetap harus melanjutkan perjalan hingga selesai, dengan berusaha pada posisi semula, berdiri di tali dan berjalan kembali. Memang semua peserta, dengan lengan dan kaki gemetar, berhasil melakukannya sampai ke ujung pendaratan. Namun, semula ada yang tak mau ikut, atau sempat muntah-muntah, dan berteriak minta ampun segala. Jujur saja, ini serius, menggelikan, bergidik, tapi spektakuler rasanya. Sekilas mirip fragmen Fear Factor yang ditayangkan televisi Amerika.

Untuk apa adegan ini? “Semua games di tempat ini, tetap ada filosofinya. Tali dua ini misalnya, ibarat hidup, kita punya tujuan, dan kita harus tetap maju mencapai tujuan, kendati dihadang sekian tekanan dan tantangan,” kata Ronny.

Yang jelas, permainan ini dilakukan bersama tiga atau empat orang sekaligus. Berhasil atau tidak, mau capek sedikit atau capek banyak, sangat bergantung kekompakan dan kerja sama tim. Tidak ada istilah “akulah aku” atau rasa superior. Saling mendukung, saling memberi semangat, itu kunci suksesnya.

Takut ketinggian? Lawan saja dengan aksi turun tebing. Benar ada yang mengatakan I am so happy. Tapi tunggu dulu, ada peserta pria yang gemetaran lututnya, nyaris diam di tempat, dan tak berani terus turun, padahal kita sadar sekali, semua permainan ketinggian itu ada tali pengamannya.

Sama halnya ketika disuruh berjalan di atas seutas kawat (working in the sky), sembari memegang tali lainnya yang dikendalikan teman di bawah, untuk menjaga keseimbangan. Tak heran dari 52 peserta, hanya dua orang yang berhasil memeluk pohon sebagai tanda ia telah sampai ke seberang, sejarak kira-kita 15 meter dan tingginya sekitar 13 meter.

Tapi bukan itu persoalannya. Semua orang tak bisa mengelak dari simulasi ini. Semua harus bisa menaklukkan ketakutannya, bulu romanya. Ketahuilah, hanya dua orang yang tidak merasa ngeri dan jatuh menggelantung. Kita butuh ekstrakonsentrasi, keberanian, dan taktik. Lantas, semata-mata gengsi pulakah yang memicu kita untuk sampai ke ujung tali? Tidak sepenuhnya. Gemuruh yel-yel tim kitalah yang lebih menjadi tumpuan semangat, dan kita tak pernah malu karena kalah. Justru merasa hebat telah menaklukkan ketakutan sendiri. “Mau sekali lagi,” begitulah perasaan kebanyakan peserta mengenai itu.

Lalu bayangkanlah, secara tim Anda harus mampu menyeberang sebuah kolam sekira 3 x 4 meter, berjalan di sebilah papan yang hanya ditopangi dua tonggak bergaris tengah kira-kira 10 cm, di dalam kolam (kedalaman air hingga selangkangan orang dewasa, bersuhu di bawah 18 derajat C, dan airnya tidak bening pula). Dalam games water bridge ini manusia atau papan penyeberang tidak boleh menyentuh tepi kolam. Waw, lagi-lagi tidak mudah bukan? Tak satu tim pun yang bisa sampai ke seberang kolam. Kelihatan mudah, tapi susah dilakoni. Sekali lagi taktik, ketangkasan, kerja sama harus solid.

Memperkaya batin

Tentu ada belasan nomor lainnya dan sangat memperkaya pengalaman batin. Dari menumbuhkan rasa percaya diri, hingga mendorong daya tahan jasmani. Petualangan yang tidak kita temukan di keseharian, di kantor. Perlu diketahui, outbond untuk journalist kali ini tingkat kesulitannya sengaja dipilih yang sedang-sedang saja, mengingat faktor usia yang tidak seragam. Wah, kalau begitu bagaimana outbon yang berkesulitan tingkat tinggi ya?

Usai keseluruhan outbond dua hari tiga malam di Zone 235, jangan ditanya bagaimana sakit dan pegalnya menjalari sekujur tubuh. Dua hari pun masih terasa. Maklum rata-rata bertahun-tahun tak pernah olahraga. Lelaki bedagok pun tentu mengeluh hal serupa.

Tapi semua rasa di Zone 235 toh akhirnya berbuah kesegaran lahir batin, kesenangan, dan kegembiraan. Seperti tujuan outbond dari sudut pandang PT Djarum, “Yang paling penting adalah silaturahmi dengan para jurnalis, dan membangun kegembiraan bersama.” Begitu dikatakan Adhiarta Tirtaaji (PR Officer PT Djarum Perwakilan Jakarta). Kalau Operational Director Zone 235 mengatakan, “pada dasarnya ajang Journalist Days Out Fun & Challenge ini, termasuk pembinaan karakter, teamwork, dan leadership.”

Bagaimana pendapat Psikolog Nur Jannah Nitura yang fasilitator outbond Psikodista itu? “Pengalaman saya bertahun-tahun menyelenggarakan outbond, justru kebanyakan peserta lebih terkenang pelatihan ragam outbond-nya ketimbang pelatihan in door yang beberapa bulan kemudian sudah hilang dari ingatan. Lalu setiap materi outbond yang dirancang sebenarnya ada filosofinya. Outbond merupakan cara belajar dari pengalaman. Simulasi-simulasinya dibangun dengan metafora kehidupan. Tujuannya, antara lain, meningkatkan teamwork, mengasah leadership, kecerdasan, ketangguhan, dan mengasah kemampuan analitik. Intinya, menggali individual capacity dan teamwork leader.”

Outbond memang berdampak positif. Outbond memang mengesankan, yang bisa bikin kita santai. Tapi outbond bukan santai biasa lho. Tetap ada aturan mainnya. Ini minimal menjadi perhitungan bagi penyelenggara atau perusahaan yang mengirim utusannya. Paling tidak soal keseragaman usia. Begitu kira-kira. Bukan apa-apa sih, supaya outbond-nya bisa didesain sesuai keperluan dan tujuannya. Ya, tidak?

Nani.HS



Tidak ada komentar: