27/11/10

300 TERVONIS KASUS JINAYAH LARI MENJELANG DICAMBUK

Serambi Indonesia/Fri, Nov 26th 2010, 10:17


* Sanksi 3 Jaksa Tunggu Putusan Jakgung



BANDA ACEH - Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh, Muhammad Yusni MH mengakui selama ini sekitar 300 tervonis perkara jinayah (khamar, maisir, dan khalwat) di Aceh lari menjelang eksekusi cambuk dilakukan. Ini karena, sampai sekarang belum ada ketentuan hukum acara jinayah yang mengatur bahwa tersangka maupun terpidana khalwat, maisir, dan khamar, bisa ditahan.

“Saya kira ke depan, dalam qanun acara jinayah harus diatur ketentuan tentang wewenang jaksa menahan tersangka. Kalau tidak, ya seperti terjadi selama ini, banyak sekali tervonis lari menjelang dieksekusi. Akhirnya, tidak efektif hukum jinayah yang diterapkan di sini,” kata Kajati Muhammad Yusni menjawab wartawan saat melakukan kunjungan silahturahmi ke Newsroom Serambi Indonesia, di Meunasah Manyang, Pagar Air, Aceh Besar, Kamis (25/11) pagi.

Dalam kunjungannya, Kajati didampingi Asisten Intelijen Aries Surya SH, Asisten Pengawasan TB Bambang Bachtiar SH, Kasi Penkum/ Humas Ali Rasab Lubis SH, Kasi Penuntutan Mukhlis SH, dan Kasi Uheksi Boby Sandri SH. Rombongan Kajati disambut Pemred Serambi Mawardi Ibrahim, Redpel Yarmen Dinamika, Sekred Bukhari M Ali, Executive Producer Radio Serambi FM Nani HS, dan Redaktur Polkam Zainal Arifin M Nur.

Selain mengeluhkan ramainya tervonis kasus jinayah yang lari menjelang dieksekusi, Kajati Aceh juga mengemukakan keterbatasan finansial di lembaganya dalam melakukan eksekusi perkara jinayah. Soalnya, untuk mencambuk terpidana seusai shalat Jumat, selalu diperlukan panggung/pentas, tim dokter, ambulans, algolo atau eksekutor, serta beberapa petugas wilayatul hisbah (WH). Semua itu tentunya memerlukan dana, sementara pihak kejaksaan hampir tak memiliki pos dana untuk eksekusi seperti itu.

Mengatasi banyaknya tervonis yang lari menjelang dieksekusi, Muhammad Yusni mengaku sudah menawarkan solusi kepada jajarannya dan para hakim. Ke depan hendaknya, sidang pamungkas perkara-perkara jinayah dilakukan pada Jumat pagi, sehingga siangnya, seusai shalat Jumat, langsung dilakukan prosesi pencambukan di depan masjid. Dengan demikian, tidak terbuka peluang lagi bagi terpidana untuk pulang ke rumah, lalu melarikan diri. “Solusi ini mudah-mudahan bisa dipertimbangkan,” kata Yusni.

Ditanya tentang konsistensi penanganan kasus jinayah di Aceh selama ini sebagai implementasi penerapan syariat Islam secara kafah, Kajati mengakui pihak kejaksaan paling konsisten menjalankannya. Umpama, ada satu kasus perjudian yang diajukan penyidik (polisi) ke jaksa, tetapi dalam berkas kasus itu penyidik menerapkan pasal perjudian yang diatur di dalam KUHPidana. “Kejaksaan tetap menolak dan mengembalikan berkas itu ke penyidik dan memintanya untuk mengganti dengan pasal yang termuat di dalam Qanun Maisir, karena kita sadar benar bahwa yang berlaku di Aceh adalah lex specialis (ketentuan hukum yang khusus),” katanya.

Namun, ketika eksekusi terhadap terpidana hendak dilakukan melalui uqubat cambuk, mulai muncul masalah. Banyak di antara terpidana yang lari, sehingga eksekusi perkara mereka menggantung.

Menurut Asisten Pengawasan Kejati Aceh, TB Bambang Bachtiar, jumlah tervonis perkara jinayah yang lari menjelang dieksekusi di seluruh Aceh mencapai 300 orang. “Kita prediksi kejadian seperti ini terus bertambah, selama ketentuan hukum untuk upaya penahanan bagi tersangka pelanggar qanun terkait jinayah belum dibuat. Kalau hal seperti ini terus dibiarkan, maka akan kacau sistem hukum kita di Aceh nantinya. Dan persoalan ini bukan persoalan sepele, malah bisa menjadi bahan kajian disertasi calon doktor,” kata TB Bambang yang mengharapkan ketentuan upaya penahanan itu segera dibuat.

Senada dengan Kajati, Bambang Bachtiar juga menyinggung soal keterbatasan anggaran, sehingga persiapan eksekusi perkara jinayah kerap terkendala. “Kami harap masalah ini dapat ditanggulangi Pemerintah Aceh mulai tahun depan.”

Siap disebut buruk

Pada pertemuan di Newsroom Serambi itu, Kajati Muhammad Yusni menegaskan kembali komitmennya tentang penegakan hukum di Aceh. “Untuk itu saya mohon bantuan media sebagai alat kontrol sekaligus untuk memublikasi kegiatan yang dilakukan kejaksaan. Kalau buruk katakan buruk, kalau baik ya tulis baik. Kami siap dikatakan buruk, karena itu akan memotivasi kami untuk memperbaiki diri,” ujarnya.

Muhammad Yusni menyebutkan serangkaian strategi yang dilakukannya dalam penegakan hukum di Aceh. Pertama, melakukan penyadaran hukum melalui penyuluhan atau sosialisasi. Kedua, upaya pencegahan agar orang tidak mudah melanggar hukum. Setelah itu, baru diikuti langkah penindakan.

Saat bicara tindakan pemberantasan korupsi di Aceh oleh instansi yang dipimpinnya, Kajati menyatakan akan terus melakukan evaluasi terhadap jajarannya, mulai dari Kepala Cabang Kejaksaan Negeri (Kacabjari) hingga Kajari. Sistem penilaian kinerja kejaksaan yang dilakukan saat ini, menurutnya, tidak lagi terfokus pada jumlah target kasus yang mampu ditangani setiap kejaksaan per tahun. “Tetapi lebih pada optimalisasi kinerja. Sebab, demi mengejar target, kita khawatir nantinya kasus terlalu dicari-cari. Ini yang kita tidak mau sampai terjadi,” ujar putra Aceh Timur ini.

Transparan

Kajati juga menegaskan bahwa pihaknya akan selalu transparan dalam menangani kasus korupsi atau pemerasan, sekalipun tersangkanya oknum jaksa. Langkah ini perlu dilakukan untuk tetap menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap koprs adhiyaksa itu.

“Kita akan beri tahukan setiap langkah yang telah ditangani, kecuali bila masih di tingkat operasi intelijen. Soalnya, itu masih bersifat rahasia, sebab apabila salah-salah diberitakan, maka akan membuat sebuah kasus menjadi buyar. Misalnya, pelaku akan menghilangkan atau merusak barang bukti dalam kasus itu,” katanya.

Ditanya soal kasus korupsi di Aceh Utara senilai Rp 220 miliar yang diduga melibatkan Bupati Ilyas A Hamid dan Wakilnya Syarifuddin SE, Kajati menyatakan, pekan depan akan segera diberi petunjuk dengan dikeluarkan (P-19) kepada penyidik (polisi), mengenai apa saja yang harus dilengkapi oleh penyidik. “Kita juga akan bersikap transparan dalam kasus ini,” janjinya. Dua pekan lalu, berkas perkara yang menyedot perhatian publik ini sudah diserahkan polisi ke jaksa, tapi pekan lalu berkas tersebut dinyatakan belum lengkap (P-18).

Tunggu putusan Jakgung

Mengenai lanjutan kasus dugaan pemerasan yang dilakukan tiga jaksa di Kejari Calang, Aceh Jaya, beberapa waktu lalu, menurut Kajati, sudah selesai ditangani Tim Jaksa Pengawasan Kejati Aceh. “Berkas pemeriksaannya sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung, dalam hal ini kepada Jaksa Muda Pengawasan beberapa waktu lalu,” kata Asisten Pengawasan Kejati Aceh, TB Bambang Bachtiar SH.

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pihaknya, ungkap Bambang, ketiga jaksa itu terbukti melakukan tindakan tak terpuji terhadap para calon tersangka dan tersangka. “Dalam berkas yang kita kirim ke Kejaksaan Agung kita nyatakan seperti itu,” katanya.

Namun, sampai kemarin Kejaksaan Agung belum menurunkan putusan mengenai sanksi apa yang akan dijatuhkan kepada tiga jaksa yang terindikasi memeras itu. “Saya kira kita hanya bisa menunggu keputusan Kejaksaan Agung tentang hal ini,” katanya. Ketiga jaksa tersebut belum dikenai sanksi apa pun, malah masih tetap bertugas seperti sediakala, karena dalam kasus ini pihak atasan tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). (sup/dik)



Tidak ada komentar: