Serambi Indonesia/Selasa, 23 Juli
2013 10:21
Oleh Husna M ZeinMenjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan di Aussie (nama lain dari Australia) sembari mendengarkan Radio Serambi FM dengan suara yang begitu jernih, menawarkan suatu kesenangan tersendiri. Serasa persis sedang berada di Aceh, meskipun kami tinggal di kota bagian selatan Negeri Kanguru, yaitu Melbourne. Apalagi sekali-kali ada iklan yang ikut melibatkan Kak Nani HS, yang memiliki suara khas dan aksen Aceh-nya sangat kental dan menohok.
Sembari menyiapkan makanan berbuka yang dibantu oleh sang suami, saya juga ikut mendengarkan perbincangan atau siraman rohani yang disiarkan langsung dari pusat radio tersebut di Desa Mayang PA, Aceh Besar. Saat berbuka puasa sekitar pukul 05.17 pun masih bisa menambah ilmu pengetahuan dan memperbaharui informasi tentang situasi di Aceh. Terima kasih Serambi FM. Terjadi perbedaan waktu tiga jam lebih cepat antara tempat saya tinggal, Melbourne, dengan tempat dipancarkan Radio Serambi, sehingga ketika kami sedang berbuka puasa, di Aceh masih pukul 14.00 Wib.
Pada saat-saat demikian, saya sering membayangkan memasak makanan-makanan Aceh, seandainya bisa dilakukan di Australia. Tak semuanya bisa dimasak di sini. Soalnya, di Australia tidak ada on peugaga, boh sunti untuk pelezat makanan, boh timon wah, dan lain-lain. Berkali-kali saya mencoba menyiasati dengan bahan-bahan lain agar bisa menikmati makanan khas Aceh, namun tak beroma dan berasa yang sama.
Yang tak kalah menarik untuk didengarkan dari Serambi FM adalah pembacaan Tafakkur menjelang waktu-waktu shalat. Bila dibaca dengan irama yang cocok, tidak tergesa-gesa, di tambah dengan suara yang padu, saya kerap berurai air mata. Bulu-bulu kuduk saya merinding. Bila topiknya tentang ibu, langsung wajah ibu saya tergambar jelas di benak saya. Rasanya ingin segera pulang memapahnya yang sudah lama terbaring sakit di sana.
Apalagi ketika suara azan mulai mengalun, langsung ingatan saya terlempar jauh ke halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, dimana bermacam-macam orang mulai berdatangan untuk melaksanakan shalat di sana. Tempat-tempat wudhuk dipenuhi jamaah yang sedang wudhuk dan juga yang mengantrenya. Tak sanggup saya bayangkan bagaimana kalau Lebaran tiba dalam beberapa hari yang akan datang. Kumandang takbir Hari Raya yang disiarkan melalui Radio Serambi FM akan kembali menghadirkan perasaan saya di Aceh tercinta. Oh, Radio Serambi benar-benar membantu menyegarkan ingatan saya tentang Aceh.
Pada saat-saat demikian, saya sering membayangkan memasak makanan-makanan Aceh, seandainya bisa dilakukan di Australia. Tak semuanya bisa dimasak di sini. Soalnya, di Australia tidak ada on peugaga, boh sunti untuk pelezat makanan, boh timon wah, dan lain-lain. Berkali-kali saya mencoba menyiasati dengan bahan-bahan lain agar bisa menikmati makanan khas Aceh, namun tak beroma dan berasa yang sama.
Yang tak kalah menarik untuk didengarkan dari Serambi FM adalah pembacaan Tafakkur menjelang waktu-waktu shalat. Bila dibaca dengan irama yang cocok, tidak tergesa-gesa, di tambah dengan suara yang padu, saya kerap berurai air mata. Bulu-bulu kuduk saya merinding. Bila topiknya tentang ibu, langsung wajah ibu saya tergambar jelas di benak saya. Rasanya ingin segera pulang memapahnya yang sudah lama terbaring sakit di sana.
Apalagi ketika suara azan mulai mengalun, langsung ingatan saya terlempar jauh ke halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, dimana bermacam-macam orang mulai berdatangan untuk melaksanakan shalat di sana. Tempat-tempat wudhuk dipenuhi jamaah yang sedang wudhuk dan juga yang mengantrenya. Tak sanggup saya bayangkan bagaimana kalau Lebaran tiba dalam beberapa hari yang akan datang. Kumandang takbir Hari Raya yang disiarkan melalui Radio Serambi FM akan kembali menghadirkan perasaan saya di Aceh tercinta. Oh, Radio Serambi benar-benar membantu menyegarkan ingatan saya tentang Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar