31/12/06

UANG MERAH

Cerpen : Nani HS

Asnawi mendekatiku dengan wajah cerah. Aku tak pasti kenapa teman lama yang sekarang sudah bekerja di kantorku itu, tampak ceria kali ini. Entah karena dia baru saja memangkas rambut potongan anak muda yang guntingannya ditipiskan di daerah atas telinga, atau karena kesumringahan itu memang datang dari dalam. Sanubarinya? Eh jangan-jangan lantaran dia baru memasang gigi atasnya yang ompong sejak lama itu? Tak tahulah aku. Yang jelas si sawo matang Asnawi , kini agak putih dan segar di mataku. Kumisnya yang masih hitam, lebih berkilau. Pokoknya lainlah. Tak bisa kujelaskan.

Dari jauh Asnawi sudah senyum-senyum. Pernah kata dia padaku, kalau dia senyum-senum, itu semata-mata hanya cara dia mengekspresikan kegembiraaan, dan rasa persahabatannya. Tidak untuk konpensasi, apalagi basa-basi.
Ia makin mendekatiku, layaknya orang yang hendak berbisik, sampai-sampai wajahnya dan wajahku hampir sepuluh centi meter saja. Heranku bertambah, tapi entah kenapa aku tak juga menarik mukaku menjauh dari mukannya.

“Begini… Saya ingin mengajak Nani makan siang. Saya ada sedikit rezeki hari ini. Tapi…”
“Tapi mentahnya saja kan?” selorohku kepadanya. Asnawi tersenyum lagi. Benar, dia merogoh saku kemeja kotak-kotak hijau pupusnya, lalu mengeluarkan lembar merah yang masih sangat licin lagi berbau uang baru. “Ya Tuhan, tiga lembar!,” kagetku dalam hati. Belum ada teman yang memberiku uang sebanyak itu. Subhanallah. Aku terkesiap, aku girang.

“Nih, cepat simpan, nanti dilihat orang,” sergah Asnawi dalam keterpanaanku.
“Aduh terima kasih Wi. Inilah rezeki saya hari ini rupanya. Nawi tahu? Bila kita melafalkan asma ‘ul husna, Yaa Malik, berturut-turut seratus dua puluh satu kali setiap pagi, kita akan dihargai orang secara wajar dan hidup kita berkecukupan. Inilah rezeki itu rupanya. Makasih ya,” kataku bernada gurau tapi tak bisa kusembunyikan perasaan haruku. Asnawi hampir saja menonjokku. Sebab aku dinilainya berlebihan. Ia terkekeh pun, dan aku merasa kata-kataku mungkin telah menyanjungnya. Senyum lagi dia, lebih cerah dari sebelumnya, lalu beranjak ke meja kerjanya yang tak seblok denganku.


Diam-diam ternyata aku merasa betul-betul aneh. Bagaimana tidak? Asnawi tak pernah seperti itu padaku. Kami tidak dekat selama ini, bahkan sangat irit bicara. Tiba-tiba keharuan melingkupiku. Kenapa Asnawi memilihku saat kelebih rezeki? Apa mungkin karena aku perempuan satu-satunya di kantor kami? Lagian dia bukan teman akrabku kan? Semisal Si Wedy, Si Desk, atau Si Bapak yang nyaris bagai saudara sendiri itu. Lalu kenapa Asnawi begitu royal padaku ya? Jangan-jangan…ah entahlah.

“Wah banyak juga rupiah Asnawi yang tak banyak cakap itu ya. Jangan-jangan rezekinya tadi berasal dari hasil kerja nonrutinitas, maksudku pendapatan sampingan? Masakan untuk makan siang saja ia membalenku tiga ratus ribu? Itukah cara Asnawi menjaga perasaanku agar tak tersinggung atau supaya kutak malu, sementara dia memang ingin menyedekahkan rupiahnya untukku, lalu mengatakan ingin mengajakku makan siang namun tak sempat ke luar mencari makan siang?

Kalau ya begitu, syukurlah. Asnawi telah menghormatiku sebagai perempuan yang tak selalu harus dikasihani. Dia telah memberi alasan yang tepat untuk bisa membagikan uangnya padaku. Aduh, tersanjung juga aku. Aku telah dilindungi secara perasaan.


Dari dudukku, serta-merta kuberdiri dan menoleh pada Asnawi, memastikan dia sedang apa. Ayah tiga anak itu, yang duduk membelakangi arah pandanganku, ternyata sedang berada di depan komputernya. Tak bisa kulihat mimiknya. Tersenyum lagikah, biasa-biasa saja, atau raut serius berkonsentrasi pada pekerjaannya? Ah, mudah-mudahan laki-laki yang selalu tak tahan dengan kelucuan itu memang sedang tekun pada pekerjaannya. Tidak memikirkanku, sepertiku terus memikirkan pemberiannya yang tak angin tak hujan itu.

Terus terang kejadian yang lumrah tadi justru terasa luar biasa bagiku. Menyusup hingga ke shalat Zuhurku siang itu. Entah kenapa dalam baris doaku, ada air mata di sana. “Allah sangat sayang padaku. Tetap ada saja rezeki bagiku di saat aku sedang pas-pasan. Ya Allah, inikah wujud zikirku itu Ya Allah. Benar atau tidak, banyak atau sedikit, kutetap syukur Ya Allah,” lagi-lagi airmataku jatuh ke mukena. Hari ini Asnawi menjadi “tangan”Mu Ya Allah. Tak seorang pun yang bisa menetukan nasib. Aku yang hari ini kantong kempes Engkau tetap menjagaku dari ketiadaan.


Meneruskan sisa kerjaku menjelang sore itu, pikiranku belum beralih dari pemberian kejutakan tadi. Menit itu juga kupustuskan untuk membeli sesuatu, agar menjadi tandamata. Bukankah aku sering berbuat begitu untuk mengabadikan sebuah pemberian menjadi kenangan? “Nanti akan kutunjukkan pada Asnawi agar dia merasa kuhargai,” janjiku dalam hati. Kendati aku sedang pas-pasan biarlah uang itu sebagian kubelanjakan. Ini pemberian yang mengejutkan.

Kala itu, kendati sudah pukul 18.00, tekadku sudah bulat. Aku harus ke kawasan Merduati. Ada toko barang-barang kerajinan Aceh di situ . Sungguh tepat keputusanku. Aku memang perlu stelan baju baru. Lagi pula minggu depan mau tak mau harus menenteng kado untuk saudaraku yang kenduri pernikahan. Jadi memang tepat ke toko itu.

Barang yang kuinginkan ada, toko pun sedang sepi, aku bisa leluasaan memilih dan mematut-matut belanjaan. Aku semangat sekali. Mungkin kalau ada orang memerhatikanku, kegirangan itu terpacak di wajahku. Mataku mengitari seluruh rak-rak bakal pakaian, sarung songket, tas, dan semuanya yang terpajang. Sayang aku cuma punya tiga ratus.Mau tak mau aku hanya dapat satu stel bakal pakaian saja.

Sempat juga aku menelepon adikku yang di kampung, dia setuju dengan pilihan warnaku. Satu stel bakal pakaian warna donker untuk kado, satu stel sarung songket keemasan plus bakal pakaian maroon bersulam songket Aceh stelan three pieces untuk diriku. Puas sekali aku. Ah, bermakna sekali uang pemberian Asnawi. Aku yakin, bila baju setelan itu jadi dan kuperliatkan pada Asnawi, tentu menjadi kejutan baginya. Setidak-tidaknya dia akan mengatakan, “Waduh! Jadi uang makan siang itu dibelikan baju?” Lalu Asnawi akan bilang, “Bagus, cocok kok warnanya untuk Nani,” Ya, pasti Asnawi setidak-tidaknya menilai bahwa yang namanya Nani, memang bisa menghargai pemberian orang lain. Gede rasaku itu tak tercegah lagi, sambil mendekap belanjaanku. Aroma khas kain baru diam-diam sempat kuhirup.


Kupandangi sekali lagi ketiga potong bahan pilihanku, sembari memantas-mantaskan warna dan sulamannya. Oh puasnya daku, tidak ragu lagi. Belum pernah selega ini. Niatku menyisakan uang itu sedikt batal sudah. “Beginilah perempuan, kalau sudah belanja lupa diri, konsumtif, tidak berpijak pada skala prioritas!” sindir hatiku sendiri. Malu hati juga sih. Tapi mau bilang apa, sudah terlanjur. Aku melangkah ke kasir.
“Sudah pas ini Pak, saya suka,” kataku sambil menyerahkan tiga lembar uang merah pemberian Asnawi dari dompetku. Aku berdiri di depan meja bayar. Tetap saja mataku tak puas memandang belanjaanku, sambil menanti uang kembalian. Suasana hening sejenak. Aku mendongak.

“Buk ini cuma tiga puluh ribu,” kata sang kasir yang menerima bayaranku.
“Hah Pak, astaghfirullah, astaghfirullah. Maaf Pak, maaf sekali, saya ceroboh, saya tidak lihat-lihat, maaf ya, maaf ya Pak” darahku terasa menyemburat ke wajah. Panas, aneh kurasa. Entah bagaimana ronaku kelihatannya. Matilah aku, malulah aku ini. Kenapa aku seteledor ini? Padahal ini sudah kali kedua kekonyolanku. Bulan lalu, aku juga silap di loket pembayaran listrik. Bedanya aku tak semalu kali ini. “Sebentar Pak,” kataku akhirnya. Sebisanya aku berusaha tenang menutup besarnya rasa maluku.
“Ah gak papa, biasa itu. Kita memang suka silap antara uang seratus ribu dengan sepuluh ribu. Mirip sekali kan Buk?” suara Si Bapak tenang, seolah ingin menyelamatkan mukaku yang terasa tebal sekali. Namun tetap tak berani kumeliat wajahnya lagi. “Iya Pak, “kataku.


Dengan debar kencang di dada, aku terus merogoh setiap lapis dompetku, tasku. Tak tahulah apakah lelaki separo baya di hadapanku melihat bagaimana risihnya dan repotnya aku. Yang jelas aku sudah berkeringat. Subhanallah, ketemu uangku, walau dalam bentuk receh. Ada uang lima ribu dan seribunya.
“Ini Pak. Barangnya untuk saya uangnya untuk Bapak ya. Maaf sekali lagi,” kataku..

Aku melangkah membawa jatuhnya air mukaku.. Di dompetku tinggal dua lembar ribuan saja. Perjalananku di rembang maghrib dan padatnya lalulintas Banda Aceh, sungguh tak nyaman. Sebentar-sebentar konsentrasiku pecah. Kejadian ini cukup sekian, jangan terulang lagi, dan Asnawi pun tak boleh tahu. Kalau Asnawi bakal terkesima dengan baju baruku nanti, syukurlah. Tapi dia tak boleh tahu cerita tiga lembar uang merah itu. Ini musibah, terhadap harga diri, kecerobohan, dan ketololanku.

Serambinews room
Banda Aceh, Desember 2006.

Tidak ada komentar: