05/03/14

KESEDIHAN DIUJUNG TELEPON SERAMBI, EFEKS "KAMPANYE" DENGAN ALAT PERANG

acehbaru.com/4 Maret 2014

“Tak Bisakah Berpolitik tanpa Kekerasan?” itulah talkshow Cakrawala Serambi FM pagi tadi bertema. Senin 3 Maret 2014. Talkshow yang membahas tentang berbagai tindak kekerasan jelang pemilu Aceh menggugah rasa kemanusian para pendengarnya.

Saya sampai membaca 3 kali berulang-ulang berita ini. Dikala mata saya menggilas bait perbait kata dari tulisan yang ditulis oleh wartawati Serambi Indonesia Nani HS, saya membayangkan bagaimana Aceh yang sering disebut bermartabat? kemudian pikiran saya menerawang dan melintas sejumlah wajah pemimpin Aceh, para anggota DPR RI dari Aceh, Tokoh Aceh, Akademisi Aceh, tak lupa pikiran saya juga terlintas kepada wajah Pak Husein Hamidi yang baru saja di lantik sebagai Kapolda Aceh.

Saya merinding, ketika membaca kalimat Innalillahi wai-nna ilaihi rajiun….dalam berita itu. Kalimat terakhir kehidupan disampaikan oleh pria yang bernama Heri. Dia mengaku warga Blang Bintang Aceh Besar. Heri tak sanggup membendung rasa kesedihan melihat berbagai fenomena kekerasan yang sedang terjadi di Tanah Aceh.

“Kami sebagai rakyat Aceh menangis dan melihat bangsa Aceh dijajah oleh bangsanya sendiri. Orang Aceh tidak ada lagi akhlak. Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah. Mana aparat keamanan untuk bisa mengambil senjata-senjata itu. Mari rakyat buka mata, buka telinga, dan melihat dengan mata. Ini kehancuran Aceh. Kita di dunia hanya sementara,” keluh Heri sambil terisak-isak.

Selebihnya, suara Heri makin parau, dan di hampir sepuluh menit interaktifnya dengan Serambi FM, banyak kata-kanya tak begitu jelas terdengar. Suaranya begitu tenggelam dalam kedukaannya.

Ia benar-benar menangis tak terbendung. Kendati secara lahiriah kita tak melihat Heri, namun secara verbal/audio kita bisa membayangkan bagaimana air mata Heri berjatuhan.

Di ruang talkshow studio Serambi FM keharuan juga tampak di wajah Redaktur Harian Serambi Indonesia, Yarmen Dinamika (narasumber), Dosi Alfian (presenter) dan Executive Serambi FM (Achyar Abdullah).

Selama hampir delapan tahun usia Serambi FM, baru kali ini seorang pendengar pria penelepon, berbicara sambil menangis terisak-isak. Kondisi ini menimbulkan komentar lanjutan dari sejumlah kalangan.

“Kalau seorang lelaki sudah menangis, dengan bersuara tersedu-sedu, bayangkanlah seberapa parah luka hatinya? Seberapa besar kekecewaannya?” tulis seorang ibu melalui pesan Blackberry kepada Serambinews.com.

Sementara pendengar yang lain, Sukma Hayati juga memberi komentarnya. “Sebenarnya masyarakat Aceh mulai kehilangan karakternya. Tidak lagi berpegang pada nilai-nilai dan norma agama nilai sosial. Sehingga di mata dunia kita bukan lagi terlihat hebat. Tapi jadi terlihat bodoh. Sikap-sikap tidak menghargai nyawa manusia kurang lebih seperti sikap Yahudi.”

Cakrawala Serambi FM pagi tadi bertema, “Tak Bisakah Berpolitik tanpa Kekerasan?” Selain narasumber Yarmen Dinamika, berkomentar juga Direktur Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Sahlan Hanafiah.

III

Setelah selesai membaca tulisan itu, saya jadi bertanya berapa lagi kira-kira target akan terbunuh jelang pilkada ini? Dan berapa orang saat pemlihan nanti?

Pernahkah kita membayangkan bagaimana perasaan seorang manusia jika saudara kandung atau kawan dekat serta sahabat terbantai cuma gara-gara perbedaan pandangan dan sama-sama ingin merebut simpati masyarakat.

Apakah membunuh sebuah usaha yang maksimal untuk mencapai sesuatu?

Masih terlalu baik gajah dan harimau, yang kita tahu dua jenis hewan yang terkenal hebat, dan berbahaya. Berapa ratus tahun kita membabat hutan, baru kemudian ia marah…..tetapi manusia selama ini, seakan, sedikit perbedaan dan belum pun kelaparan gara-gara perbedaan, sudah beringas bak srigala yang sedang lapar. Terlalu kejam !

Mungkin bagi yang merasa menang dengan pertumpahan darah ini akan terkekeh, dan menyebutkan dengan kata sombong— “Kee Ka lawan atau dalam bahasa Republik “Aku Kau Lawan” Namun dibalik kekehan itu pernahkah kita membayangkan jika saudara kita yang mengalami kejadian itu. Atau anak kita ? Apa itu akan kita katakan, sebuah resiko? ………..Terserah !

Dalam konteks pemilu yang sedang berlangsung sekarang lebih cocok disebut resiko bila kalah tidak terpilih karena kurangnya coblosan masyarakat. Karena aturannya demikian. Tetapi bukan kemenangan diukur dengan berhasilnya mencabut sejumlah atribut Partai dan karena sekian banyak orang kena teroran (teror) dan begitu banyak orang terkena bal-bal. Dan yang satu lagi bukan karena berapa banyak tewas karena tembakan.

Lagian penghelatan pemilu legislative ini tidak pernah tersebut “Perang”. Dalam aturannya pemilu ini jelas sudah digariskan untuk meraih peminat bisa dilakukan dengan kampanye terbuka dan dialogis, ditambah lagi dengan sejumlah alat peraga.

Jika memang mau gentelmen dan ingin menggunakan senjata sebagai alat peraga pemilu, kenapa tidak diusulkan secara terbuka kepada pemerintah untuk pemilu di Aceh, ada penambahan model kampanye, yaitu penggunaan senjata api untuk, teror-teroran dan tembak-tembakan.

Ini biar jelas siapa yang sanggup ikut sebagai peserta atau tidak ?

Dan untuk penyelenggara pemilu jangan lagi ditangani KIP sebagai Komisi Independen Pemilihan (KIP) tetapi digantikan saja dengan nama Komando Independen Peperangan (KIP) Aceh.

Jadi, jika tidak demikian, tentunya sangat Almunafikun, dikala orang menggunakan cara kampanye dengan kata-kata dan alat peraga lunak untuk meraih simpati dan mengalahkan lawan.

Namun dibalik itu ada orang-orang yang sudah diketahui menggunakan cara kekuatan fisik, memukul serta merusak untuk menggangu lawan. Dan ada juga yang belum teridentifikasi yaitu penggunaaan senjata untuk membantai lawan. Inikah cara- cara pemilu bangsa bermartabat yang katanya penuh kemuliaan ? [*]

- See more at: http://www.acehbaru.com/kesedihan-diujung-telepon-serambi-efeks-kampanye-dengan-alat-perang/#sthash.1OxxI4oK.dpuf

Tidak ada komentar: