03/03/14

PEREMPUAN DI KING'S CHEVIOT

Cerpen : Nani.HS

Perempuan itu kaget, seketika ia pingsan. Tubuhnya yang tetap kelihatan ramping itu jatuh dalam pelukan. Laki-laki itu mendekapnya sejenak, lalu membawanya ke keteduhan di sekitar tanah perkebunan King’s Cheviot itu. Kemilau dahi perempuan disekanya. Dia menunggu beberapa saat. Lalu raga yang jatuh pingsan itu bergerak. Bulu keningnya naik turun, napasnya juga.
Perempuan itu berkedip-kedip bagai membenarkan penglihatannya. “Kau?!” sergahnya.
“Apa kabar?” balas laki-laki itu. Pandangannya menikam. Perempuan itu dibiarkan di pangkuannya. Tak juga dihapusnya mata yang membasah itu, seperti sengaja membiarkan lepas penyesalan lampau yang mengekang.
Kecuali dua pasang mata yang melihat-lihat, tak ada yang mulai bersuara lagi, membuat bicara dalam diam itu kian perih saja. Juga tak seorangpun mengerti mengapa mereka bertemu kembali. Benar, kadang hal yang mengejutkan tak pernah terduga datangnya. Taqdir adalah spesifik sifatnya. Mereka boleh percaya, pertemuan ini pun taqdir namanya.
Pemandangan di Anasteys Inggris tiba-tiba menggoda, seperti memanggil-manggil kembali gambar-gambar kabur yang pernah menjelajahi tahun-tahun belakang. Barangkali hanya dua saja kemungkinannya. Yang indah, atau cuma pernik-perniknya
saja.
Masa perpeloncoan itulah sebenarnya penyebabnya. Perempuan itu sampai menangis membacakan surat cintanya di hadapan cama-cami fakultasnya. Demi Tuhan dia benci sekali dengan salah satu seniornya. Kala itu diupamakannya sebagai badut keling lagi kerempeng. Tapi tidak disangka kalau akhirnya dia lupa diri pula dibuatnya. Batas benci tak sengaja telah dilewatinya. Terlalu benci sukalah jadinya. Seperti semerbak bunga levender di King’s Cheviot, begitulah perasaannya.
Laki-laki dan perempuan itu mulai bergandeng tangan juga. Jalan-jalan yang membelah kampus Unsyiah adalah juga bekas lintas sebuah asmara. Diingat-ingat masih segar rasanya sang kejadian. Setidak-tidaknya Bellina menjadi perantara terakhir dari perjalanan yang penuh warna itu. Perempuan itu mula-mula tidak percaya, namun adakah seorang yang dapat menolak kenyataan, dan kenyataan itu jugalah yang menenggelamkan dia akhirnya.
Sosok Bellina ternyata lebih menang dan menonjol dari segi titik pandang, lebih menghantarkan cuaca hangat yang semarak. Ya, bisa saja yang sederhana tidak kelihatan pesonanya bukan?
Asmaradana itupun benar-benar selesai jadinya. Sederhana saja. Seperti kisah klise lainnya, perempuan yang teduh itu pun lantas kalah dan mengalah. Karena pengecut? Bukan. Tidak ada kepengecutan dalam cinta sebenarnya. Yang lazim cuma wajah ganda cinta, itu saja. Juga perempuan itu tidak menyesal.
Tapi laki-laki itu betapa pahit kesalnya. Semua kesalahan yang amat meluputkan perasaan tertumpuk di dadanya. Terlambat sekali untuk membuka mata bahwa perempuan yang bukan Bellina itu sebenarnya tak dapat dilupakannya. Perempuan yang rasanya pantas jadi ladangnya, yang mampu memuat segala derita bahagianya.
Saat-saat yang paling malang dan sunyi adalah ketika undangan warna gading itu sampai di tangannya. Dia ingin sekali mengatakan ini tak mungkin, tapi itulah yang harus dipercayainya.
Diakuinya kalau perempuan itu bukanlah wanita yang pantas meraung-raung yang mungkin saja tak mampu berdiri sekalipun lantaran putus cinta.
Namun entah oleh latar belakang apa, laki-laki itu malah bererat-erat dengan perempuan-perempuan. Bulan bintang bahkan tampak lebih kilau. Andai perempuan boleh diserupakan dengan uang, karenanya kira-kira hijaulah mata lelaki itu. Barangkali benar, dia tak dapat bergerak tanpa perempuan. Perempuan yang tidak pernah sama dengan perempuannya. Ironis, manakala sadar ia merasa tak pernah berdosa. Tapi ketika kerinduan terhadap kekasihnya membuncah, dia tak bisa berkelik. Tak sebentar dia dapat mengibaskan segala sesuatu tentang perempuan itu.
Tetapi apakah maknanya kalau sekarang dia dipertemukan lagi dengan perempuan itu, keadaan dimana sudah berselang tahun dan kejadian? Ah, laki-laki itu tiba-tiba sadar. Perempuan di sampingnya itu tak lain dari istri laki-laki lain sekarang. Sangat memalukan dan dia bukan mahasiswa lagi.
“Lis ” katanya gugup. “Kau takut?” Lis bahkan dengan mudah membaca laki-laki itu. Ada yang berubah dari Lis. Masih lembut namun lebih berani sekarang. Mungkin saja, sebab perempuan kadang lebih terbuka kala dia sudah menikah. Laki-laki itu berpikir sejenak. “Ya, ini saat tepat,” batinnya. Bahkan ia akan menyesal kalau tak bicara. Apa yang bertahun mengganjal di dadanya mesti segera disampaikan pada Lis.
“Lis aku tak sempat hadir di pesta pernikahanmu. Aku di Medan waktu itu. Kembali ke Banda Aceh, aku tiba-tiba rindu kau, dan kangenku kulepas di kantin kampus kita dulu. Ya, Pak Man penunggu kantin kita itu, yakin kalau suatu saat aku akan menemuinya. Itu sebabnya dia tetap menyimpan undanganmu itu Lis. Apa boleh buat nyatanya aku baru datang dua tahun kemudian, sejak hari pernikahanmu. Memang sayang sekali. Aku terlambat bahkan hanya untuk membacanya.”
“Ya, dalam beberapa hal kita memang sering terlambat,” suara Lis samar-samar.
“Kabar juga untuk kau Lis. Kabar yang seharusnya tidak terlambat. Ini fofo istriku. Suatu saat dia pernah ingin sekali mengenalmu. Apa boleh buat, juga terlambat rupanya.”
“Maksudmu?” ,.
“Dia meninggal.” Laki-laki itu terdiam sebentar. Bagaimanapun ditahannya, matanya membening juga.
“Oh ya Lis, mana anak dan suamimu?”
“Tidak ada.” ucap Lis kemudian tanpa tanda-tanda iba ia pun mengulas senyumnya, lalu pelan berubah menjadi kekeh-kekeh panjang. Air mukanya aneh. Laki- laki itu mengguncang bahu Lis.
“Apa maksudmu Lis, kau tidak sedang menertawakan aku kan?”
“Kenapa tidak? Aku menertawakan semuanya, termasuk diriku sendiri. Ketahuilah aku tidak pernah jadi kawin,” suara Lis naik turun sekaligus dengan tawanya yang sampai menggoyangkan ikal mayangnya.
“Lis jangan main-main kau!”
“Hei, siapa yang suka main-main dengan perasaan? Dari dulu aku tak pernah main-main bukan?” Suara Lis keras terkacau dengan tawa yang keluar dari kerongkongannya yang menyekat. Entah rasa apa yang menyelinap, membuat dia tersedu. Getir sekali kedengaran bagi laki-laki itu. Lis mengalami dan memiliki nasib tak seelok yang dibayangkan. Kekeliruan siapakah? Apakah cukup dengan hanya
merindukan perempuan itu saja? Kasihan Lis.
“Lis ” itu saja yang terdengar dari mulut laki-laki itu. Lantas kedua sosok saling erat, mendaratkan kuluman, berputar-putar dengan merdeka. Apatah lagi laki-laki itu. Lis yang disangkanya hanya sebuah kenangan, ternyata sedikit saja lagi barangkali bisa dijangkau. Sekali ini dia seakan mendapatkan cinta yang romantis, yang matang.
Mata hari tinggal setengah lagi dari batas langit. Sedan buatan 1928 itu membelok ke hotel Ritzt, dimana laki-laki itu menginap. Lis lebih gembira sekarang, malah sejak meninggalkan ladang King’s Cheviot. Keseluruhan kecantikannya tak reda-reda mengundang minat laki-laki itu terus berdua-dua. Pelan sekali disentuhnya perempuan itu.
“Lis kita ke hotelku?”
“Terimakasih tapi tidak sekarang.”
“Kita hanya bercakap-cakap Lis.” Lis tidak menjawab, dia hanya mendekap laki- laki itu sekejap.
“Jangan aku, kau saja yang datang besok. Selamat tinggal,” desahnya. Laki-laki itu tiba-tiba saja berdebar. Ada yang turun menepi di hatinya, seperti tak sudi lagi dibayangkannya perpisahan itu.
Lewat pagi musim semi, diamatinya lagi kartu nama Lis. Wajahnya menjadi cerah, suara siulnya pecah di antara lorong gigi depannya yang patah. Berulang-ulang mengalunkan Autum Leaves. Laki-laki itu mencium lagi seikat leverder oleh-oleh dari Lis kemarin. Tapi dia begitu gugup. Mengapa menghadapi Lis ia begitu berkeringat? Dicobanya tetap gagah dan terus bersiul. Senandung itu baru berhenti persis di depan gerbang Cheviot Place nomor tujuh. Sebuah rumah megah yang lebih menyerupai castil di daerah Westminster, Inggris.
Jantung yang hanya sekepalan itu gemuruh lagi. Kepalanya terus digalaui rasa. Diciumnya sekali lagi kartu nama Lis. Pintu besar Cheviot Place terbuka. Hebat lagi sirap darahnya.
“Ya,” suara perempuan itu.
“Saya doel.”
“Nyonya St Vincen,” balasnya.
“Lis ada,” tanya Doel dengan santun. Mendengar itu perempuan penunggu rumah tercenung sebentar.
“Lis? Tunggu, apakah Anda tuan Abdoel?”
“Betul.”
“Sebentar.” Nyonya St Vincen berlalu dan kembali dengan sesuatu di tangannya.
“Tuan, beliau hanya menitip ini. Katanya suatu saat tuan akan datang ke sini.”
Tentang ini harus diperlihatkan pada tuan. “
“Terima kasih, tapi Lis kemarin berjanji menunggu saya di tempat ini. Apakah Lis sudah keluar?” Tuan Doel agak cemas. Sebaliknya perempuan itu berubah pucat. Dia tercengang sambil menutup mulutnya dengan tangan.
“Nyonya, dimana Lis,” Abdoel lebih cemas lagi sekarang.
“Oh my god, jadi… jadi Tuan belum tahu?”
Tuan Abdoel menjadi tak sabar. Kliping yang diberikan nyonya bule itu dibukanya cepat-cepat. Pada lembar terakhir tertulis: Lord Listerdale, Kolonel Carfak Hamilton, Rupper Quentine, Samuel Lowe,! Lista Herwazeny empat sosok berpengaruh di Inggris ikut terjebak dan tewas akibat bencana alam di kawasan festival musim salju tahun ini. Herwazeny menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit setempat. Tuan Abdoel terperangah dan menggigil. Lelaki berperawakan Hindustan itu tak dapat meneruskan berita edisi empat tahun silam itu. Kacau sekali persaannya. Tapi dia tak menyesal dengan pertemuan di tanah pertanian King’s Cheviot, kemarin.

(Banda Aceh, awal 1992)


Tidak ada komentar: