http://www.munindo.brd.de —– Serambi Indonesia, 1999.
Saudaraku, manakala membaca surat ini barangkali Anda sudah sampai ke tujuan, atau transit di suatu tempat, mungkin juga masih dalam perjalanan eksodus. Sementara aku, masih tercengang-cengang menyaksikan belasan truk mengangkut perkakas rumah tangga ke arah pelabuhan Malahayati, Aceh Besar.
Nyata-nyata kulihat, Saudara sekalian berbondong keluar dari Serambi Mekah ini, semata-mata lantaran bukan warga Aceh.
Memang harus begitukah akhir cerita silaturrahmi kita? Anda ternyata tidak bersetia atau sepenuh hati dengan pertemanan yang kita rajut selama ini. Kupikir panas sampai ke petang. Nyatanya kedekatan kita kurang bernilai hingga tak pantas dipertahankan.
Ah, entah apa yang harus kuucapkan kini. Selamat jalankah atau jangan tinggalkan daku Saudaraku, atau mari tawaqal, bahu-membahu menghadapi cobaan, atau terserah Saudaralah.
Kini harus bagaimana lagi, kita terpaksa berjarak. Mau tak mau harus kuhargai keputusan Anda saudaraku. Hanya saja, benar-benar terasa ada yang hilang dari jalur persahabatan kita. Semua begitu tergesa. Kita bagai tak kan pernah bersua lagi.
Masih terbayang wajah keruh Saudara sekalian, bahkan samar-samar juga membersit garis benci. Tidak, tidak boleh begitu saudaraku. Dalam hal ini, mungkin kita sama galaunya, sama-sama haru nan tak terucap. Memang keadaan ini sungguh tak enak. Andai di posisi Saudara, aku pun mungkin bertindak sama. Ada yang mencekam hati memancing takut, tak tertahankan, hingga lari meninggalkan persoalan, bukan menyelesaikannya.
Aku, memang tak harus bersedu-sedan atau meraung melancarkan protesku kepada oknum yang menciptakan situasi merugi ini. Kupikir tak ada gunanya, kendati kuakui menghasut itu perbuatan berlabel jahat.
Sepatutnya kita serahkan pada-Nya. Yakinlah orang Aceh memang kebanyakan bertabiat tegas, namun akan selalu punya tenggang rasa, memaafkan, dan manusiawi. Hati mereka bukan terbuat dari batu, tak setega itu menghalau Saudara seperti kawanan hewan. Jangan ada perasaan tak enak di antara kita.
Kutahu, keberangkatan kali ini memang amat tak nyaman, layaknya mengisi vakansi atau berleha mereguk nikmatnya berpergian sekeluarga. Begitu banyak beban yang menyertai Anda saudaraku. Yang paling berat bukan cuma beban ragawi tapi masih terdera himpitan batin.
Menurut berita kemarin, tiga ribu warga non-Aceh tiba di Sumatra Utara, semata-mata dalam rangka mengungsi. Sungguh bilangan fantastik jika itu bersifat selamanya, padahal kita bersahabat telah berbilang tahun, hampir sempurna kita berbaur.
Sekarang tinggallah semuanya Saudaraku. Rumah, ladang, ternak, teman serantau, tinggal kenangan.
Semua yang Anda kumpulkan hari demi hari dengan keringat halal, habis terjual murah. Kalau yang kemarin disebut mimpi, akhirnya memang benar-benar mimpi yang jarang datang dua kali.
Akan tetapi Saudaraku, bila nasi belum jadi bubur, andai Saudara masih tinggal di Aceh, bertahanlah jika ingin terus bersaudara. Kembalikan semua dalam sajadah. Ini sebuah harapan. Kita tak perlu bertikai, biar politik saja yang bertualang dengan kejalangannya, sebab dimana pun dan sampai kapan pun politik memang kejam. Itulah barangkali biang kerok kekeliruan ini, perpisahan kita. Mari ingat manisnya persahabatan selama bersama. Atau mungkinkah perpisahan ini hanya sementara? Wallahua’lam bish shawab.
Banda Aceh, 21 November 1999
Nani HS
Saudaraku, manakala membaca surat ini barangkali Anda sudah sampai ke tujuan, atau transit di suatu tempat, mungkin juga masih dalam perjalanan eksodus. Sementara aku, masih tercengang-cengang menyaksikan belasan truk mengangkut perkakas rumah tangga ke arah pelabuhan Malahayati, Aceh Besar.
Nyata-nyata kulihat, Saudara sekalian berbondong keluar dari Serambi Mekah ini, semata-mata lantaran bukan warga Aceh.
Memang harus begitukah akhir cerita silaturrahmi kita? Anda ternyata tidak bersetia atau sepenuh hati dengan pertemanan yang kita rajut selama ini. Kupikir panas sampai ke petang. Nyatanya kedekatan kita kurang bernilai hingga tak pantas dipertahankan.
Ah, entah apa yang harus kuucapkan kini. Selamat jalankah atau jangan tinggalkan daku Saudaraku, atau mari tawaqal, bahu-membahu menghadapi cobaan, atau terserah Saudaralah.
Kini harus bagaimana lagi, kita terpaksa berjarak. Mau tak mau harus kuhargai keputusan Anda saudaraku. Hanya saja, benar-benar terasa ada yang hilang dari jalur persahabatan kita. Semua begitu tergesa. Kita bagai tak kan pernah bersua lagi.
Masih terbayang wajah keruh Saudara sekalian, bahkan samar-samar juga membersit garis benci. Tidak, tidak boleh begitu saudaraku. Dalam hal ini, mungkin kita sama galaunya, sama-sama haru nan tak terucap. Memang keadaan ini sungguh tak enak. Andai di posisi Saudara, aku pun mungkin bertindak sama. Ada yang mencekam hati memancing takut, tak tertahankan, hingga lari meninggalkan persoalan, bukan menyelesaikannya.
Aku, memang tak harus bersedu-sedan atau meraung melancarkan protesku kepada oknum yang menciptakan situasi merugi ini. Kupikir tak ada gunanya, kendati kuakui menghasut itu perbuatan berlabel jahat.
Sepatutnya kita serahkan pada-Nya. Yakinlah orang Aceh memang kebanyakan bertabiat tegas, namun akan selalu punya tenggang rasa, memaafkan, dan manusiawi. Hati mereka bukan terbuat dari batu, tak setega itu menghalau Saudara seperti kawanan hewan. Jangan ada perasaan tak enak di antara kita.
Kutahu, keberangkatan kali ini memang amat tak nyaman, layaknya mengisi vakansi atau berleha mereguk nikmatnya berpergian sekeluarga. Begitu banyak beban yang menyertai Anda saudaraku. Yang paling berat bukan cuma beban ragawi tapi masih terdera himpitan batin.
Menurut berita kemarin, tiga ribu warga non-Aceh tiba di Sumatra Utara, semata-mata dalam rangka mengungsi. Sungguh bilangan fantastik jika itu bersifat selamanya, padahal kita bersahabat telah berbilang tahun, hampir sempurna kita berbaur.
Sekarang tinggallah semuanya Saudaraku. Rumah, ladang, ternak, teman serantau, tinggal kenangan.
Semua yang Anda kumpulkan hari demi hari dengan keringat halal, habis terjual murah. Kalau yang kemarin disebut mimpi, akhirnya memang benar-benar mimpi yang jarang datang dua kali.
Akan tetapi Saudaraku, bila nasi belum jadi bubur, andai Saudara masih tinggal di Aceh, bertahanlah jika ingin terus bersaudara. Kembalikan semua dalam sajadah. Ini sebuah harapan. Kita tak perlu bertikai, biar politik saja yang bertualang dengan kejalangannya, sebab dimana pun dan sampai kapan pun politik memang kejam. Itulah barangkali biang kerok kekeliruan ini, perpisahan kita. Mari ingat manisnya persahabatan selama bersama. Atau mungkinkah perpisahan ini hanya sementara? Wallahua’lam bish shawab.
Banda Aceh, 21 November 1999
Nani HS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar