22/02/05

TAK ADA APA-APA LAGI DI LEUPUENG

SERAMBI INDONESIA
21/02/2005 09:14 WIB


PENGANTAR – Aceh Besar merupakan salah satu wilayah paling parah dihantam gempa dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004. Beberapa wilayah kabupaten ini ´hilang´ dalam peta. Wilayah-wilayah yang nyaris tak berbekas antara lain Kecamatan Peukan Bada, Lhoknga, Baitussalam, Lhoong, dan Leupueng. Khusus Leupueng yang sebelumnya bagian Kecamatan Lhoknga hampir tak ada yang tersisa.

Tujuh desa di kecamatan itu musnah. Dari 13.700 penduduknya, yang tinggal paling 1.200 orang. Untuk melihat bagaimana kondisi Leupueng pasca-bencana, dan apa saja yang dilakukan oleh orang- orangnya yang tersisa, wartawan Serambi Nasir Nurdin, Nani HS dan fotografer Hilmi Hasballah menulisnya untuk laporan khusus hari ini.

INILAH Leupueng, kata Agam Patra sambil menghentikan mobil yang kami tumpangi persis di lokasi kamp pengungsian warga Leupueng di lereng Gle Judah. Kamp yang berlokasi di kawasan Ritieng itu dihuni sekitar 1.200 warga Kecamatan Leupueng yang selamat dari bencana 26 Desember 2004.

Dari lereng Gle Judah di ruas jalan negara Banda Aceh-Meulaboh itu kami bisa melempar pandang ke berbagai penjuru. Sejauh mata memandang yang tampak hanya hamparan puing berpagar pegunungan. Pegunungan itu pun tampak aneh, karena bagian kakinya ––rata-rata setinggi pohon kelapa––tercukur mirip orang pangkas cepak. Lautan yang menghampar di sebelah baratnya tampak tenang. Padahal laut itulah yang telah menghamburkan amarahnya sehingga Leupueng luluhlantak.

Coba Anda tunjukkan di mana lokasi pesantren, di mana tempat kita pernah makan mieso, dan di mana tempat-tempat lain yang mungkin pernah Anda ketahui, begitu lanjut Agam Patra, sambil terus mengemudikan mobil Kijang Kapsul BL 28 AP melewati jalanan tanah berdebu di antara puing-puing bangunan dan rongsokan mobil.

Agam Patra, sang pengusaha yang juga tokoh masyarakat Leupueng adalah satu dari 1.200 warga kecamatan itu yang selamat. Dia pula, pada hari Jumat 18 Februari 2005 mendampingi kami untuk melihat kondisi Leupueng memasuki minggu keenam pasca-bencana.

Itu bekas pesantren. Yang itu, yang ada bekas-bekas bongkahan pondasi itu bekas rumah pimpinan pesantren. Di sana, tempat kita pernah makan mieso, ujar Agam Patra sambil menunjuk beberapa titik di hamparan puing-puing. Lelaki yang akrab dipanggil Lem oleh masyarakat Leupueng itu tampak cukup tegar, meski rumah, harta benda, dan puluhan keluarga besarnya di Leupueng ikut jadi korban.

Leupueng memang hancur total. Selama beberapa pekan pasca-bencana, kawasan yang hanya berjarak sekitar 20 kilometer arah barat Kota Banda Aceh hanya bisa ditembus lewat laut dan udara. Namun sejak dua pekan lalu, Leupueng tembus lewat darat setelah jembatan Krueng Raba di Lhoknga rampung dikerjakan oleh TNI.

Ketika kami memasuki Leupueng pada siang Jumat yang panas itu, puluhan personel TNI-AD Yon Zikon 13 beserta alat berat sedang melakukan pekerjaan perbaikan ruas jalan dan jembatan yang hancur total. Paket pekerjaan itu termasuk finishing jembatan bailly Krueng Reudeung, satu dari tujuh jembatan (berbagai ukuran) di Kecamatan Leupueng yang hancur dihantam bencana.

Selain kesibukan personel TNI, mobilitas relawan dan LSM dari dalam dan luar negeri juga masih tetap tinggi ke wilayah Leupueng. Evakuasi mayat juga masih berlangsung, karena masih banyak mayat yang tertimbun runtuhan bangunan. Yang sudah bersih di bagian atas, sedangkan mayat yang tertimbun runtuhan bangunan atau pepohonan masih banyak, kata Mulia (34), lajang dari Desa Meunasah Mesjid, Kecamatan Leupueng. Mulia bergabung dalam tim relawan evakuasi mayat korban gempa dan tsunami yang dibentuk tokoh-tokoh Leupueng. Tim kami mulai bekerja sejak hari keenam pasca-bencana. Kini kami saling bahu-membahu dengan relawan dari berbagai daerah, ujar Mulia yang kehilangan ayah dan abangnya pada musibah dahsyat itu.

***

Kecamatan Leupueng membawahi tujuh desa, yaitu Deah Baro, Dayah Mamplam, Meunasah Bak U, Meunasah Mesjid, Lamseuniya, Meunasah Pulot, Meunasah Layeun dan satu desa yang sedang proses definitif yaitu Meunasah Krueng.

Bencana tsunami telah meratakan seluruh wilayah kecamatan yang membentang sekitar 30-an kilometer mulai dari puncak Gle Judah (wilayah Meunasah Dayah) sampai Paro (wilayah Meunasah Layeun) yang berada di ruas jalan Banda Aceh-Meulaboh.

Sebelum bencana, Leupueng adalah sebuah kawasan makmur. Banyak toke angkutan, toke palong (pukat tancap), toke tambak, toke kilang kayu, pedagang, dan pengusaha sektor-sektor jasa lainnya di sini. Tak heran, kalau melintas malam di Leupueng akan terlihat lampu palong menyemarakkan laut Leupueng. Truk dan berbagai jenis alat angkutan darat berjejer di pinggiran jalan. Anak mudanya terlihat selalu sibuk dengan aneka kegiatan produktif. Leupueng menjadi kebanggaan bagi Aceh Besar.

Seperti dituturkan Agam Patra, kalau Tuhan berkehendak semuanya lenyap dalam sekejap mata. Itu pula yang berlaku terhadap masyarakat Leupueng ketika bencana 26 Desember 2004.

Sebagai sebuah wilayah kecamatan, Leupueng memiliki berbagai kelengkapan infrastruktur. Di kecamatan ini memiliki berbagai fasilitas umum, dan lembaga pendidikan tingkat TK sampai SLTA, rumah ibadah, air bersih, dan lingkungan yang tertata rapi. Begitu juga lembaga pemerintahan, memiliki Kantor Camat, Makoramil, dan Mapolsek. Sistem pemerintahan berjalan normal.

Ketika bencana menyapu, yang lenyap bukan hanya infrastruktur, tetapi ribuan warganya hilang atau meninggal, termasuk tokoh-tokoh informal maupun pejabat pemerintahan. Dari tujuh kepala desa di kecamatan itu, hanya tiga yang selamat yaitu Keuchik Meunasah Bak U (Syarbaini), Keuchik Pulot (Abdullah Amin) dan Keuchik Layeun (Abdullah Usman).

Pasca-bencana dahsyat itu, masyarakat Leupueng yang selamat bukan hanya terkurung dengan daerah luar tetapi juga tak bisa berhubungan antar-desa karena sembilan jembatan besar kecil yang ada di ruas jalan Banda Aceh-Meulaboh (antara Gle Judah sampai Lhokseudu) hancur total.

Jembatan itu adalah jembatan Pulot, Titi Baro (simpang Sarah), Simpang Ateuk, Meunasah Mesjid, Krueng Tampirak, Alue Dom, Pasi Aron, Ritieng, dan sebuah jembatan dekat pesantren.

Memasuki pekan kelima pasca-bencana, hampir semua jembatan itu sudah diperbaiki atau membentuk jalan alternatif untuk menghindari jembatan yang hancur itu. Karenanya tak heran, ketika kami melintasi kawasan Leupueng pada hari itu, sebagian besar jalur jalan sudah berubah. Sebagian besar ruas jalan lama sudah di dalam laut, kata Alem, seorang tokoh muda Kecamatan Leupueng.

***

Masyarakat Leupueng yang selamat dari bencana, yang dulunya sempat terpencar-pencar di berbagai lokasi pengungsian, kini telah bersatu ke kamp pengungsian Leupueng di kawasan Ritieng (lereng Gle Judah) yang berjarak sekitar 18 kilometer arah barat Banda Aceh. Ada seratusan tenda di kamp ini.

Penghuni kamp Leupueng terbanyak adalah warga asal Desa Meunasah Pulot dan Layeun. Kedua desa ini berada di sisi bukit sehingga ketika musibah terjadi banyak warganya yang selamat.

Seorang warga Pulot, M Juned (50) mengisahkan, ketika air laut naik, dia bersama keluarga dan masyarakat lainnya sempat lari ke gunung. Tercatat sekitar 370 dari 800 warga Pulot selamat. Begitu juga warga Layeun, lebih 500 orang luput dari maut.

Koordinator Posko Pengungsian Leupueng, Agam Patra mengatakan, semua kebutuhan logistik pengungsi tak ada masalah. Bantuan mengalir lancar dari berbagai sumber. Begitu juga kegiatan peribadatan, meski hidup di pengungsian, kamp ini memiliki sebuah ´masjid´ meski berbentuk tenda. Shalat lima waktu dan shalat Jumat berlangsung rutin di kamp ini.(*)



Tidak ada komentar: