Oleh: Sulaiman Juned
SEBUAH karya sastra walau ditempel di gedung-gedung, di tembok, di gubuk reot sekali pun masih tetap kita sebut sebagai karya sastra. Begitu pula dengan karya sastra yang dipublikasikan di radio-radio amatir di Banda Aceh. Karya yang dipuublikasikan di radio, di koran atau majalah yang membedakannya hanya kualitas dari karya itu, bukan tempat publikasinya yang menentukan kualitas karya.
Lintasan perkembangan yang berkumandang di radio-radio, selama beberapa tahun belakangan ini boleh dikatan masih tepat bertahan. Walau tidak semarak pada kisaran 1980-1989, tapi masih tetap membuat para pecinta sastra cukup senang dengan adanya ruang pembacaan puisi. Hal ini dapat membawa dampak positif bagi penyair-penyair pemula. Selain menjadikan radio amatir sebagai guru, juga tempat memacu kreativitas. Mereka dapat belajar banyak dari ulasan-ulasan yang disampaikan oleh pengasuh ruang sastra budaya.
Sebagai contoh, radio Roland Nuansa. Mereka mengudarakan acara sastra budaya pada setiap malam selasa dari pukul 22.00 WIB sampai dengan 24.00 WIB, memang radio amatir yang menyuarakan acara sastra dan budaya di Banda Aceh, sampai saat ini masih dapat dihitung dengan jari, seperti: Roland Nuansa, Kharisma 70, yang di asuh Cerpenis Nani HS mengudara setiap malam sabtu. Radio Baiturrahman yang berkoar-koar setiap malam Kamis, Duta Kencana yang mengisi lintasan buadaya dengan syair-syair Aceh, asuhan Bung Yan.
Memang ada yang sangat disayangkan. Dua tahun lalu, radio Flamboyan FM juga sempat mengudarakan acara sastra budaya tapi sekarang mandek. Entah apa sebabnya, selain itu acara sastra budaya disiarkan juga di radio Cindelaras, Nikoya, Bandar Jaya, bahkan UKM- radio kampus Universitas Syiah Kuala yang sastra dan budayanya digawangi oleh Sulaiman Juned.
Sementara beberapa radio amatir lain, bahkan tidak memperdulikan sama sekali tentang ruang lintasan budaya, sungguh disayangkan, seharusnya ini tidak terjadi di negeri yang memiliki kebudayaan tinggi. Apalagi memasuki tahun 1992n ini, Gubernur Ibrahim Hasan ketika Coffe Morning dengan dengan para wartawan di Banda Aceh mengatakan, tahun monyet ini sebagai “tahun budaya” itu merupakan angin segar yang dihembuskan Gubernur Aceh kepada seniman Aceh. Atas dasar itu, kita berharap kepada radio amatir di seluruh Aceh hendaknya berkenan membuka ruang sastra budaya. Juga kepada Gubernur kita meminta agar memperhatikan nasib para seniman Aceh sekaligus mengeluarkan peraturan daerah agar seluruh radio amatir di Aceh wajib membuka ruang sastra dan budaya, sehingga tahun budaya yang digaungkan Pemerintah Daerah Aceh benar-benar terlaksana, beuek lageue su’um-su’um ek manok ciret. Semoga! (Tulisan ini dimuat diharian Serambi Indonesia, tanggal-bulan dan tahun tidak saya ketahui lagi, ini tulisan saya pungut dari puing-puing kebakaran rumah saya di Pincuran Tinggi, 18-1-2008. Banyak kliping tulisan saya di koran sudah tidak berbentuk lagi)
[Sjuned,blogspot.com]
SEBUAH karya sastra walau ditempel di gedung-gedung, di tembok, di gubuk reot sekali pun masih tetap kita sebut sebagai karya sastra. Begitu pula dengan karya sastra yang dipublikasikan di radio-radio amatir di Banda Aceh. Karya yang dipuublikasikan di radio, di koran atau majalah yang membedakannya hanya kualitas dari karya itu, bukan tempat publikasinya yang menentukan kualitas karya.
Lintasan perkembangan yang berkumandang di radio-radio, selama beberapa tahun belakangan ini boleh dikatan masih tepat bertahan. Walau tidak semarak pada kisaran 1980-1989, tapi masih tetap membuat para pecinta sastra cukup senang dengan adanya ruang pembacaan puisi. Hal ini dapat membawa dampak positif bagi penyair-penyair pemula. Selain menjadikan radio amatir sebagai guru, juga tempat memacu kreativitas. Mereka dapat belajar banyak dari ulasan-ulasan yang disampaikan oleh pengasuh ruang sastra budaya.
Sebagai contoh, radio Roland Nuansa. Mereka mengudarakan acara sastra budaya pada setiap malam selasa dari pukul 22.00 WIB sampai dengan 24.00 WIB, memang radio amatir yang menyuarakan acara sastra dan budaya di Banda Aceh, sampai saat ini masih dapat dihitung dengan jari, seperti: Roland Nuansa, Kharisma 70, yang di asuh Cerpenis Nani HS mengudara setiap malam sabtu. Radio Baiturrahman yang berkoar-koar setiap malam Kamis, Duta Kencana yang mengisi lintasan buadaya dengan syair-syair Aceh, asuhan Bung Yan.
Memang ada yang sangat disayangkan. Dua tahun lalu, radio Flamboyan FM juga sempat mengudarakan acara sastra budaya tapi sekarang mandek. Entah apa sebabnya, selain itu acara sastra budaya disiarkan juga di radio Cindelaras, Nikoya, Bandar Jaya, bahkan UKM- radio kampus Universitas Syiah Kuala yang sastra dan budayanya digawangi oleh Sulaiman Juned.
Sementara beberapa radio amatir lain, bahkan tidak memperdulikan sama sekali tentang ruang lintasan budaya, sungguh disayangkan, seharusnya ini tidak terjadi di negeri yang memiliki kebudayaan tinggi. Apalagi memasuki tahun 1992n ini, Gubernur Ibrahim Hasan ketika Coffe Morning dengan dengan para wartawan di Banda Aceh mengatakan, tahun monyet ini sebagai “tahun budaya” itu merupakan angin segar yang dihembuskan Gubernur Aceh kepada seniman Aceh. Atas dasar itu, kita berharap kepada radio amatir di seluruh Aceh hendaknya berkenan membuka ruang sastra budaya. Juga kepada Gubernur kita meminta agar memperhatikan nasib para seniman Aceh sekaligus mengeluarkan peraturan daerah agar seluruh radio amatir di Aceh wajib membuka ruang sastra dan budaya, sehingga tahun budaya yang digaungkan Pemerintah Daerah Aceh benar-benar terlaksana, beuek lageue su’um-su’um ek manok ciret. Semoga! (Tulisan ini dimuat diharian Serambi Indonesia, tanggal-bulan dan tahun tidak saya ketahui lagi, ini tulisan saya pungut dari puing-puing kebakaran rumah saya di Pincuran Tinggi, 18-1-2008. Banyak kliping tulisan saya di koran sudah tidak berbentuk lagi)
[Sjuned,blogspot.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar