SERAMBI INDONESIA
27/07/2005 05:26 WIB
BOCAH malang itu bernama Putri Nirwana. Umurnya 11 tahun. Ia anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Eri Candra-Nuraini, penduduk Lamreung Meunasah Papeun, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar.
27/07/2005 05:26 WIB
BOCAH malang itu bernama Putri Nirwana. Umurnya 11 tahun. Ia anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Eri Candra-Nuraini, penduduk Lamreung Meunasah Papeun, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar.
Putri Nirwana yang akrab dipanggil Putri kini duduk di kelas V SDN 55 Banda Aceh, di kawasan Lamgugop. Semangatnya untuk bersekolah sangat tinggi, meski ia harus diantar dan dijemput sambil dipapah.
Ia tak mampu lagi beraktivitas secara normal. Kursi tempat duduk di sekolah pun harus mememiliki sandaran, karena tubuhnya tak mampu lagi ditegakkan. Berat badannya hanya 19 kilogram, sangat tidak ideal dengan tinggi tubuh maupun usianya.
Ada apa dengan Putri? Menurut penuturan kedua orangtuanya, ketika Putri masih kelas I SD, di bagian paha kirinya tumbuh benjolan di bawah kulit. Ukurannya sebesar kelereng, namun berbentuk agak pipih.
Dua bulan setelah munculnya penyakit itu, orangtuanya membawa Putri ke RSU Zainoel Abidin. “Dokter Sutomo Marsimin (spesialis bedah) mengoperasi penyakit anak kami,” kata Nuraini dibenarkan suaminya, ketika mengisahkan penderitaan Putri kepada Serambi, Selasa (26/7). Harapan untuk kesembuhan Putri ternyata hanya tinggal harapan.
Setelah operasi itu, kondisi Putri semakin memburuk. Benjolan itu memang berhasil diangkat, namun bagian paha sampai ke ujung kaki mengeras dan bertambah besar. Warnanya membiru dan lama kelamaan menghitam. Kini ukuran kaki kiri bocah malang itu mencapai tiga kali lipat dari ukuran kaki kanannya yang terus mengecil. Parahnya lagi, Putri tak bisa menggerakkan lagi kaki kirinya. Juga tak bisa melipatnya secara normal. Kejang dan kaku.
Yang kini bermasalah bukan hanya kaki. Bagian punggungnya (belakang) juga mulai mengeras dan membiru. Putri selalu mengerang sakit ketika tangannya diangkat. Sedangkan bagian kaki yang kini menghitam dan mengeras, meski tidak sakit, tetapi selalu gatal-gatal. “Kalau sedang tidak sekolah, Putri hanya bisa tidur tak berdaya di rumah,” ujar sang ibu sambil mengusap airmata.
Orangtua Putri sempat membawa anaknya untuk konsultasi dengan Prof dr Bukhari Kasim (spesialis operasi plastik) di Medan. Dokter Bukhari sempat memeriksa kondisi Putri namun dia menolak melakukan operasi lanjutan karena menilai kasus Putri tak bisa dioperasi. “Pak dr Bukhari mengajurkan kami kembali ke Banda Aceh menemui dr Sutomo. Beliau juga menyusul dan sempat berdialog tentang kasus Putri dengan dr Sutomo,” kata orangtua Putri.
Tak ada lagi obat, diikat saja
Ketika tim dokter dari Jakarta sedang ramai-ramainya di Banda Aceh (menangani korban tsunami), secara bergantian Putri ditangani oleh para dokter dari luar daerah tersebut. “Setiap datang tim dokter dari Jakarta, Putri selalu diperiksa dan difoto. Besoknya datang lagi tim lain, difoto lagi. Begitu-begitu terus,” ungkap Nuraini.
Ketika semua dokter dari Jakarta kembali ke tempat asalnya, Putri tetap dibawa ke RSU Zainoel Abidin karena ia masih tercatat sebagai pasien rawat jalan di Poli Bedah. “Petugas Poli Bedah selalu mengarahkan saya ke dr Jailani. Tetapi setelah sekian lama, tak ada tindakan apa-apa yang dilakukan terhadap anak saya,” kata Nuraini.
Nuraini mengisahkan, suatu hari ia sempat menangis di depan dokter yang menangani anaknya. Namun si dokter mengatakan, “Tak usah menangis, tak ada obat lagi untuk anak ibu. Kaki anak ibu diikat saja (dibalut) setiap hari (agar tidak terus bengkak),” begitu pengakuan Nuraini mengenang kata-kata sang dokter di RSU Zainoel Abidin, Banda Aceh.
Hingga kini orangtua Putri tak tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap anak mereka. Walaupun rutin ke rumah sakit, namun tak ada tindakan apapun dari dokter, kecuali saran agar kaki Putri diikat.
“Kami terombang-ambing dalam ketidakpastian. Kalau pun betul tak ada lagi obat untuk anak kami, tolong keluarkan pernyataan tertulis agar kami tak repot-repot lagi ke sana-kemari,” tandas Nuraini sambil menegaskan bahwa ia bersedia dikonfrontir secara langsung dengan dokter yang mengatakan tak ada lagi obat untuk anaknya.
Hingga kemarin, Serambi belum mendapatkan konfirmasi dari pihak RSU Zainoel Abidin Banda Aceh maupun dengan dokter yang pernah menangani Putri Nirwana. Namun sejumlah kalangan berharap agar berbagai pihak (termasuk pemerintah daerah) peduli dengan derita Putri. Derita seorang bocah dari keluarga miskin setelah pisau bedah menyayat bagian tubuhnya.
(nasir nurdin/nani hs)
Ia tak mampu lagi beraktivitas secara normal. Kursi tempat duduk di sekolah pun harus mememiliki sandaran, karena tubuhnya tak mampu lagi ditegakkan. Berat badannya hanya 19 kilogram, sangat tidak ideal dengan tinggi tubuh maupun usianya.
Ada apa dengan Putri? Menurut penuturan kedua orangtuanya, ketika Putri masih kelas I SD, di bagian paha kirinya tumbuh benjolan di bawah kulit. Ukurannya sebesar kelereng, namun berbentuk agak pipih.
Dua bulan setelah munculnya penyakit itu, orangtuanya membawa Putri ke RSU Zainoel Abidin. “Dokter Sutomo Marsimin (spesialis bedah) mengoperasi penyakit anak kami,” kata Nuraini dibenarkan suaminya, ketika mengisahkan penderitaan Putri kepada Serambi, Selasa (26/7). Harapan untuk kesembuhan Putri ternyata hanya tinggal harapan.
Setelah operasi itu, kondisi Putri semakin memburuk. Benjolan itu memang berhasil diangkat, namun bagian paha sampai ke ujung kaki mengeras dan bertambah besar. Warnanya membiru dan lama kelamaan menghitam. Kini ukuran kaki kiri bocah malang itu mencapai tiga kali lipat dari ukuran kaki kanannya yang terus mengecil. Parahnya lagi, Putri tak bisa menggerakkan lagi kaki kirinya. Juga tak bisa melipatnya secara normal. Kejang dan kaku.
Yang kini bermasalah bukan hanya kaki. Bagian punggungnya (belakang) juga mulai mengeras dan membiru. Putri selalu mengerang sakit ketika tangannya diangkat. Sedangkan bagian kaki yang kini menghitam dan mengeras, meski tidak sakit, tetapi selalu gatal-gatal. “Kalau sedang tidak sekolah, Putri hanya bisa tidur tak berdaya di rumah,” ujar sang ibu sambil mengusap airmata.
Orangtua Putri sempat membawa anaknya untuk konsultasi dengan Prof dr Bukhari Kasim (spesialis operasi plastik) di Medan. Dokter Bukhari sempat memeriksa kondisi Putri namun dia menolak melakukan operasi lanjutan karena menilai kasus Putri tak bisa dioperasi. “Pak dr Bukhari mengajurkan kami kembali ke Banda Aceh menemui dr Sutomo. Beliau juga menyusul dan sempat berdialog tentang kasus Putri dengan dr Sutomo,” kata orangtua Putri.
Tak ada lagi obat, diikat saja
Ketika tim dokter dari Jakarta sedang ramai-ramainya di Banda Aceh (menangani korban tsunami), secara bergantian Putri ditangani oleh para dokter dari luar daerah tersebut. “Setiap datang tim dokter dari Jakarta, Putri selalu diperiksa dan difoto. Besoknya datang lagi tim lain, difoto lagi. Begitu-begitu terus,” ungkap Nuraini.
Ketika semua dokter dari Jakarta kembali ke tempat asalnya, Putri tetap dibawa ke RSU Zainoel Abidin karena ia masih tercatat sebagai pasien rawat jalan di Poli Bedah. “Petugas Poli Bedah selalu mengarahkan saya ke dr Jailani. Tetapi setelah sekian lama, tak ada tindakan apa-apa yang dilakukan terhadap anak saya,” kata Nuraini.
Nuraini mengisahkan, suatu hari ia sempat menangis di depan dokter yang menangani anaknya. Namun si dokter mengatakan, “Tak usah menangis, tak ada obat lagi untuk anak ibu. Kaki anak ibu diikat saja (dibalut) setiap hari (agar tidak terus bengkak),” begitu pengakuan Nuraini mengenang kata-kata sang dokter di RSU Zainoel Abidin, Banda Aceh.
Hingga kini orangtua Putri tak tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap anak mereka. Walaupun rutin ke rumah sakit, namun tak ada tindakan apapun dari dokter, kecuali saran agar kaki Putri diikat.
“Kami terombang-ambing dalam ketidakpastian. Kalau pun betul tak ada lagi obat untuk anak kami, tolong keluarkan pernyataan tertulis agar kami tak repot-repot lagi ke sana-kemari,” tandas Nuraini sambil menegaskan bahwa ia bersedia dikonfrontir secara langsung dengan dokter yang mengatakan tak ada lagi obat untuk anaknya.
Hingga kemarin, Serambi belum mendapatkan konfirmasi dari pihak RSU Zainoel Abidin Banda Aceh maupun dengan dokter yang pernah menangani Putri Nirwana. Namun sejumlah kalangan berharap agar berbagai pihak (termasuk pemerintah daerah) peduli dengan derita Putri. Derita seorang bocah dari keluarga miskin setelah pisau bedah menyayat bagian tubuhnya.
(nasir nurdin/nani hs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar