Serambi Indonesia / Rabu, 25 Januari, 2006
Saya akan kirim surat ke DPR-RI. Saya akan approach komisi II. Nanti, kita juga memberi dukungan ke Presiden,” ucap Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, DR Meutia Hatta dengan intonasi yang ramah dan tak henti menebar senyum.
“Alhamdulillah.” dengan raut kelegaan, itulah ungkapan spontan dari enam kaum hawa mewakili Jaringan Perempuan untuk Kebijakan Aceh, yang khusus datang ke Kantor Kementerian Negara PP, Jumat (20/1), 10.00 WIB. Tak lain sebagai langkah pengawalan sejumlah point isu perempuan dalam Rancangan Undang Undang Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh (RUU-PPA) yang bakal diproses di DPR-RI. Yang menurut rencana pada 31 Maret 2006 sudah harus berlaku di Aceh.
Pertemuan yang tak ubahnya perjumpaan antara adik dan kakak itu semakin hangat ketika mempertajam pembicaraan ikhwal minimnya keterwakilan perempuan dalam RUU-PPA, plus soal kepentingan perempuan yang kurang mendapat perhatian, utamanya soal hak pelayanan kesehatan, apalagi hak wanita hamil termasuk penyediaan kebutuhan ibu dan anak yang selama ini belum maksimal.
“Perjuangan memang berat. Tapi pada prinsipnya kita akan menolong. Undang-undang ini memang harus menolong orang Aceh, perempuan Aceh. Tentu tetap menolong orang Aceh dalam format NKRI. Simbul kesatuan jangan kita lepas. Secara detil yang kita minta itu peluru yang efektif. Jangan hanya kantong senapannya yang bagus,” tegas putri salah seorang Proklamator RI yang juga putri Rahmi Hatta turunan wanita dari Meraxa Banda Aceh itu.
Perempuan yang dalam pertemuan di ruang kerjanya itu tampil rapi tapi sederhana, dengan bahasa perumpamaannya mengatakan, keterlibatan perempuan dalam semua lini tidak hanya sebagai simbul, tapi benar-benar diberi ruang dan kesempatan yang seluas-luasnya. Ibarat peluru yang siap melesat jauh menuju sasarannya untuk kemaslahatan bersama. Mendengar itu ada sebaris kelegaan yang tersirat di wajah utusan Jaringan Perempuan Untuk Kebijakan Aceh.
Kelegaan yang sama mencuat ketika kaukus perempuan ini berada di Ruang Rapat Komisi II (KK III) DPR-RI, (Kamis, 19/1, 10.00 WIB). Yang pertama karena sambutan Komisi II yang hangat, kendati tak semua anggota hadir. “Saya bisa mengerti suasana batin saudara-saudara sekalian. Kalau saja perempuan itu memainkan peranan penting dalam rekonsiliasi, saya kira bisa memasukkan aspek-aspek kasih sayang, cinta, kepedulian kepada kemanusiaan dalam pertarungan kepentingan, yang lebih banyak didominasi semangat penyelesaian dengan kekerasan,” kata Ketua Rapat Dengar Pendapat Umum (baca: Audiensi), Ir Sayuti Asyathri, juga dalam sikap ramah tamah.
Kecuali itu menurutnya, perlu pula ada dukungan dari kemampuan legal drafting, agar jangan hanya memasukkan sebanyak mungkin kata perempuan dalam teks. Sebab apalah artinya jumlah kata perempuan yang banyak, tapi hanya bersifat normatif.
Substansi pembicaraan tersebut tidak jauh berbeda dengan ungkapan anggota Komisi II lain yang konsern memperjuangkan isu perempuan/kesetaraan gender. Baik Andi Wahab Mojokayo, Nurhayati Asiningpo, Edi Emihati, Saifullah Maksuf.
Hanya saja anggota Komisi II (asal Aceh), Muhammad Yus, mengatakan semua usulan Jaringan yang masuk ke komisi akan ditinjau dulu, dan dicari celah yang bisa mengakomodir aspirasi yang diusung Jaringan. “Saya tidak serta merta mendukung point-point itu. Belum tentu juga. Buat apa bermanis-manis, lalu tidak ada perjuangan apa pun di komisi. Pada prinsipnya perempuan harus masuk di semua lini, terkecuali yang dibatasi oleh syariat,” kata Muhammad Yus.
Dilatarbelakangi penguatan yang tidak tentu inilah, jauh-jauh bertolak dari Banda Aceh (Selasa, 17/1), utusan Jaringan (Syarifah Rahmatillah, Suraiya Kamaruzzaman, Arabiani, Mustafirah, Rasyidah, dan Kartini Mayeli) melakukan pengawalannya untuk mewujudkan hak-hak perempuan supaya termaktub dalam UUPPA.
Kecuali itu, menurut Syarifah Rahmatillah, kawalan dilakukan agar selain pointer usulan yang sudah termuat dalam draft (sudah pada tahap disidangkan DPRD, dan sudah masuk Depdagri) tidak dipetieskan.
Bagaimana bunyi pointer-pointer titipan Jaringan? Yang pertama adalah lima point tentang isu perempuan yang harus dipertahankan dalam RUUPA. Yaitu Bab XI: Partai Politik Lokal, Pasal 65; ayat 2: Partai politik local didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan sekurang-kurangnya 30 % perempuan dan sudah berdomisili tetap di Aceh. Ayat 6; Kepengurusan partai politik lokal terdiri dari atas sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen) perempuan.
Bab XXIII: Perekonomian, Pasal 128 ayat 3; Usaha-usaha perekonomian di Aceh diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan, penghormatan atas hak-hak rakyat setempat, pemberian peluang dan akses pendanaan seluas-luasnya kepada usaha ekonomi oleh kelompok perempuan, serta pemberian jaminan hukum bagi pengusaha dan pekerja.
Bab XXVI: Pendidikan, Pasal 168 ayat 2; Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat termasuk kelompok perempuan melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Bab XXIX: Kesehatan, Pasal 180 ayat 4; Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota memberikan peluang kepada lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, lembaga adapt, organisasi sosial, organisasi perempuan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat serta dunia usaha yang memenuhi persyaratan untuk berperan dalam bidang kesehatan.
Bab XXX: Hak Asasi Manusia, Pasal 186 ayat 1; Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota serta penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya-upaya pemberdayaan yang bermartabat. Ayat 2; Pemajuan, perlindungan dan pemberdayaan hak-hak perempuan dan anak yang disebut pada ayat (1) masing-masing diatur lebih lanjut di dalam Qanun Aceh. Inilah pointer yang “setengah mati” di perjuangkan untuk dipertahankan tim perempuan yang sedang menunggu jawaban untuk bisa bertemu SBY ini.
Sedangkan pointer berikut ini adalah usulan tambahan mereka, dengan harapan dimasukkan ke UUPA nanti. Yakni pada Bab IX: Penyelenggaraan Pemilihan, Pasal 49 ayat 1; Anggota KIP berjumlah 7 (tujuh) orang untuk Aceh dan 5 (lima) orang untuk masing-masing Kabupaten/Kota, yang terdiri atas unsure masyarakat***(dua di antaranya adalah perempuan)
Bab XV: Kepegawaian, pasal 92: 1) Pemerintah dan pemerintah Aceh melaksanakan pembinaan pegawai negeri sipil daera dalam suatu kesatuan penyelenggaraan pegawai negeri secara nasional. 2) Pembinaan pegawai negeri sipil daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah. 3) ***(Pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 juga didukung dengan pengembangan fasilitas pendukung ibu dan anak bagi PNS perempuan).
Bab IV: Kewenangan Aceh, Pasal 9 ayai 1: Aceh berwenang untuk membentuk Lembaga, Badan atau Komisi sesuai dengan kebutuhan ***(melibatkan perempuan di tingkat pengambil kebijakan)
Bab IV: Pembagian Urusan Pemerintahan, Pasal 13 ayat 3: Urusan Pemerintah Aceh yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintaan yang secara nyata berpotensi meningkatkan partisipasi masyarakat ***(Laki-laki dan perempuan) dalam kegiatan ekonomi.
Bab XII: Lembaga Wali Nanggroe, Pasal 76 ayat 4 dan 5. Ayat 4;Wali Nanggroe dipilih dalam musyawarah yang kepengurusannya terdiri dari: a) Pemuka adapt, ulama dan tokoh-tokoh masyarakat yang mewakili kabupaten/kota, b) Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh; dan c) Ketua Majelis Adat, d) Komponen Perempuan.
Ayat 5; Peserta musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, sebanyak 3 (tiga) rang dari setiap kabupaten/kota terdiri dari: a) 1 (satu) orang pemuka adapt yang mewakili Majelis Adat Kabupaten/Kota; b) 1 (satu) orang dari unsusr ulama yang mewakili MPU Kabupaten/Kota; dan c) 1 (satu) orang dari unsure tokoh masyarakat yang dipilih oleh musyawarah imuem mukim atau nama lain. D) 1 (satu) orang dari komponen perempuan **(ditambah huruf d––-harus ada komposisi perempuan).
Bab XIV: Perangkat Pemerintah Aceh. Pasal 90 ayat 1: Imuem Mukim atau nama lain adalah Kepala Pemerintahan Mukim yang dibantu Tuha Peuet Mukim atau nama lain yang dipilih melalui musyawarah Mukim untuk masa jabatan 5 (lima) tahun ***(dengan melibatkan komponen perempuan). Bab XIII: Lembaga Adat, Pasal 79; Lemabaga adapt berfungsi dan berperan sebagai alat control dalam penyelenggaraan Pemerintah Aceh, bidang keamanan, ketentraman, kerukunan dan keterlibatan masyarakat *** (dengan melibatkan komponen perempuan).
Bab XX: MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama), Pasal 116 ayat 1´ Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dibentuk di Aceh dan Kabupaten/Kota yang anggotanya terdiri atas ulama dan intelektual muslim yang memahami secara mendalam ilmu agama Islam ***(dan melibatkan komponen perempuan). Bab XXIX: Kesehatan, Pasal 180 ayat 5; Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota menyediakan pembiyaan kesehatan yang mencukupi kebutuihan normative upaya kesehatan masyarakat dan upaya keseatan perorangan bagi penduduk miskin ***(serta mengalokasikan dana khusus kesaatan ibu dan anak).
Bab XXI: Perencanaan Pembangunan dan Tata Ruang, Pasal 119 ayat 1; Masyarakat berhak terlibat untuk memberikan masukan secara lisan maupun tulisan tentang penyusunan perencanaan pembangunan Aceh melalui penjaringan aspirasi dan bawah (bottom up) ***(dengan mengikutsertakan komponen perempuan). Demi melengkapi usaha, tentu usulan baik yang harus dipertahankan dan usulan tambahan dilengkapi dengan argumentasi penguatan, yang sedikit banyak dilatarbelakangi kondisi kurangnya kesempatan, akses, dan ruang perempuan di lingkup pengambilan keputusan dan keterlibatannya dalam semua lini pembangunan.
Usulan yang harus dipertahankan dan usulah tambahan ini tetap mejadi kekhawatiran tim. Namun ketika tim memang harus “mengalah”, tentu akan memilih “berkompromi” saja, bahwa paling tidak apa yang sudah masuk ke draft hendaknya bisa lolos menjadi teks UUPA.
“Alasan klasik yang sering disebutkan adalah perempuan meminta terlalu banyak. Argumen kami sebenarnya bukan karena meminta terlalu banyak. Masalahnya, perempuan dan laki-laki mempunyai hak dan kepentingan yang sama. Ketika berpuluh tahun hak perempuan tidak pernah diberikan, sehingga lama kelamaan di kepala setiap orang menganggap itu bukan lagi sebagai bagian hak perempuan,” urai Suraiya Kamaruzzaman dalam dengar pendapat di DPR-RI.
Begitupun pandangan Mustafirah dan Rasyidak (asal kampus IAIN Ar-Raniry). Bahwa perempuan masa lampau sudah pernah empat kali duduk dalam pemerintaan Aceh. Jadi perjuangan ini bukan cerita asing termasuk pemuatan kearifan local. Karena UU yang akan lahir adalah UUPPA bukan nasional. Dari segi azas manfaat ada dua. Pertama manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat umum seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya, dan yang kedua bersifat pemberdayaan perempuan itu dalam aspek pemerintahan, ke lembagaan adat, ke wilayah pengambil kebijakan. Keduanya saling mengikat.
Usaha Jaringan memasukkan “diri” dalam UUPPA, tidak cukup hanya dengan bertemu Meneg PP, Komisi II, Jaringan ini juga meminta dukungan Komisi Nasional Perempuan, dan bantuan Jaringan Demokrasi Aceh di Jakarta, juga membangun hubungan dengan Depdagri, mengikuti diplomat meeting di Hotel Arya Duta (Spanyol dan Belanda) serta memperkuat hubungan dengan tim asistensi yang akan dibentuk di Komisi II. Advokasi dilakukan pula lewat media cetak (berupa ekspose misi dan pemuatan opini) dan elektronik, sejak minggu-minggu belakangan.
Kendati baru melakukan pengawalan, satu hal yang paling berpengharapan adalah Meneg PP bersedia menfasilitasi Jaringan Perempuan untuk Kebijakan Aceh agar bisa bertemu langsung dengan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono. Bagai mendapat durian runtuh, Jaringan yang bekerja sama dengan Mitra Sejati Perempuan Indonesia (Mispi) dan difasilitasi United Nation Development Fund for Women (Unifem) ini pun telah siap dengan selembar surat permohonan bertemu SBY. Hanya saja, baik bahasa lahir yang datang dari komisi II DPR-RI atau janji Mutia Hatta akan membantu, tetap membuat jantung berdetak memunculkan gundah. Akankah hasrat menjadi kenyataan, lalu tertuang dalam bahasa tulisan? Atau semua usulan baik yang dipertahankan maupun yang ditambah, akhirnya dianulir dan menjadi perjuangan yang sia-sia? Suratan takdirlah yang bisa menjawab nasib hari depan perempuan Aceh dalam aspek pembangunan dan haknya sebagai warga Tanah Air ini.
Nani.HS
Saya akan kirim surat ke DPR-RI. Saya akan approach komisi II. Nanti, kita juga memberi dukungan ke Presiden,” ucap Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, DR Meutia Hatta dengan intonasi yang ramah dan tak henti menebar senyum.
“Alhamdulillah.” dengan raut kelegaan, itulah ungkapan spontan dari enam kaum hawa mewakili Jaringan Perempuan untuk Kebijakan Aceh, yang khusus datang ke Kantor Kementerian Negara PP, Jumat (20/1), 10.00 WIB. Tak lain sebagai langkah pengawalan sejumlah point isu perempuan dalam Rancangan Undang Undang Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh (RUU-PPA) yang bakal diproses di DPR-RI. Yang menurut rencana pada 31 Maret 2006 sudah harus berlaku di Aceh.
Pertemuan yang tak ubahnya perjumpaan antara adik dan kakak itu semakin hangat ketika mempertajam pembicaraan ikhwal minimnya keterwakilan perempuan dalam RUU-PPA, plus soal kepentingan perempuan yang kurang mendapat perhatian, utamanya soal hak pelayanan kesehatan, apalagi hak wanita hamil termasuk penyediaan kebutuhan ibu dan anak yang selama ini belum maksimal.
“Perjuangan memang berat. Tapi pada prinsipnya kita akan menolong. Undang-undang ini memang harus menolong orang Aceh, perempuan Aceh. Tentu tetap menolong orang Aceh dalam format NKRI. Simbul kesatuan jangan kita lepas. Secara detil yang kita minta itu peluru yang efektif. Jangan hanya kantong senapannya yang bagus,” tegas putri salah seorang Proklamator RI yang juga putri Rahmi Hatta turunan wanita dari Meraxa Banda Aceh itu.
Perempuan yang dalam pertemuan di ruang kerjanya itu tampil rapi tapi sederhana, dengan bahasa perumpamaannya mengatakan, keterlibatan perempuan dalam semua lini tidak hanya sebagai simbul, tapi benar-benar diberi ruang dan kesempatan yang seluas-luasnya. Ibarat peluru yang siap melesat jauh menuju sasarannya untuk kemaslahatan bersama. Mendengar itu ada sebaris kelegaan yang tersirat di wajah utusan Jaringan Perempuan Untuk Kebijakan Aceh.
Kelegaan yang sama mencuat ketika kaukus perempuan ini berada di Ruang Rapat Komisi II (KK III) DPR-RI, (Kamis, 19/1, 10.00 WIB). Yang pertama karena sambutan Komisi II yang hangat, kendati tak semua anggota hadir. “Saya bisa mengerti suasana batin saudara-saudara sekalian. Kalau saja perempuan itu memainkan peranan penting dalam rekonsiliasi, saya kira bisa memasukkan aspek-aspek kasih sayang, cinta, kepedulian kepada kemanusiaan dalam pertarungan kepentingan, yang lebih banyak didominasi semangat penyelesaian dengan kekerasan,” kata Ketua Rapat Dengar Pendapat Umum (baca: Audiensi), Ir Sayuti Asyathri, juga dalam sikap ramah tamah.
Kecuali itu menurutnya, perlu pula ada dukungan dari kemampuan legal drafting, agar jangan hanya memasukkan sebanyak mungkin kata perempuan dalam teks. Sebab apalah artinya jumlah kata perempuan yang banyak, tapi hanya bersifat normatif.
Substansi pembicaraan tersebut tidak jauh berbeda dengan ungkapan anggota Komisi II lain yang konsern memperjuangkan isu perempuan/kesetaraan gender. Baik Andi Wahab Mojokayo, Nurhayati Asiningpo, Edi Emihati, Saifullah Maksuf.
Hanya saja anggota Komisi II (asal Aceh), Muhammad Yus, mengatakan semua usulan Jaringan yang masuk ke komisi akan ditinjau dulu, dan dicari celah yang bisa mengakomodir aspirasi yang diusung Jaringan. “Saya tidak serta merta mendukung point-point itu. Belum tentu juga. Buat apa bermanis-manis, lalu tidak ada perjuangan apa pun di komisi. Pada prinsipnya perempuan harus masuk di semua lini, terkecuali yang dibatasi oleh syariat,” kata Muhammad Yus.
Dilatarbelakangi penguatan yang tidak tentu inilah, jauh-jauh bertolak dari Banda Aceh (Selasa, 17/1), utusan Jaringan (Syarifah Rahmatillah, Suraiya Kamaruzzaman, Arabiani, Mustafirah, Rasyidah, dan Kartini Mayeli) melakukan pengawalannya untuk mewujudkan hak-hak perempuan supaya termaktub dalam UUPPA.
Kecuali itu, menurut Syarifah Rahmatillah, kawalan dilakukan agar selain pointer usulan yang sudah termuat dalam draft (sudah pada tahap disidangkan DPRD, dan sudah masuk Depdagri) tidak dipetieskan.
Bagaimana bunyi pointer-pointer titipan Jaringan? Yang pertama adalah lima point tentang isu perempuan yang harus dipertahankan dalam RUUPA. Yaitu Bab XI: Partai Politik Lokal, Pasal 65; ayat 2: Partai politik local didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan sekurang-kurangnya 30 % perempuan dan sudah berdomisili tetap di Aceh. Ayat 6; Kepengurusan partai politik lokal terdiri dari atas sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen) perempuan.
Bab XXIII: Perekonomian, Pasal 128 ayat 3; Usaha-usaha perekonomian di Aceh diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan, penghormatan atas hak-hak rakyat setempat, pemberian peluang dan akses pendanaan seluas-luasnya kepada usaha ekonomi oleh kelompok perempuan, serta pemberian jaminan hukum bagi pengusaha dan pekerja.
Bab XXVI: Pendidikan, Pasal 168 ayat 2; Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat termasuk kelompok perempuan melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Bab XXIX: Kesehatan, Pasal 180 ayat 4; Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota memberikan peluang kepada lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, lembaga adapt, organisasi sosial, organisasi perempuan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat serta dunia usaha yang memenuhi persyaratan untuk berperan dalam bidang kesehatan.
Bab XXX: Hak Asasi Manusia, Pasal 186 ayat 1; Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota serta penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya-upaya pemberdayaan yang bermartabat. Ayat 2; Pemajuan, perlindungan dan pemberdayaan hak-hak perempuan dan anak yang disebut pada ayat (1) masing-masing diatur lebih lanjut di dalam Qanun Aceh. Inilah pointer yang “setengah mati” di perjuangkan untuk dipertahankan tim perempuan yang sedang menunggu jawaban untuk bisa bertemu SBY ini.
Sedangkan pointer berikut ini adalah usulan tambahan mereka, dengan harapan dimasukkan ke UUPA nanti. Yakni pada Bab IX: Penyelenggaraan Pemilihan, Pasal 49 ayat 1; Anggota KIP berjumlah 7 (tujuh) orang untuk Aceh dan 5 (lima) orang untuk masing-masing Kabupaten/Kota, yang terdiri atas unsure masyarakat***(dua di antaranya adalah perempuan)
Bab XV: Kepegawaian, pasal 92: 1) Pemerintah dan pemerintah Aceh melaksanakan pembinaan pegawai negeri sipil daera dalam suatu kesatuan penyelenggaraan pegawai negeri secara nasional. 2) Pembinaan pegawai negeri sipil daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah. 3) ***(Pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 juga didukung dengan pengembangan fasilitas pendukung ibu dan anak bagi PNS perempuan).
Bab IV: Kewenangan Aceh, Pasal 9 ayai 1: Aceh berwenang untuk membentuk Lembaga, Badan atau Komisi sesuai dengan kebutuhan ***(melibatkan perempuan di tingkat pengambil kebijakan)
Bab IV: Pembagian Urusan Pemerintahan, Pasal 13 ayat 3: Urusan Pemerintah Aceh yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintaan yang secara nyata berpotensi meningkatkan partisipasi masyarakat ***(Laki-laki dan perempuan) dalam kegiatan ekonomi.
Bab XII: Lembaga Wali Nanggroe, Pasal 76 ayat 4 dan 5. Ayat 4;Wali Nanggroe dipilih dalam musyawarah yang kepengurusannya terdiri dari: a) Pemuka adapt, ulama dan tokoh-tokoh masyarakat yang mewakili kabupaten/kota, b) Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh; dan c) Ketua Majelis Adat, d) Komponen Perempuan.
Ayat 5; Peserta musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, sebanyak 3 (tiga) rang dari setiap kabupaten/kota terdiri dari: a) 1 (satu) orang pemuka adapt yang mewakili Majelis Adat Kabupaten/Kota; b) 1 (satu) orang dari unsusr ulama yang mewakili MPU Kabupaten/Kota; dan c) 1 (satu) orang dari unsure tokoh masyarakat yang dipilih oleh musyawarah imuem mukim atau nama lain. D) 1 (satu) orang dari komponen perempuan **(ditambah huruf d––-harus ada komposisi perempuan).
Bab XIV: Perangkat Pemerintah Aceh. Pasal 90 ayat 1: Imuem Mukim atau nama lain adalah Kepala Pemerintahan Mukim yang dibantu Tuha Peuet Mukim atau nama lain yang dipilih melalui musyawarah Mukim untuk masa jabatan 5 (lima) tahun ***(dengan melibatkan komponen perempuan). Bab XIII: Lembaga Adat, Pasal 79; Lemabaga adapt berfungsi dan berperan sebagai alat control dalam penyelenggaraan Pemerintah Aceh, bidang keamanan, ketentraman, kerukunan dan keterlibatan masyarakat *** (dengan melibatkan komponen perempuan).
Bab XX: MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama), Pasal 116 ayat 1´ Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dibentuk di Aceh dan Kabupaten/Kota yang anggotanya terdiri atas ulama dan intelektual muslim yang memahami secara mendalam ilmu agama Islam ***(dan melibatkan komponen perempuan). Bab XXIX: Kesehatan, Pasal 180 ayat 5; Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota menyediakan pembiyaan kesehatan yang mencukupi kebutuihan normative upaya kesehatan masyarakat dan upaya keseatan perorangan bagi penduduk miskin ***(serta mengalokasikan dana khusus kesaatan ibu dan anak).
Bab XXI: Perencanaan Pembangunan dan Tata Ruang, Pasal 119 ayat 1; Masyarakat berhak terlibat untuk memberikan masukan secara lisan maupun tulisan tentang penyusunan perencanaan pembangunan Aceh melalui penjaringan aspirasi dan bawah (bottom up) ***(dengan mengikutsertakan komponen perempuan). Demi melengkapi usaha, tentu usulan baik yang harus dipertahankan dan usulan tambahan dilengkapi dengan argumentasi penguatan, yang sedikit banyak dilatarbelakangi kondisi kurangnya kesempatan, akses, dan ruang perempuan di lingkup pengambilan keputusan dan keterlibatannya dalam semua lini pembangunan.
Usulan yang harus dipertahankan dan usulah tambahan ini tetap mejadi kekhawatiran tim. Namun ketika tim memang harus “mengalah”, tentu akan memilih “berkompromi” saja, bahwa paling tidak apa yang sudah masuk ke draft hendaknya bisa lolos menjadi teks UUPA.
“Alasan klasik yang sering disebutkan adalah perempuan meminta terlalu banyak. Argumen kami sebenarnya bukan karena meminta terlalu banyak. Masalahnya, perempuan dan laki-laki mempunyai hak dan kepentingan yang sama. Ketika berpuluh tahun hak perempuan tidak pernah diberikan, sehingga lama kelamaan di kepala setiap orang menganggap itu bukan lagi sebagai bagian hak perempuan,” urai Suraiya Kamaruzzaman dalam dengar pendapat di DPR-RI.
Begitupun pandangan Mustafirah dan Rasyidak (asal kampus IAIN Ar-Raniry). Bahwa perempuan masa lampau sudah pernah empat kali duduk dalam pemerintaan Aceh. Jadi perjuangan ini bukan cerita asing termasuk pemuatan kearifan local. Karena UU yang akan lahir adalah UUPPA bukan nasional. Dari segi azas manfaat ada dua. Pertama manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat umum seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya, dan yang kedua bersifat pemberdayaan perempuan itu dalam aspek pemerintahan, ke lembagaan adat, ke wilayah pengambil kebijakan. Keduanya saling mengikat.
Usaha Jaringan memasukkan “diri” dalam UUPPA, tidak cukup hanya dengan bertemu Meneg PP, Komisi II, Jaringan ini juga meminta dukungan Komisi Nasional Perempuan, dan bantuan Jaringan Demokrasi Aceh di Jakarta, juga membangun hubungan dengan Depdagri, mengikuti diplomat meeting di Hotel Arya Duta (Spanyol dan Belanda) serta memperkuat hubungan dengan tim asistensi yang akan dibentuk di Komisi II. Advokasi dilakukan pula lewat media cetak (berupa ekspose misi dan pemuatan opini) dan elektronik, sejak minggu-minggu belakangan.
Kendati baru melakukan pengawalan, satu hal yang paling berpengharapan adalah Meneg PP bersedia menfasilitasi Jaringan Perempuan untuk Kebijakan Aceh agar bisa bertemu langsung dengan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono. Bagai mendapat durian runtuh, Jaringan yang bekerja sama dengan Mitra Sejati Perempuan Indonesia (Mispi) dan difasilitasi United Nation Development Fund for Women (Unifem) ini pun telah siap dengan selembar surat permohonan bertemu SBY. Hanya saja, baik bahasa lahir yang datang dari komisi II DPR-RI atau janji Mutia Hatta akan membantu, tetap membuat jantung berdetak memunculkan gundah. Akankah hasrat menjadi kenyataan, lalu tertuang dalam bahasa tulisan? Atau semua usulan baik yang dipertahankan maupun yang ditambah, akhirnya dianulir dan menjadi perjuangan yang sia-sia? Suratan takdirlah yang bisa menjawab nasib hari depan perempuan Aceh dalam aspek pembangunan dan haknya sebagai warga Tanah Air ini.
Nani.HS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar