www.acehkita.com, Sabtu, 26 Mei 2007
PENAMPILANNYA jauh dari kesan seorang presiden. Urak-urakan. Baju apa adanya. Rambut keriting yang jarang disisir. Selalu memakai sandal jepit ke mana pun bepergian. Tak ada mobil foraider, layaknya seorang presiden. Kendati seorang presiden, pria berusia 63 tahun ini bukanlah pemimpin negeri. Dia hanya seorang pria yang dijuluki sebagai Presiden Rex!
Hasbi Burman namanya. Pria kelahiran Lhok Buya, Calang, Kabupaten Aceh Jaya, ini sejak 1991 silam kerap disapa presiden. Dia nyaman dengan gelar yang dilakabkan oleh Kompas ini. Pada mulanya Hasbi hanyalah seorang tukang parkir yang sering mangkal di Pasar Ikan Peunayong, Jalan Perdagangan Pasar Aceh, dan Rex Peunayong.
Di sela-sela menjalankan tugasnya sebagai seorang tukang parkir, Hasbi suka menulis puisi dan syair. Puisi yang ditulis Hasbi menggelitik, sarat makna, dan dengan tema yang beragam. Lihat saja misalnya ketika Hasbi menulis puisi tentang Calang, tanah kelahirannya, yang remuk.
Kota yang angkuh
Kapal tak singgah lagi
Dermaga jadi bingkai
Besi-besi berkarat
Cinta demi cinta
Tenggelam di laut ini..
Puisi itu ditulis Burman pada 1985, jauh sebelum Calang hancur digempur gelombang tsunami dari tiga penjuru angin. Tsunami telah mematikan –sekaligus kembali membangkitkan – kota Calang. Namun, Burman tidak hanya sedang membicarakan tentang kandasnya Calang, tapi dia sedang bercerita tentang kandasnya cinta seorang anak manusia, yang tak kesampaian.
Burman mengakui banyak puisi yang ditulisnya tentang cinta, kerinduan, dan perempuan. Apalagi, perempuan bisa memberikan inspirasi baginya dalam merangkai kata menjadi puisi indah yang memukau.
Pada suatu waktu, Hasbi Burman pernah mengatakan bahwa dia belum menemukan cinta seutuhnya. “Saya memang telah mempunyai seorang istri, tapi saya belum menemukan cinta yang utuh,” kata dia.
Pernyataan ini membuat orang kaget. Tapi bagi Burman, ”cinta yang saya maksud bukan hanya cinta dalam artian suka. Tapi cinta adalah kehangatan, keramahtamahan, belaian, dan manja. Jujur, saya belum mendapatkannya,” jelas Hasbi. Karenanya, tak heran jika sejumlah puisi yang ditulis Hasbi Burman ada yang bercerita tentang cinta yang gagal.
Selain bertema cinta, puisi-puisi Burman banyak berbicara tentang alam, yang indah, angkuh, dan hancur. Bagi penyair L.K. Ara, seperti dilansir Koran Tempo, Hasbi adalah sosok penyair, ”seperti pengembara yang dekat dengan alam”. Lihat saja misalnya puisi yang diberi judul ”Lhok Geulumpang”, ”Rigah”, dan ”Calang”.
Bukan hanya LK Ara yang memuji sajak-sajak yang ditelurkan Hasbi Burman. Doel C.P. Allisah dan Udin Pelor, juga memuji Hasbi. Menurut Udin Pelor, puisi-puisi Hasbi mempunyai kekuatan tersendiri dan khas. Dia sendiri paling menyukai puisi yang berjudul ”Suatu Malam di Rex”. “Saya mengagumi puisi-puisi Hasbi Burman, yang dianggap sebagai manusia aneh ini,” kata Udin Pelor.
Hasbi Burman dikenal sebagai penyair yang otodidak. Kemampuannya merangkai kata menjadi puisi tidak dipelajarinya di universitas. Menurut Hasbi, kesukaannya menulis puisi mulai tumbuh sejak duduk di bangku kelas empat Sekolah Rakyat (setingkat Sekolah Dasar –red.) di Calang, 1958 silam. Hasbi semakin giat menulis setelah puisinya dimuat di mingguan Pejuang pada tahun 1960.
”Sejak itu, saya terus menulis puisi,” kata pria kelahiran tahun 1944 ini. ”Bagi saya, puisi adalah kebutuhan bagi jiwa saya yang haus. Setelah menulis puisi, jiwa saya terpuaskan.”
Hasbi banyak belajar dari pengalaman dan membaca. Dia banyak belajar dari cara Chairil Anwar menulis sajak dan syair. Tak heran, karena dia pengagum Chairil Anwar. ”Yang saya suka, Chairil Anwar menjadi diri sendiri, tidak terpengaruh dengan penyair lain,” kata Hasbi yang juga mengagumi Bung Karno.
Pada tahun 1976, Hasbi hijrah ke Banda Aceh, mencari peruntungan di kota bersejarah ini. Namun, nasib mengantarkannya menjadi seorang petugas parkir. Mula-mulanya, dia mangkal di Pasar Ikan Peunayong, lalu pindah ke Jalan Perdagangan Pasar Aceh, hingga selanjutnya terdampar di Rex.
Di Rex, Hasbi bukan hanya sekadar tukang parkir. Dia bergaul dengan banyak orang di sana, tua-muda, miskin-kaya. Bukan hanya itu, dia juga semakin giat dalam melahirkan karya-karyanya.
Karenamu yang begitu anggun
Menegur anak lanang pulang malam
Mencari jejak merpati di sudut-sudut kota
Penuh dengan debu harapan
Kini kemilau merkuri telah muram
Terbungkus angan
Karenamu begitu ramah
Dulu-dulunya
Walau kini hanya tinggal sebuah kekembaraan
Yang mengungsi di sudut hati...
Rex seakan menjadi rumah bagi seorang Hasbi. Di pusat jajanan yang dikepung pertokoan dan hotel ini, Hasbi semakin meneguhkan dirinya sebagai seorang penyair yang dikenal banyak kalangan. Melalui puisi-puisinya, dia bisa menjalin kedekatan dengan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan, yang kemudian mempercayainya untuk mengoordinasi penerbitan buku antologi puisi-puisi penyair Aceh. Dari sana kemudian lahir antologi puisi Sosok.
Hasbi memang pandai bergaul. Saat Abdullah Puteh memimpin Aceh, Hasbi juga bisa mendekati lingkaran kekuasaan. Bahkan, dia pernah menghadiahi istri Abdullah Puteh, Marlinda Poernomo, dengan seuntai puisi.
Nama Hasbi tidak hanya dikenal di kelas lokal saja. Nasional juga sudah dirambahnya. Puisi-puisinya bertebaran di sejumlah media cetak nasional. Tak jarang, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pernah memberikan penghargaan kepada Hasbi, sebagai seorang penyair yang telah memajukan dunia sastra di Aceh.
Saat tsunami menghantam Aceh, nama Hasbi semakin harum. Tak jarang, Helmi Yahya, presenter televisi, ikut membacakan puisi Hasbi Burman yang berjudul ”Calang”, saat menggalang dana bagi korban gempa dan tsunami di Aceh.
Namun seiring perjalanan waktu, bintang Hasbi Burman semakin redup. Anak-anak muda sekarang jarang mengenal si presiden Rex yang merakyat dan berpenampilan sederhana. Karya-karya Hasbi juga tidak lagi membombardir media lokal di Aceh.
Hasbi tidak ingin bintangnya terus meredup. Dia terus ingin menyinari Aceh dengan lampion sastra yang diyakininya, dengan melahirkan lagi sajak-sajak yang menggambarkan cinta, kebangkitan, dan alam. Bukan hanya Hasbi yang tidak ingin bintangnya tenggelam dimakan waktu.
Sejumlah sahabat dan sejawatnya menaruh banyak harapan supaya sang presiden bisa kembali mencengkeram kekuasaannya di Rex. Pada Sabtu (26/5) malam ini, mereka menggelar pagelaran yang bertajuk ”Malem Diwa Ditroun: Semalam Suntuk Bersama Hasbi Burman”.
Di malam apresiasi ini, Hasbi akan kembali unjuk-gigi, membacakan karya-karya monumentalnya yang menggugah pembaca. Kali ini, dia tidak ingin sendirian membaca puisi. Sejumlah seniman seperti Doel CP Allisah, AA Manggeng, Din Saja, Nani HS, Fozan Santa, Azhari, D. Kemalawati, dan sejumlah seniman lain akan ikut bersama Hasbi membacakan puisi sang presiden. Tak ketinggalan, sejumlah pejabat juga diundang untuk ikut membacakan puisi di malam kembalinya sang presiden yang terlupakan.
PENAMPILANNYA jauh dari kesan seorang presiden. Urak-urakan. Baju apa adanya. Rambut keriting yang jarang disisir. Selalu memakai sandal jepit ke mana pun bepergian. Tak ada mobil foraider, layaknya seorang presiden. Kendati seorang presiden, pria berusia 63 tahun ini bukanlah pemimpin negeri. Dia hanya seorang pria yang dijuluki sebagai Presiden Rex!
Hasbi Burman namanya. Pria kelahiran Lhok Buya, Calang, Kabupaten Aceh Jaya, ini sejak 1991 silam kerap disapa presiden. Dia nyaman dengan gelar yang dilakabkan oleh Kompas ini. Pada mulanya Hasbi hanyalah seorang tukang parkir yang sering mangkal di Pasar Ikan Peunayong, Jalan Perdagangan Pasar Aceh, dan Rex Peunayong.
Di sela-sela menjalankan tugasnya sebagai seorang tukang parkir, Hasbi suka menulis puisi dan syair. Puisi yang ditulis Hasbi menggelitik, sarat makna, dan dengan tema yang beragam. Lihat saja misalnya ketika Hasbi menulis puisi tentang Calang, tanah kelahirannya, yang remuk.
Kota yang angkuh
Kapal tak singgah lagi
Dermaga jadi bingkai
Besi-besi berkarat
Cinta demi cinta
Tenggelam di laut ini..
Puisi itu ditulis Burman pada 1985, jauh sebelum Calang hancur digempur gelombang tsunami dari tiga penjuru angin. Tsunami telah mematikan –sekaligus kembali membangkitkan – kota Calang. Namun, Burman tidak hanya sedang membicarakan tentang kandasnya Calang, tapi dia sedang bercerita tentang kandasnya cinta seorang anak manusia, yang tak kesampaian.
Burman mengakui banyak puisi yang ditulisnya tentang cinta, kerinduan, dan perempuan. Apalagi, perempuan bisa memberikan inspirasi baginya dalam merangkai kata menjadi puisi indah yang memukau.
Pada suatu waktu, Hasbi Burman pernah mengatakan bahwa dia belum menemukan cinta seutuhnya. “Saya memang telah mempunyai seorang istri, tapi saya belum menemukan cinta yang utuh,” kata dia.
Pernyataan ini membuat orang kaget. Tapi bagi Burman, ”cinta yang saya maksud bukan hanya cinta dalam artian suka. Tapi cinta adalah kehangatan, keramahtamahan, belaian, dan manja. Jujur, saya belum mendapatkannya,” jelas Hasbi. Karenanya, tak heran jika sejumlah puisi yang ditulis Hasbi Burman ada yang bercerita tentang cinta yang gagal.
Selain bertema cinta, puisi-puisi Burman banyak berbicara tentang alam, yang indah, angkuh, dan hancur. Bagi penyair L.K. Ara, seperti dilansir Koran Tempo, Hasbi adalah sosok penyair, ”seperti pengembara yang dekat dengan alam”. Lihat saja misalnya puisi yang diberi judul ”Lhok Geulumpang”, ”Rigah”, dan ”Calang”.
Bukan hanya LK Ara yang memuji sajak-sajak yang ditelurkan Hasbi Burman. Doel C.P. Allisah dan Udin Pelor, juga memuji Hasbi. Menurut Udin Pelor, puisi-puisi Hasbi mempunyai kekuatan tersendiri dan khas. Dia sendiri paling menyukai puisi yang berjudul ”Suatu Malam di Rex”. “Saya mengagumi puisi-puisi Hasbi Burman, yang dianggap sebagai manusia aneh ini,” kata Udin Pelor.
Hasbi Burman dikenal sebagai penyair yang otodidak. Kemampuannya merangkai kata menjadi puisi tidak dipelajarinya di universitas. Menurut Hasbi, kesukaannya menulis puisi mulai tumbuh sejak duduk di bangku kelas empat Sekolah Rakyat (setingkat Sekolah Dasar –red.) di Calang, 1958 silam. Hasbi semakin giat menulis setelah puisinya dimuat di mingguan Pejuang pada tahun 1960.
”Sejak itu, saya terus menulis puisi,” kata pria kelahiran tahun 1944 ini. ”Bagi saya, puisi adalah kebutuhan bagi jiwa saya yang haus. Setelah menulis puisi, jiwa saya terpuaskan.”
Hasbi banyak belajar dari pengalaman dan membaca. Dia banyak belajar dari cara Chairil Anwar menulis sajak dan syair. Tak heran, karena dia pengagum Chairil Anwar. ”Yang saya suka, Chairil Anwar menjadi diri sendiri, tidak terpengaruh dengan penyair lain,” kata Hasbi yang juga mengagumi Bung Karno.
Pada tahun 1976, Hasbi hijrah ke Banda Aceh, mencari peruntungan di kota bersejarah ini. Namun, nasib mengantarkannya menjadi seorang petugas parkir. Mula-mulanya, dia mangkal di Pasar Ikan Peunayong, lalu pindah ke Jalan Perdagangan Pasar Aceh, hingga selanjutnya terdampar di Rex.
Di Rex, Hasbi bukan hanya sekadar tukang parkir. Dia bergaul dengan banyak orang di sana, tua-muda, miskin-kaya. Bukan hanya itu, dia juga semakin giat dalam melahirkan karya-karyanya.
Karenamu yang begitu anggun
Menegur anak lanang pulang malam
Mencari jejak merpati di sudut-sudut kota
Penuh dengan debu harapan
Kini kemilau merkuri telah muram
Terbungkus angan
Karenamu begitu ramah
Dulu-dulunya
Walau kini hanya tinggal sebuah kekembaraan
Yang mengungsi di sudut hati...
Rex seakan menjadi rumah bagi seorang Hasbi. Di pusat jajanan yang dikepung pertokoan dan hotel ini, Hasbi semakin meneguhkan dirinya sebagai seorang penyair yang dikenal banyak kalangan. Melalui puisi-puisinya, dia bisa menjalin kedekatan dengan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan, yang kemudian mempercayainya untuk mengoordinasi penerbitan buku antologi puisi-puisi penyair Aceh. Dari sana kemudian lahir antologi puisi Sosok.
Hasbi memang pandai bergaul. Saat Abdullah Puteh memimpin Aceh, Hasbi juga bisa mendekati lingkaran kekuasaan. Bahkan, dia pernah menghadiahi istri Abdullah Puteh, Marlinda Poernomo, dengan seuntai puisi.
Nama Hasbi tidak hanya dikenal di kelas lokal saja. Nasional juga sudah dirambahnya. Puisi-puisinya bertebaran di sejumlah media cetak nasional. Tak jarang, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pernah memberikan penghargaan kepada Hasbi, sebagai seorang penyair yang telah memajukan dunia sastra di Aceh.
Saat tsunami menghantam Aceh, nama Hasbi semakin harum. Tak jarang, Helmi Yahya, presenter televisi, ikut membacakan puisi Hasbi Burman yang berjudul ”Calang”, saat menggalang dana bagi korban gempa dan tsunami di Aceh.
Namun seiring perjalanan waktu, bintang Hasbi Burman semakin redup. Anak-anak muda sekarang jarang mengenal si presiden Rex yang merakyat dan berpenampilan sederhana. Karya-karya Hasbi juga tidak lagi membombardir media lokal di Aceh.
Hasbi tidak ingin bintangnya terus meredup. Dia terus ingin menyinari Aceh dengan lampion sastra yang diyakininya, dengan melahirkan lagi sajak-sajak yang menggambarkan cinta, kebangkitan, dan alam. Bukan hanya Hasbi yang tidak ingin bintangnya tenggelam dimakan waktu.
Sejumlah sahabat dan sejawatnya menaruh banyak harapan supaya sang presiden bisa kembali mencengkeram kekuasaannya di Rex. Pada Sabtu (26/5) malam ini, mereka menggelar pagelaran yang bertajuk ”Malem Diwa Ditroun: Semalam Suntuk Bersama Hasbi Burman”.
Di malam apresiasi ini, Hasbi akan kembali unjuk-gigi, membacakan karya-karya monumentalnya yang menggugah pembaca. Kali ini, dia tidak ingin sendirian membaca puisi. Sejumlah seniman seperti Doel CP Allisah, AA Manggeng, Din Saja, Nani HS, Fozan Santa, Azhari, D. Kemalawati, dan sejumlah seniman lain akan ikut bersama Hasbi membacakan puisi sang presiden. Tak ketinggalan, sejumlah pejabat juga diundang untuk ikut membacakan puisi di malam kembalinya sang presiden yang terlupakan.
[Photo : DCP]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar