17/03/08

CUPA, BAND "ETNIS" NAN RELIGI

Tabloid Prohaba, 16 Maret 2008

Mendengar CUPA Band lewat kaset perdana bertajuk Agam Sidroe, memang “Aceh sekali”. Bukan hanya sebuah album yang mengangkat lagu-lagu berbahasa Aceh, namun CUPA tampil dengan pendekatan religi.

Bagi para perantau Aceh, album ini agaknya mampu mengobati sakit rindu kampung halaman. Tak lain, karena CUPA mengangkat bahasa Aceh dengan dialeg Aceh yang tepat, bercerita tentang keseharian Aceh, dan tak lupa menyisipkan ragam syair Aceh. Lagu-lagu garapan CUPA (beberapa di antaranya cipt. NN, ibarat wajah lain dari syair Aceh.

Mengolaborasi alat musik Aceh dengan unsur modern memang bukan ide baru. Sudah banyak orang yang mendahuluinya, bahkan kaliber dunia. Namun, di tengah banyak grup band para muda yang lebih memilih aliran rock atau metal, apa yang dilakukan CUPA Band memang patut dihargai.

Sebagai lambang “kejantanan”nya, tentu CUPA tidak hanya memborong lagu-lagu melo di album Agam Sidroe yang memuat sepuluh nomor itu. Tetap saja ada lagu “macho”. Sebut saja nomor Nanggroe Ube Ok Cipt: Aminin M Zein (alm), yang aransmentnya ngerock, tapi masih terasa religius.

Lalu, pembubuhan piano pada intro pembuka Bungong, malah membuat nomor ini menjadi produk yang universal. Percayalah, ada orang nonaceh yang mau mendengar lagu Bungong, terlebih para penyuka tembang-tembang melankoli. Bukankah lagu berbahasa apapun, tetap saja universal sifatnya, paling tidak didengar untuk menikmati melodinya? Lagu-lagu Agam Sidroe tidaklah “terpencil” dari telinga kita.

Yang tetap pantas di-support adalah sisi komitmen kebahasaannya. Dengan personel yang masih terhitung pemuda, CUPA tetap menjaga etika berbahasa. Kita tahu, banyak lagu berbahasa Aceh era kini terutama ragam dangdut house, yang masih berani berbahasa vulgar, padahal Nanggroe Aceh Darussalam ada dalam bingkai syariat Islam.

Agaknya CUPA sadar akan hal itu.

Untuk format lagu berkasih-kasihan, CUPA mengumbar kata cintanya, dengan lambang-lambang. Simaklah, perumpaan atau simbol-simbol dalam Bungong yang mengalir dengan taste artistik dan puitik.

CUPA juga tetap berani dengan satirenya. Sindiran itu ada dalam nomor Tho Kreng (sisi BAgam Sidroe). Tho-tho kreng/Diureng malem tanna soe pakat// Sayang leupah that/ Buaya krueng taho teubingon/ buaya tamong raseuki jiba// Hai buaya tamong yang cue raseuki// Neu preh keu meuturi di Yaumil Maghsya//

Kendati begitu, kehati-hatian CUPA belumlah mumcul seratus persen. Pasalnya masih ada satu dua lirik yang mengadopsi kata dari bahasa Indonesia. Misalnya, dalam nomorBungong, CUPA menyebut sibu dengan kata siram.

So, kecuali kata selamat karya, pantas juga kita katakan selamat sukses untuk grup band kelahiran 20 Oktober 2002 asal Kampus IAIN Ar-Raniry (berawak Joel Pase pada vocal, Syahrul, Hanafi, Ridhan Nur pada Rapa-i, Munawir pada gitar, Yoel pada drum, dan Win Axan pada bass, plus additional palyer keyboard, gitar, dan rapa-i masing-masing Adi, Sukma, Badri dan Saiful) ini. Sebab sebentar lagi kelompok yang rata-rata sudah tamat dari IAIN Ar-Raniry ini bakal merilis albumnya dalam kemasan VCD/DVD.

Nah, namun begitu sampai saat ini CUPA tak berani dijuluk sebagai grup pengusung bentuk kontemporer, alternatif, pop, apalagi etnik Aceh. CUPA merasa masih “anak bawang”.

Satu saja cita-cita CUPA. Belajar dan tetap berkarya untuk masyarakat. Sama dengan makna kata cupa sendiri, yang dalam bahasa Aceh bermakna kurang atau sedikit, maka CUPA pun masih merasa serba kurang, apalagi untuk disandingkan dengan seniman senior Aceh. “Pokoknya kami ingin tetap eksis, dan sampai kapan pun selalu bisa bersama. Itu saja,” kata Joel Pase sang penyanyi CUPA yang kebetulan bertandang ke News Room Serambi.

Nani.HS







Tidak ada komentar: