16/03/08

WAJAH BARU PENULIS WANITA ACEH

Oleh: Fardelin Hacky Irawani (flp-Aceh)

Ada satu hal yang cukup menggembirakan akhir-akhir ini, khususnya di dunia kepenulisan Aceh. Kini telah hadir wajah-wajah baru perempuan penulis yang ikut mewarnai khasanah kepenulisan Aceh yang selama ini lebih dominasi oleh kaum laki-laki. Adalah mereka Siti Zalikha H. Ibrahim, Azizah Muhammad, Junaidah Mahmud, Maisarah H. Muhammad, Siti Radhiah H. Ridhwan Gapi, dan Safrida Hamdani yang baru-baru ini menulis sebuah buku keroyokan yang berjudul “Wanita & Islam”. Buku ini merupakan buku kumpulan tulisan santriwati Aceh yang diterbitkan oleh Lapena bekerjasama dengan Sartker BRR Pemulihan dan Peningkatan Kualitas Kehidupan Keagamaan NAD-Nias. Buku yang diluncurkan pada tanggal 13 Januari 2007 lalu di gedung AAC Dayan Dawood Unsyiah Banda Aceh ini turut dibedah pula oleh beberapa orang narasumber dari kalangan akademisi Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry.

Pada acara peluncuran dan bedah buku tersebut, terdapat banyak sekali masukan dan kritikan terhadap isi buku yang ditulis oleh enam perempuan yang berasal kalangan dayah salafiyah Aceh ini. Intinya tentu saja sebagai masukan untuk penerbit, editor, dan para penulisnya ke depan. Terlepas dari berbagai kritikan dan masukan yang disampaikan oleh beberapa narasumber dan para peserta yang mengikuti acara tersebut, ada beberapa hal yang perlu dicatat sehubungan dengan kehadiran mereka sebagai ‘pendatang baru’ penulis perempuan Aceh.

Pertama, mereka bukan berasal dari kalangan akademisi perguruan tinggi, melainkan para santriwati di dua pesantren ternama yaitu: Lembaga pendidikan Islam Ma’hadal ’Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Samalanga, Bireuen dan Lembaga Pendidikan Islam Dayah Putri Ruhul Fatayat, Seulimum, Aceh Besar. Meskipun kesan yang dapat saya tangkap dari pengakuan penerbit pada kata pengantar bahwa proses penulisan dan pembuatan buku tersebut seperti sistem ”jemput bola”, di mana penerbit harus ‘mengundang’ para santriwati ini terlebih dahulu dengan membuat iklannya di sebuah media dan setelah terkumpul enam naskah pilihan, mereka pun harus mengikuti workshop menulis selama dua kali –yang juga difasilitasi oleh BRR– ternyata hasilnya cukup menggembirakan. Keenam penulis dalam buku tersebut ternyata memiliki kemampuan menuliskan pendapat, argumen dan analisa yang tak kalah kritis dari kalangan akademisi perguruan tinggi.

Kedua, para penulis mengaku baru pertama kali menulis dan buku yang berjudul “Wanita & Islam” tersebut adalah buku pertama mereka. Ini sungguh luar biasa. Mereka memang penulis pemula tapi telah menghasilkan tulisan yang tak kalah hebat dari ‘penulis lama’. Ini membuktikan bahwa tak ada istilah senioritas dalam dunia kepenulisan. Silakan bagi siapa saja yang ingin berkarya. Karena memang hanya dengan karya bermutu dan berkualitaslah yang akan membuktikan bahwa penulis itu ada dan diakui.

Ketiga, mereka semua adalah perempuan. Sebagaimana kita ketahui bahwa selama ini di dunia kepenulisan, khususnya di Aceh, telah didominasi oleh penulis laki-laki. Baik penulis buku maupun penulis artikel, opini, essei, cerpen, puisi dan tulisan lepas lainnya di berbagai media. Dari ranah sastra ada Saiful Bahri, Sulaiman Tripa, Mustafa Ismail, Doel CP Allisah, Din Saja, Azhari, Reza Idria, Arafat Nur, Herman RN, Alimuddin, dan lain-lain yang tak bisa saya sebutkan satu persatu di sini. Mereka semua laki-laki. Belum lagi penulis yang berasal dari kalangan institusi pendidikan, politik, sosial dan berbagai lembaga lainnya. Lalu di mana peran perempuan dalam perkembangan dunia kepenulisan di Aceh? Bukankah perempuan juga mempunyai hak yang sama untuk berkarya, terlebih dunia kepenulisan yang notabene tak menuntut perempuan harus menghabiskan waktunya di luar? Ya, sebab menulis adalah pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah, di sela-sela waktu mengurus rumah tangga (bagi yang sudah menikah). Jawabannya: mereka tentu saja ada. Sebut saja yang aktif menulis antara lain: D.Kemalawati, Nani HS, Wina SW1, dan Cut Januarita. Jumlah mereka –para penulis perempuan ini– tentu saja masih terlalu sedikit bila dibandingkan dengan jumlah penulis laki-laki.

Bila kita mau menengok ke belakang, saat pengumuman hasil Sayembara Menulis untuk Perdamaian Aceh yang diadakan oleh Do Karim pada Desember 2006 lalu, cukup banyak bermunculan nama-nama baru yang dinyatakan sebagai pemenang sayembara, di samping terdapat pula nama-nama lama yang telah terlebih dahulu berkiprah di dunia kepenulisan seperti Arafat Nur dan Salman Yoga yang menjadi juara untuk kategori novel. Penulis baru tersebut adalah para juara dari berbagai kategori seperti: puisi, essei, cerpen, novel dan naskah sandiwara radio, baik dari kalangan pelajar, mahasiswa maupun umum. Satu hal menarik yang perlu dicatat bahwa dari semua kategori yang diperlombakan, hanya kategori menulis cerpen-lah yang semua pemenangnya adalah perempuan. Tiga pemenang cerpen mahasiswa dan tiga pemenang cerpen pelajar. Maka bertambah lagi enam perempuan penulis baru di Aceh. Ini sungguh menggembirakan.

Jumlah penulis baru yang saya sebutkan di atas, hanyalah sebagian saja dari penulis perempuan Aceh pendatang baru. Mereka diam-diam tetap berkarya melalui media-media yang kini tumbuh subur di Aceh bahkan ke media nasional. Mungkin untuk saat ini mereka memang belum punya ”nama” sebagaimana penulis yang telah terlebih dahulu punya ”nama’ baik lokal maupun nasional. Semua kembali ke soal kreatifitas dan produktifitas para penulis perempuan tersebut untuk tetap berkarya, menghasilkan tulisan yang tak sekedar menambah kuantitas namun juga menambah kualitas. Intinya, semua membutuhkan proses.

Kita harapkan, semoga nantinya dunia kepenulisan di Aceh tak hanya didominasi oleh kaum laki-laki. Lalu, apakah karya-karya para penulis perempuan ini akan turut serta dalam memperkaya dunia kepenulisan di Aceh? Jawabannya, hanya karya mereka yang akan membuktikan.





Tidak ada komentar: