Tabloid Seumangat :
Sabtu, 20 Nopember 2008, sekitar pukul 14.00 WIB, Seumangat sempat menyaksikan suasana latihan penyanyi Rafly, di ruang hijau mudanya yang bercahaya redup dan ber-AC. Rafly menyanyikan lagu Aneuk Raja Woe, nomor baru yang nge-beat. Oktav tinggi Rafly masih lantang, memenuhi ruang kedap suara sekira 4,5 x 6 meter, di sebuah rumahdi Desa Ceurih, Ulee Kareng, Banda Aceh, yang disewanya sebagai studio.
Studio baru yang relatif lengkap propertinya, setelah studio lamanya di bilangan Kecamatan Kuta Alam, musnah terbawa tsunami 2004. Inilah salah satu buah ketekunannya yang berjuang lagi dari nol, setelah tsunami melenyapkan seluruh perangkat kerjanya yang sekira Rp 150 juta.
Pria kelahiran 1 Agustus 1967 di Subarang, Samadua, Aceh Selatan ini, ternyata kembali mendapat ganti, apa-apa yang sudah digulung tsunami. Minggu-minggu setelah tsunami adalah perjalanan awal perjuangan Rafly. Tak berpangku tangan, dengan naluri seninya, Rafly ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi sesama. Ia pun bergabung dengan seniman yang masih selamat, lalu menggelar zikir bersama di Taman Budaya Aceh. Waktu itu Rafly memang belum mampu membenahi karirnya secara komersil, apalagi mendirikan studio baru. Barulah tiga bulan kemudian (2005) ia merintis kembali “jejak rezeki” yang hilang, kendati lebih bersifat sosial dan tidak murni kegiatan komersil.
Rafly ke Jakarta mencari donatur dan mengumpulkan seniman, untuk sebuah program yang tujuannya penyembuhan trauma tsunami bagi masyarakat. Paling tidak harus ada semacam tawaqaltualallah. Rafly dan kawan-kawan plus sebuah funding, mengawal program ini hingga enam bulan. Kecuali rezeki, nama Rafly (termasuk Kande, grup bandnya) melejit hingga ke mancanegara, dan ujung-ujungnya melimpah tawaran job.
Selama enam bulan itu, dalam berkali-kali tampil, uang lelah yang diterima Rafly sekitar Rp 15 juta. Inilah rupiah yang telah membuat nafas karir seninya berhembus lagi. Pelan-pelan, ia mulai bisa menangani kebutuhan studio dan dapurnya sendiri.
Sejak itu hingga sekarang, sudah berapa rupiah yang sempat dikumpul Rafly? “Waduh, kalau pendapatan bisa saya katakana sudah miliaran rupiah. Tapi ini bukan persoalan dagang. Uang jasa dari seniman ini bukan dagang yang ada hitungan matematikanya.Karena, itu tak bisa diukur. Terus terang, saya hanya bisa bangun satu ruko, beli satu mobil. Itu saja. Yang lainnya, habis untuk kebutuhan hari-harian. Saya pun harus keluarkan biaya operasional studio dan latihan, termasuk untuk kebutuhan sosial kan. Setiap bulannya, saya harus mengeluarkan sembilan sampai sepuluh juta rupiah,” sebut Rafly yang menurutnya kaya bukan semata dari ukuran materi.
Di tengah banyak orang berpendapat dunia seniman bukan sandaran hidup yang tepat, bagaimana Rafly bisa membangun lagi semangat juangnya pascatsunami? Nun, di awal-awal pascatsunami, Rafly berpikir, bahwa sebuah kapasitas dan sebuah potensi yang ada pada masing-masing masyarakat Aceh, akan terbuka lebar. Dunia sudah melihat Aceh. “Kalau ini sebuah produk, itu merupakan ajang promosi, jadi saya berpikir ini merupakan sebuah pintu, merupakan sebuah anak kunci untuk membuka gembok yang besar. Artinya, saya harus semakin total untuk sebuah pencapaian. Waktu itu, saya haqqul yakin, saya akan berhasil. Toh sekarang semua orang merasakan itu kan. Bahwa siapa-siapa yang berbuat total, di posisinya dengan segala bentuk potensi diri, dan semakin total di pascatsunami, tentu akan berjaya. Berjaya tak selalu berarti materi kan? Tapi diukur dengan sebuah pencapaian jiwa,” ungkap Rafly.
Rafly telah membuktikan keyakinannya, bahwa dia bisa berkarya lagi, dan mendapat rezeki lagi. Ia mengaku tak ingat berapa kali sudah mendapat undangan tampil. Terkahir ia unjuk kemampuan di Solo International Etnic Music. Dari semua pementasan, Raflylebih berkonsentrasi pada proses perdamaian. Ia berusaha terus memposisikan diri sebagai seniman yang independent, yang berbakti kepada rakyat.
Yang jelas, masalah uang lelah, Rafly sangat fleksibel. Tetap melihat evennya apa, donaturnya siapa. Sebab dia pernah tampil di sebuah acara yang digelar sebuah funding,
tampil hanya 30 menit, tapi dibayar Rp 25 juta. Sebaliknya, ada moment-moment sosial seperti peringatan maulid Nabi Muhammad saw oleh dayah, sekolah, Rafly sudi tampil nonkomersil.
Masih banyak kerja yang harus digeluti Rafly. Akhir Desember ini, ia berkiprah untuk sosialisasi Pemilu damai. Rafly juga hendak berkeliling (Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Bener Meriah, Takengon, Blang Keujeren, Kuta Cane, dan Tapaktuan), hingga empat bulan, untuk tausiyah seni bertajuk Jambo Damee dengan Rafly Berkasih Sayang.
Tak lain, memberi pengarahan kepada mereka yang cendrung kepada seni. “Yah, bagaimana seni yang kampung itu supaya tidak kampungan. Seni yang murah supaya tidak murahan. Apalagi kesenian Aceh yang tidak lepas dari etika, begitu kira-kira. Peresrtanya 80 orang. Dari ajang ini nantinya akan lahir satu lagu wajib untuk pemerintahan Aceh.”
Berbicara kesenian Aceh dengan Rafly yang sudah punya empat album solo plus dua album dengan Kande Band ini, memang habis tak habis. Sebab ia mengaku sangat concentdengan kebudayan Aceh, utamanya ingin total di musik. Kalau suatu kali ia berpikir untuk berkontemplasi, tetaplah tak lari dari dari format dan koridornya sendiri. Dia juga berpikir ada relevansi dari perkembangan dunia, tetapi tetap dalam sebuah kejernihan indentitas, dan tidak pernah merasa ada pergeseran nilai.
Satu cita-citanya yang kian menggelora di dada adalah menghidupkan seni selawat zikir melalui rapa-i, di seluruh kampung yang ada di Aceh. Menurutnya, kalau itu sudah terwujud, tentulah Aceh akan lembut, teduh, dan damai abadah. “Bayangkan setiap dua kali seminggu itu, di seluruh kampung yang ada di Aceh, berzikir dengan rapa-i. Subhanallah. Saya yakin ini berhasil. Saya pikir ini akan terwujud dua tahun ke depan.Insyaallah,” ucap Rafly dengan bahasa tubuh yang bersemangat. Sama semangatnya ketika dia berharap, bagaimana pemerintah Aceh mau memberikan ruang yang sangat kuat kepada semua seniman di Aceh. “Mereka itu sangat memberikan getar dalam proses Aceh ke depan. Percayalah.”
(nonlis dcp)
Sabtu, 20 Nopember 2008, sekitar pukul 14.00 WIB, Seumangat sempat menyaksikan suasana latihan penyanyi Rafly, di ruang hijau mudanya yang bercahaya redup dan ber-AC. Rafly menyanyikan lagu Aneuk Raja Woe, nomor baru yang nge-beat. Oktav tinggi Rafly masih lantang, memenuhi ruang kedap suara sekira 4,5 x 6 meter, di sebuah rumahdi Desa Ceurih, Ulee Kareng, Banda Aceh, yang disewanya sebagai studio.
Studio baru yang relatif lengkap propertinya, setelah studio lamanya di bilangan Kecamatan Kuta Alam, musnah terbawa tsunami 2004. Inilah salah satu buah ketekunannya yang berjuang lagi dari nol, setelah tsunami melenyapkan seluruh perangkat kerjanya yang sekira Rp 150 juta.
Pria kelahiran 1 Agustus 1967 di Subarang, Samadua, Aceh Selatan ini, ternyata kembali mendapat ganti, apa-apa yang sudah digulung tsunami. Minggu-minggu setelah tsunami adalah perjalanan awal perjuangan Rafly. Tak berpangku tangan, dengan naluri seninya, Rafly ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi sesama. Ia pun bergabung dengan seniman yang masih selamat, lalu menggelar zikir bersama di Taman Budaya Aceh. Waktu itu Rafly memang belum mampu membenahi karirnya secara komersil, apalagi mendirikan studio baru. Barulah tiga bulan kemudian (2005) ia merintis kembali “jejak rezeki” yang hilang, kendati lebih bersifat sosial dan tidak murni kegiatan komersil.
Rafly ke Jakarta mencari donatur dan mengumpulkan seniman, untuk sebuah program yang tujuannya penyembuhan trauma tsunami bagi masyarakat. Paling tidak harus ada semacam tawaqaltualallah. Rafly dan kawan-kawan plus sebuah funding, mengawal program ini hingga enam bulan. Kecuali rezeki, nama Rafly (termasuk Kande, grup bandnya) melejit hingga ke mancanegara, dan ujung-ujungnya melimpah tawaran job.
Selama enam bulan itu, dalam berkali-kali tampil, uang lelah yang diterima Rafly sekitar Rp 15 juta. Inilah rupiah yang telah membuat nafas karir seninya berhembus lagi. Pelan-pelan, ia mulai bisa menangani kebutuhan studio dan dapurnya sendiri.
Sejak itu hingga sekarang, sudah berapa rupiah yang sempat dikumpul Rafly? “Waduh, kalau pendapatan bisa saya katakana sudah miliaran rupiah. Tapi ini bukan persoalan dagang. Uang jasa dari seniman ini bukan dagang yang ada hitungan matematikanya.Karena, itu tak bisa diukur. Terus terang, saya hanya bisa bangun satu ruko, beli satu mobil. Itu saja. Yang lainnya, habis untuk kebutuhan hari-harian. Saya pun harus keluarkan biaya operasional studio dan latihan, termasuk untuk kebutuhan sosial kan. Setiap bulannya, saya harus mengeluarkan sembilan sampai sepuluh juta rupiah,” sebut Rafly yang menurutnya kaya bukan semata dari ukuran materi.
Di tengah banyak orang berpendapat dunia seniman bukan sandaran hidup yang tepat, bagaimana Rafly bisa membangun lagi semangat juangnya pascatsunami? Nun, di awal-awal pascatsunami, Rafly berpikir, bahwa sebuah kapasitas dan sebuah potensi yang ada pada masing-masing masyarakat Aceh, akan terbuka lebar. Dunia sudah melihat Aceh. “Kalau ini sebuah produk, itu merupakan ajang promosi, jadi saya berpikir ini merupakan sebuah pintu, merupakan sebuah anak kunci untuk membuka gembok yang besar. Artinya, saya harus semakin total untuk sebuah pencapaian. Waktu itu, saya haqqul yakin, saya akan berhasil. Toh sekarang semua orang merasakan itu kan. Bahwa siapa-siapa yang berbuat total, di posisinya dengan segala bentuk potensi diri, dan semakin total di pascatsunami, tentu akan berjaya. Berjaya tak selalu berarti materi kan? Tapi diukur dengan sebuah pencapaian jiwa,” ungkap Rafly.
Rafly telah membuktikan keyakinannya, bahwa dia bisa berkarya lagi, dan mendapat rezeki lagi. Ia mengaku tak ingat berapa kali sudah mendapat undangan tampil. Terkahir ia unjuk kemampuan di Solo International Etnic Music. Dari semua pementasan, Raflylebih berkonsentrasi pada proses perdamaian. Ia berusaha terus memposisikan diri sebagai seniman yang independent, yang berbakti kepada rakyat.
Yang jelas, masalah uang lelah, Rafly sangat fleksibel. Tetap melihat evennya apa, donaturnya siapa. Sebab dia pernah tampil di sebuah acara yang digelar sebuah funding,
tampil hanya 30 menit, tapi dibayar Rp 25 juta. Sebaliknya, ada moment-moment sosial seperti peringatan maulid Nabi Muhammad saw oleh dayah, sekolah, Rafly sudi tampil nonkomersil.
Masih banyak kerja yang harus digeluti Rafly. Akhir Desember ini, ia berkiprah untuk sosialisasi Pemilu damai. Rafly juga hendak berkeliling (Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Bener Meriah, Takengon, Blang Keujeren, Kuta Cane, dan Tapaktuan), hingga empat bulan, untuk tausiyah seni bertajuk Jambo Damee dengan Rafly Berkasih Sayang.
Tak lain, memberi pengarahan kepada mereka yang cendrung kepada seni. “Yah, bagaimana seni yang kampung itu supaya tidak kampungan. Seni yang murah supaya tidak murahan. Apalagi kesenian Aceh yang tidak lepas dari etika, begitu kira-kira. Peresrtanya 80 orang. Dari ajang ini nantinya akan lahir satu lagu wajib untuk pemerintahan Aceh.”
Berbicara kesenian Aceh dengan Rafly yang sudah punya empat album solo plus dua album dengan Kande Band ini, memang habis tak habis. Sebab ia mengaku sangat concentdengan kebudayan Aceh, utamanya ingin total di musik. Kalau suatu kali ia berpikir untuk berkontemplasi, tetaplah tak lari dari dari format dan koridornya sendiri. Dia juga berpikir ada relevansi dari perkembangan dunia, tetapi tetap dalam sebuah kejernihan indentitas, dan tidak pernah merasa ada pergeseran nilai.
Satu cita-citanya yang kian menggelora di dada adalah menghidupkan seni selawat zikir melalui rapa-i, di seluruh kampung yang ada di Aceh. Menurutnya, kalau itu sudah terwujud, tentulah Aceh akan lembut, teduh, dan damai abadah. “Bayangkan setiap dua kali seminggu itu, di seluruh kampung yang ada di Aceh, berzikir dengan rapa-i. Subhanallah. Saya yakin ini berhasil. Saya pikir ini akan terwujud dua tahun ke depan.Insyaallah,” ucap Rafly dengan bahasa tubuh yang bersemangat. Sama semangatnya ketika dia berharap, bagaimana pemerintah Aceh mau memberikan ruang yang sangat kuat kepada semua seniman di Aceh. “Mereka itu sangat memberikan getar dalam proses Aceh ke depan. Percayalah.”
(nonlis dcp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar