Serambi Indonesia/Sat, Sep 18th 2010, 10:56
Utama
SEKITAR dua pekan terakhir, VCD Eumpang Breueh (EB) seri 8 beredar di pasaran Aceh dan luar Aceh. Seperti biasa, atas nama kepercayaan penggemarnya, EB 8 laris manis, kendati tak seheboh VCD EB 6 yang dalam waktu dua hari harus dikopi ulang sedikitnya di atas 25.000 keping.
Yang jelas, sebagai sebuah karya seni dan kemampuan mengekspresikan nilai-nilai lakon komedi dalam bahasa Aceh, EB 8 perlu kita apresiasi. Paling tidak, produk yang ide ceritanya oleh Abdul Hadi ini, masih menggunakan sejumlah idiom berbahasa Aceh, satire, atau simbol-simbol keacehan yang kental. Sebut saja kata-kata peng lam sirap ukee, bek meusawak lam pageu, rimueng pluek, bunoe get that teuga ditoh ek, han ikham laju, ka ijak meucuca, atsai ka meuie berueh, bek patah teutue, yang semua kata-kata tersebut punya makna lain, mengandung satire, simbol, dan idiom yang hanya ada dalam bahasa Aceh. Tentu ini bisa saja kita duga sebagai pengayaan skrip (script) atau improvisasi para komediannya.
Kecuali soal bahasa, yang paling membedakan EB 8 dengan EB 1-7, adalah kematangan akting sejumlah pemain. Hampir tidak kelihatan lagi kekakuan, demam panggung, atau kejanggalan-kejanggalan. Yang paling menonjol adalah Haji Uma dan Kak Beunsu (istri Haji Uma). Mereka seperti sudah menyatu dengan peran masing-masing, termasuk cengkok bahasa maupun banyolannya.
Adegan Beunsu yang terkejut karena dilempar Haji Uma saat hendak menangkap basah Taleb yang hendak mengambil anyaman atap rumbia yang tercecer di jalan, pas sekali. Bukankah tidak ada kejanggalan atau kekakuan dalam akting mereka?
Lalu, simaklah Saleh dan Him Morning. Akting kedua pemeran pembantu itu, boleh juga. Bandingkan dengan EB sebelumnya saat mereka baru main. Kesal juga kita menontonnya waktu itu. Kakunya luar biasa. Kehadiran Kang Salam Pasar Pagi, juga tidak bermasalah, kecuali nyaris tak nyambung dengan plot cerita. Tapi sebagai bumbu penyedap, jadi jugalah. Sudah kena. Dia bisa bikin kita tersenyum juga kan?
Bang Joni bagaimana? Leading actor yang diarahkan Ayah Do ini, tetap lucu seperti biasa. Khas larinya, teriakannya, dan kepandirannya, masih punya power untuk memancing tawa penonton. Joni, spesifik yang tak bisa ditiru. Tanpa melihat gambarnya, kita tetap bisa kenal suaranya.
Tapi ada satu kritik untuk Bang Joni alias Abdul Hadi ini. Kenapa sih Joni kurang memperhatikan estetika raga? Sebagai pemuda yang belum menikah, Joni terlalu gendut. Sampai EB 4, Joni masih mirip pria lajang. Seharusnya Joni lebih profesional memperhitungkan performa demi kepentingan profesinya. Tengoklah, dalam adegan yang gerakannya lebih agresif, Joni jadi cepat ngos-ngosan. Wah, ini jangan disepelekan dong.
Namun EB 8, setidaknya bisa mengikis kesan di sebagian masyarakat selama ini, kalau EB bakal hilang pamor dan membosankan. EB 8 tidak membosankan. Akan tetapi, ya memang tidak murni sebagai produk seni komedi. Mulai banyak kepentingan, banyak pesan sponsor di dalamnya. Ya listrik, pasta gigi, hingga layanan operator ponsel. Tapi tak mengapalah. Toh masih dalam konteks iklan layanan masyarakat, yang lebih kepada kepentingan orang banyak dan relatif tidak komersial-komersial banget.
Tentang skenario yang ditulis T Jeffery Yadi Jefeis, sebenarnya bisa dieksplor dan diperkaya lagi. Tapi mungkin mengingat pangsa pasarnya EB yang menengah ke bawah dan sebagian menengah-menengah (middle class), tentu usaha Jeffery sudah memadai.
Pemilihan lirik lagu tema juga pas dengan situasi sentral cerita EB. Cuma pertanyaannya, kenapa ya EB suka sekali dengan melodi jiplakan? Padahal, banyak musisi kita yang andal membuat lagu. Inikah tugas berat Saiful Antara sebagai pengilustrasi musik EB 8? By the way, bravolah untuk EB 8. Tentu sang produsernya, R Qusain, bisa lebih bernapas lega bahkan tertawa lepas saat menonton ulang adegan-adegan EB 8 yang umumnya menggelitik.
Utama
SEKITAR dua pekan terakhir, VCD Eumpang Breueh (EB) seri 8 beredar di pasaran Aceh dan luar Aceh. Seperti biasa, atas nama kepercayaan penggemarnya, EB 8 laris manis, kendati tak seheboh VCD EB 6 yang dalam waktu dua hari harus dikopi ulang sedikitnya di atas 25.000 keping.
Yang jelas, sebagai sebuah karya seni dan kemampuan mengekspresikan nilai-nilai lakon komedi dalam bahasa Aceh, EB 8 perlu kita apresiasi. Paling tidak, produk yang ide ceritanya oleh Abdul Hadi ini, masih menggunakan sejumlah idiom berbahasa Aceh, satire, atau simbol-simbol keacehan yang kental. Sebut saja kata-kata peng lam sirap ukee, bek meusawak lam pageu, rimueng pluek, bunoe get that teuga ditoh ek, han ikham laju, ka ijak meucuca, atsai ka meuie berueh, bek patah teutue, yang semua kata-kata tersebut punya makna lain, mengandung satire, simbol, dan idiom yang hanya ada dalam bahasa Aceh. Tentu ini bisa saja kita duga sebagai pengayaan skrip (script) atau improvisasi para komediannya.
Kecuali soal bahasa, yang paling membedakan EB 8 dengan EB 1-7, adalah kematangan akting sejumlah pemain. Hampir tidak kelihatan lagi kekakuan, demam panggung, atau kejanggalan-kejanggalan. Yang paling menonjol adalah Haji Uma dan Kak Beunsu (istri Haji Uma). Mereka seperti sudah menyatu dengan peran masing-masing, termasuk cengkok bahasa maupun banyolannya.
Adegan Beunsu yang terkejut karena dilempar Haji Uma saat hendak menangkap basah Taleb yang hendak mengambil anyaman atap rumbia yang tercecer di jalan, pas sekali. Bukankah tidak ada kejanggalan atau kekakuan dalam akting mereka?
Lalu, simaklah Saleh dan Him Morning. Akting kedua pemeran pembantu itu, boleh juga. Bandingkan dengan EB sebelumnya saat mereka baru main. Kesal juga kita menontonnya waktu itu. Kakunya luar biasa. Kehadiran Kang Salam Pasar Pagi, juga tidak bermasalah, kecuali nyaris tak nyambung dengan plot cerita. Tapi sebagai bumbu penyedap, jadi jugalah. Sudah kena. Dia bisa bikin kita tersenyum juga kan?
Bang Joni bagaimana? Leading actor yang diarahkan Ayah Do ini, tetap lucu seperti biasa. Khas larinya, teriakannya, dan kepandirannya, masih punya power untuk memancing tawa penonton. Joni, spesifik yang tak bisa ditiru. Tanpa melihat gambarnya, kita tetap bisa kenal suaranya.
Tapi ada satu kritik untuk Bang Joni alias Abdul Hadi ini. Kenapa sih Joni kurang memperhatikan estetika raga? Sebagai pemuda yang belum menikah, Joni terlalu gendut. Sampai EB 4, Joni masih mirip pria lajang. Seharusnya Joni lebih profesional memperhitungkan performa demi kepentingan profesinya. Tengoklah, dalam adegan yang gerakannya lebih agresif, Joni jadi cepat ngos-ngosan. Wah, ini jangan disepelekan dong.
Namun EB 8, setidaknya bisa mengikis kesan di sebagian masyarakat selama ini, kalau EB bakal hilang pamor dan membosankan. EB 8 tidak membosankan. Akan tetapi, ya memang tidak murni sebagai produk seni komedi. Mulai banyak kepentingan, banyak pesan sponsor di dalamnya. Ya listrik, pasta gigi, hingga layanan operator ponsel. Tapi tak mengapalah. Toh masih dalam konteks iklan layanan masyarakat, yang lebih kepada kepentingan orang banyak dan relatif tidak komersial-komersial banget.
Tentang skenario yang ditulis T Jeffery Yadi Jefeis, sebenarnya bisa dieksplor dan diperkaya lagi. Tapi mungkin mengingat pangsa pasarnya EB yang menengah ke bawah dan sebagian menengah-menengah (middle class), tentu usaha Jeffery sudah memadai.
Pemilihan lirik lagu tema juga pas dengan situasi sentral cerita EB. Cuma pertanyaannya, kenapa ya EB suka sekali dengan melodi jiplakan? Padahal, banyak musisi kita yang andal membuat lagu. Inikah tugas berat Saiful Antara sebagai pengilustrasi musik EB 8? By the way, bravolah untuk EB 8. Tentu sang produsernya, R Qusain, bisa lebih bernapas lega bahkan tertawa lepas saat menonton ulang adegan-adegan EB 8 yang umumnya menggelitik.
(nani hs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar