Serambi Indonesia/Sat, Apr 2nd 2011, 10:55
Dari Kunjungan PTPA ke Malaysia (3, Habis )
“Di sini kami bukan saja merawat korban keganasan secara medik. Tapi juga memberikan perlindungan bagi korban keganasan dan menyelesaikan masalahnya hingga ke pengadilan. Bagi kami, yang amat penting adalah perikemanusiaan terhadap siapa pun korban tindak kekerasan. Bahkan tanpa memandang ras ataupun agama,” kata Ketua Jabatan Kecemasan dan Trauma Hospital Kuala Lumpur, Dato Dr Abu Hassan Asaari Abdullah, dengan bahasa Indonesia yang pas.
Sosok yang bergelar profesor dan meriah doktor di Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur ini, adalah orang pertama yang mendirikan One Stop Crisis Center (OSCC) Hospital Kuala Lumpur, Malaysia, setelah ia pulang belajar dari Inggris pada tahun 1994.
Sisi kemanusiaan yang bagaimana? Prosesnya ternyata dimulai dari rekrutmen petugas OSCC. Sejak awal, badan ini melatih dulu paramedis untuk punya empati dan harus punya kepekaan (sensitivitas) tinggi terhadap korban tindak kekerasan. Petugas dimotivasi dan dilatih dari bulan ke bulan. Barulah faktor lain melengkapi hal mendasar ini. Sebab, menurut Abu Hasan, betapa sulit membuang stigma dalam masyarakat yang akhirnya mendera korban. Sebut saja korban perkosaan. Menegakkan rasa sensitif itu, di 120 OSCC seantero Malaysia, petugas polisi pun tak mengenakan uniform, demi menghindari kesan angker seorang polisi.
Bila suatu kali ke OSCC Kuala Lumpur, Anda akan menemukan satu counter kaca bertuliskan Selamat Datang ke Jabatan Kecemasan Hospital Kuala Lumpur, yang ditulis dengan warna merah. Warna mencolok ini bermakna sebagai counter darurat. Di tempat ini, petugas langsung tahu mana yang korban tindak kekerasan, mana pula yang bukan, lewat sebuah sandi/tanda di formulir record (rekam medik) yang dibawa korban.
Lantas, tanpa banyak tanya, petugas yang terus berganti itu (tidak tetap), langsung membawa korban ke bilik tersembunyi, sesuai dengan kasus yang dialami korban. Jadi, selain petugas di loket, tidak seorang pun tahu, pasien yang datang tersebut sebenarnya korban perkosaan atau korban kekerasan dalam rumah tangga, misalnya.
Sesampai ke bilik perawatan (sekaligus konseling), maka tampaklah pada kita bahwa bilik-bilik tersebut memang didesain khusus dibanding bilik perawatan lainnya. Warna pink plus gambar-gambar boneka, bunga, dan hiasan lucu lainnya, adalah bilik untuk korban kanak-kanak. Jauh dari kesan menakutkan sebuah rumah sakit. Bila proses perawatan medik selesai, barulah petugas menuju tahap berikutnya.
Tim OSCC yang terdiri atas pihak kepolisian, lembaga swadaya masyarakat, kehakiman, dan perawat, mengumpulkan data medik (misalnya kasus perkosaan) untuk diajukan ke pengadilan.
Rekam data medik diolah lagi secara science melalui pakar forensik, sebelum diajukan ke pegadialan. “Record data haruslah sempurna. Mapping harus secara ilmiah. Semestinyalah melalui OSCC ini pembelaan korban lebih bagus,” ungkap Abu Hassan.
Keganasan rumah tangga (kekerasan dalam rumah tangga), penderaan kanak-kanak (kekerasan terhadap anak), pembuangan bayi, mangsa rogol (korban perkosaan), mangsa liwat (korban sodomi), keganasan gender (kekerasan pasangan intim), merupakan kasus rutin yang ditangani OSCC. Secara garis besar samalah seperti di Aceh. Hanya saja di OSCC, dalam sebulan rata-rata didatangi 30 orang. Korban tidak kekerasan (terutama perempuan) mencapai 10-15 orang. Korban perkosaann dan kekerasan anak bisa 15-20 orang.
Kenapa banyak yang mau dan berani melapor? “Ini berkat sosialisasi OSCC kepada masyarakat. Kami lakukan secara gencar dan terus-menerus. Social worker OSCC terus bekerja mencari ibu/bapak angkat bagi bayi buangan, misalnya. Urusan kami menolong korban, bukan menginterogasi korban, atau mencari siapa yang salah atau tidak,” kata Abu Hassan dengan suara bass-nya dan bermimik serius.
So, apakah setelah studi bandingnya ke Kuala Lumpur, Malaysia (27-30 Maret 2011) lalu, Persatuan Tokoh Perempuan Aceh (PTPA) akan melakukan sesuatu untuk ikut “membumikan” OSCC (di Aceh disebut Pelayanan Satu Atap yang bertempat di RS Bhayangkara Banda Aceh? Jangan-jangan masyarakat pada umumnya tidak tahu kalau sebenarnya ada pihak yang peduli dengan kasus-kasus tindak kekerasan yang dialami mereka. (nani hs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar