Cerpen : Nani.HS
Gurat tajam wajah perempuan itu bertambah hilang timbul saja. Warna langsatnya juga sudah merona merah. Barangkali lantaran darah yang menyemburat di bawah kulit mukanya. Sebentar-sebentar giginya yang teratur itu gemertak, padat tubuh depannya pun naik turun tak beraturan.
Dia tak habis fikir mengapa Asem terlalu keras kepalanya. Padahal menurut kakeknya, keras kepala hanya bikin kita tak pernah maju ke depan, apalagi di abad supermodern orang sudah berlomba-lomba menjadi luwes. Pendirian yang alot-alot semakin disempurnakan.
Mana mungkin dia terus terusan terbenam oleh tetangga-tetangganya yang cara berfikirnya saja sudah seperti cerita majalah panas. Dimana orang-orang telah membicarakan soal ambisi orang pertama. Setidaknya menjadi orang kedua sudah boleh jadi acuan.
Hari raya kemarin, maminya Si Suhendro Rendro itu atau sama saja istrinya Pak Supariman itu diiisukan punya predikat baik. Tak percaya? Tanya orang selorong kampung itu. Ya tentu saja. Dia kan orang kedua di kantornya. Lha, sebagai orang ke dua, tak pelak lagi, umpamanya saja setiap lebaran dikirim orang kartu selamat yang ditaruh dalam keranjang rotan yang diberi rombe-rombe kertas minyak atau kreb namanya. Setiap tahun gudang Pak Supariman yang dua kali dua meter penuh dengan pemberian alat tepat guna itu. Silaturrahmi dengan keranjang, khabarnya lebih praktis dari pada sistem bertandang. “Wah enak juga jadi istri Supariman itu ya?” Hati Nila merasa-rasa sambil menghabisi rujak kelapanya.
“Ah tapi Supariman begitu sombong dengan tetangganya, lain dengan Asem suaminya yang bahkan lebih aktif diperkampungan,” bela Nila diam-diam.
Tapi itulah, perempuan itu cuma dibikin kesal setengah mati dalam soal irit mengirit dana dari suaminya. Jangan ganti sebelum rusak, begitu kira-kira ukuran Asem. Apalagi semangat dan pandangan Asem yang terlalu datar untuk sebuah zaman kemajuan.
Nila teringat lagi dengan keranjang ajaib keluarga Supariman. Biasanya waktu Trisuci pembantunya yang berambut megar buatan masih tinggal di rumah warna klenteng itu, muatan keranjang tadi suka disubsidi ke konco-konco sepramuwisma lorong itu. Atau dikemili sambil dengar sandiwara radio, atau sambil rehat di kios rempah Mak Diah.
Nah tahun ini lain. Kenapa tidak? Tahun ini Pak Supariman mendadak menjadi orang kedua teladan. Padahal sebelumnya tak ada pelancong kalangan tetangga yang mampir ke pondok indahnya, sampai akhirnya dia punya akal mujarab yang serta-merta bisa mengubah kesan kurang garam itu.
Rupanya Pak Supariman memang baik hati. Megang kemarin dua lusin seterupnya ludes dioper ke warga. Uang ribuan yang dipecah ratusan juga amblas untuk segerombol bocah berhari raya. “Hebat Bapak itu,” kata orang di pos jaga malam.
“Huh!.” Nila menghentak nafasnya kasar-kasar. Ingin rasanya perempuan itu menggumuli Asem dan mencakarnya sampai robek. Tapi, ah mana bisa, ia terlalu cinta pada laki-laki jangkung itu. Memang benar, akhir-akhir ini dia terlalu sering mendakwa suaminya seakan ada sesuatu yang didapat kalau saja suaminya mau membenarkan sesuatu menurut logikanya betul. Perasaan itu datang di sembarang tempat, waktu, dan mungkin saja membuat radang di benaknya. Namun bila Asem bersekongkol dengan maksudnya, perempuan itu merasa hidupnya tiba-tiba lebih berguna, seperti menghangat. Entah apa namanya tapi itulah kenyataannya. Ada kepuasan dalam kemenangannya itu.
Nila mendengus lagi. Bayangan Supariman menggoda kembali. Benci-benci kagum ia pada laki-laki botak itu. Kala mengingat yang begituan tak tau sebab perutnya tiba-tiba bergolak, mendesak angin ke dalamnya dan meneruskan mualnya menjadi muntah angin yang panjang. Kejadian itu bukan sekali, apakah lagi kalau sedang mentengkari Asem karena keras kepalanya.
Itu lagi! Dia ingat sekarang dengan soalan kemarin malam. Ya baru soal menghidupi anak sendiri Asem sudah apriori, tidak aristroktrat, belum lagi soal yang satu tadi?
“Bang!!! Pokoknya saya tak sudi ikut gaya purba kamu titik.”
“Lho kamu ini bagaimana Nila, saran saya kan baik?”
“Saran apa? Aku stres bang,” Nila tak lupa melempar gulingnya ke arah Asem, bibirnya menjadi miring-miring mencibir.
“Stres bagaimana? Nama itu bagus Nil, pilihan neneknya lagi.” “Abang ini kok gitu? Nama Georgia Linda juga bagus, dua kata yang harmonis. Kasihan si anak, kalau sudah besar dengan nama yang kurang aksen Bang. Kalau malas panjang-panjang, kita bisi panggil Jhorgy saja. Apa salahnya sedikit melongok ke depan demi anak?”
“Bagaimana kalau tiga nama itu kita undi saja?”
“Tidak bisa, tidak! Nama dariku tetap cita-citaku!”
“Jangan marah begitu sayang, semua masih ada jalan, bisa diatur, tenang-tenang saja dulu, kosongkan fikiranmu lalu kita tidur .”
“Aduh Abang, bicara sama Abang jadi gerah saya, Abang payah, tuh lihat Pak Pariman itu.” Rupanya Nila memuncak jengkelnya. Guling kapas itu direbutnya kembali dan dicekalnya kuat-kuat. Perut Asem hampir saja meledekkan sesuatu. Ya lucu, ya cemburu. Untung isi perutnya itu bisa dikendali. Hati-hati sekali dia membenarkan letak anak rambut Nila yang juga kusut seperti marahnya.
“Istirahatlah,” bujuknya. Di mata Asem hidung kecil Nila masih saja menggetarkan, kesan yang sama sejak kecan pertama dulu. Melayang dijentiknya lembut.
Astaga! Nila malah terisak.
“Abang kampungan, pengecut. Abang takut ya pada nama Georgia Linda ku? Takut kalau nama itu tidak dipanggil Tuhan waktu hari kiamat, gara-gara bukan nama Alquran? Ealah Tuhan enggak bodoh Bang. Tuh nama-nama dari Rusia itu bagaimana? Ya bahasa, ya pengertiannya sama saja kan? Aduh Abang ini buntung nalarnya, payah, belum lagi jadi orang kedua.”
“Iya ya, betul kamu Nil.” Asem cepat-cepat membenarkan dengan bijaknya.
“Semua bisa diatur,” sambung Asem lagi seolah ingin membuat titik besar sebagai penyelesaian persilatan lidah itu.
“Semua bisa diatur kata Abang? Abang lupa ya, kita banyak perbedaannya Bang. Dulu waktu pacaran Abang bilang kita harus berusaha menyamakan kebiasaan, sama-sama akan meninggalkan yang tidak cocok. Sekarang mana? Abang kejam!”
“Astaqrfirullah, apanya yang kejam Yang?” Asem mencoba menelan jengkelnya yang sudah sampai di lidah. Dia kapok. Pertengkaran malah jadi mentah kembali. Lalu apa artinya kesabarannya sejak tadi, kemarin, dan kemarinnya lagi? Hampir habis jurus laki-lakinya menangkis geram demi geram istrinya. Asem menelentangkan badan, berusaha mengatur napasnya satu-satu. Dalam hati sudah barang tentu membadai unek yang banyak. “Mati aku.” aduhnya sendiri.
“Coba Bang, Abang bilang saya juga boleh mengatur rumah, warnanya, ya macam-macamlah.”
“Sudahlah sayang, Abang yang salah.” Asem kembali mematahkan semangat pertempuran istri terkasihnya itu. Tapi Nila lain, tudingnya makin melompat kesana-kemari.
“Itu lagi. Aduh, aduh. Sudah saya bilang Bang, taman yang dominan rumputnya malah seperti stadion Bang, yang dinamislah. Hidup harus charming, exlusif.” Nila sampai ngos-ngosan melepas penyesak dadanya. Wajahnya mulai lembab oleh keringat. Bertambah gelisah ia. Udara seperti diam malam itu, kemarau tidak saja digilir musim tapi juga singgah di rumah Asem. Ya hampir dua bulan lalu bara itu menggerahi rumah tangganya. Asem senyum samar, jatuh di mata Nila yang sedang mempelototinya lekat-lekat.
“Nila, Nila, taman yang model itu kan mahal? Katamu lebih pahala menanam modal ke panti asuhan seperti cita-citamu dulu sebelum kita menikah,” Asem tergoda lagi menimpali gagasan-gagasan itu.
“Eh Bang, jangan salah. Taman juga penting. Mata perlu juga makan. Ya yang hijau-hijau itu. Ah, hijau itu cantik Bang. Cantik adalah hidup itu sendiri.”
“Oh iya ya, memang betul itu,” Asem buru-buru menyambar inspirasi Nila yang kian mengalir lagi. Asem cemas, jangan-jangan Nila mau membikin bicara jadi membanjiri kamauanya atau membuat ronde dan topik baru dari pertandingan itu. Sebab kalau membicarakan hidup sama artinya dengan menyoroti kefanaan. Mana mungkin sedangkan malam sudah setengah mereka geluti. Haruskah dini hari dan angin turut campur memaklumatkan pertikaian gado-gdo itu kepada khalayak jiran? Oho, tidak perlu,lebih parah lagi bila menyenggol cerita keluarga Supariman. Tokoh terpendam istrinya belum lama ini.
Tak ada cara lain. Apa boleh buat dan darurat. Asem mencoba menyodorkan inisiatif lain dari sekadar sahut menyahut yang tanpa ending itu. Dieratkannya Nila dalam dekap. Dia berusaha malam menjalar kembali di sekujur ranjang agar dapat melepaskan sesuatu dari kejangnya.
Sadar tak sadar, mau tak mau Asem harus tetap bersedia mengangguk terhadap ide-ide Nila. Ya, cara satu-satunya, jurus pamungkasnya terhadap serangan tajam Nila yang dipersuntingnya hampir satu tahun lalu. Paling tidak proses angguk mengangguk itu harus bertahan sampai bulan kesembilan mendatang. Mengertilah ia saat itu dan laborat juga memperkuat. Calon ayah dia rupanya, dan itu tak gampang. Ini tak seberapa. Tapi alangkah peliknya kalau Nila mengidamkan belanja ke bulan umpanya. Atau ngiler jadi istri Pak Supariman yang orang kedua itu.
Betul kalau dipikir-pikir, Asem lebih beruntung. Bersedia atau tidak ikut-ikutan dalam khayalan istrinya? Tinggal bilang ya, atau kalau ingin variasi katakan saja tidak, maka semua perbicangan akan berkembang sampai ke bulan. Itulah modal Asem menghadapi peristiwa ngidam itu. Satu kali saja sehari semalam, sudah minta ampun. Dituntut kesabaran memang. Ya, itu saja puncak kebijaksanaannya menjalani proses calon ayah.
(Banda Aceh, November 1991)
Gurat tajam wajah perempuan itu bertambah hilang timbul saja. Warna langsatnya juga sudah merona merah. Barangkali lantaran darah yang menyemburat di bawah kulit mukanya. Sebentar-sebentar giginya yang teratur itu gemertak, padat tubuh depannya pun naik turun tak beraturan.
Dia tak habis fikir mengapa Asem terlalu keras kepalanya. Padahal menurut kakeknya, keras kepala hanya bikin kita tak pernah maju ke depan, apalagi di abad supermodern orang sudah berlomba-lomba menjadi luwes. Pendirian yang alot-alot semakin disempurnakan.
Mana mungkin dia terus terusan terbenam oleh tetangga-tetangganya yang cara berfikirnya saja sudah seperti cerita majalah panas. Dimana orang-orang telah membicarakan soal ambisi orang pertama. Setidaknya menjadi orang kedua sudah boleh jadi acuan.
Hari raya kemarin, maminya Si Suhendro Rendro itu atau sama saja istrinya Pak Supariman itu diiisukan punya predikat baik. Tak percaya? Tanya orang selorong kampung itu. Ya tentu saja. Dia kan orang kedua di kantornya. Lha, sebagai orang ke dua, tak pelak lagi, umpamanya saja setiap lebaran dikirim orang kartu selamat yang ditaruh dalam keranjang rotan yang diberi rombe-rombe kertas minyak atau kreb namanya. Setiap tahun gudang Pak Supariman yang dua kali dua meter penuh dengan pemberian alat tepat guna itu. Silaturrahmi dengan keranjang, khabarnya lebih praktis dari pada sistem bertandang. “Wah enak juga jadi istri Supariman itu ya?” Hati Nila merasa-rasa sambil menghabisi rujak kelapanya.
“Ah tapi Supariman begitu sombong dengan tetangganya, lain dengan Asem suaminya yang bahkan lebih aktif diperkampungan,” bela Nila diam-diam.
Tapi itulah, perempuan itu cuma dibikin kesal setengah mati dalam soal irit mengirit dana dari suaminya. Jangan ganti sebelum rusak, begitu kira-kira ukuran Asem. Apalagi semangat dan pandangan Asem yang terlalu datar untuk sebuah zaman kemajuan.
Nila teringat lagi dengan keranjang ajaib keluarga Supariman. Biasanya waktu Trisuci pembantunya yang berambut megar buatan masih tinggal di rumah warna klenteng itu, muatan keranjang tadi suka disubsidi ke konco-konco sepramuwisma lorong itu. Atau dikemili sambil dengar sandiwara radio, atau sambil rehat di kios rempah Mak Diah.
Nah tahun ini lain. Kenapa tidak? Tahun ini Pak Supariman mendadak menjadi orang kedua teladan. Padahal sebelumnya tak ada pelancong kalangan tetangga yang mampir ke pondok indahnya, sampai akhirnya dia punya akal mujarab yang serta-merta bisa mengubah kesan kurang garam itu.
Rupanya Pak Supariman memang baik hati. Megang kemarin dua lusin seterupnya ludes dioper ke warga. Uang ribuan yang dipecah ratusan juga amblas untuk segerombol bocah berhari raya. “Hebat Bapak itu,” kata orang di pos jaga malam.
“Huh!.” Nila menghentak nafasnya kasar-kasar. Ingin rasanya perempuan itu menggumuli Asem dan mencakarnya sampai robek. Tapi, ah mana bisa, ia terlalu cinta pada laki-laki jangkung itu. Memang benar, akhir-akhir ini dia terlalu sering mendakwa suaminya seakan ada sesuatu yang didapat kalau saja suaminya mau membenarkan sesuatu menurut logikanya betul. Perasaan itu datang di sembarang tempat, waktu, dan mungkin saja membuat radang di benaknya. Namun bila Asem bersekongkol dengan maksudnya, perempuan itu merasa hidupnya tiba-tiba lebih berguna, seperti menghangat. Entah apa namanya tapi itulah kenyataannya. Ada kepuasan dalam kemenangannya itu.
Nila mendengus lagi. Bayangan Supariman menggoda kembali. Benci-benci kagum ia pada laki-laki botak itu. Kala mengingat yang begituan tak tau sebab perutnya tiba-tiba bergolak, mendesak angin ke dalamnya dan meneruskan mualnya menjadi muntah angin yang panjang. Kejadian itu bukan sekali, apakah lagi kalau sedang mentengkari Asem karena keras kepalanya.
Itu lagi! Dia ingat sekarang dengan soalan kemarin malam. Ya baru soal menghidupi anak sendiri Asem sudah apriori, tidak aristroktrat, belum lagi soal yang satu tadi?
“Bang!!! Pokoknya saya tak sudi ikut gaya purba kamu titik.”
“Lho kamu ini bagaimana Nila, saran saya kan baik?”
“Saran apa? Aku stres bang,” Nila tak lupa melempar gulingnya ke arah Asem, bibirnya menjadi miring-miring mencibir.
“Stres bagaimana? Nama itu bagus Nil, pilihan neneknya lagi.” “Abang ini kok gitu? Nama Georgia Linda juga bagus, dua kata yang harmonis. Kasihan si anak, kalau sudah besar dengan nama yang kurang aksen Bang. Kalau malas panjang-panjang, kita bisi panggil Jhorgy saja. Apa salahnya sedikit melongok ke depan demi anak?”
“Bagaimana kalau tiga nama itu kita undi saja?”
“Tidak bisa, tidak! Nama dariku tetap cita-citaku!”
“Jangan marah begitu sayang, semua masih ada jalan, bisa diatur, tenang-tenang saja dulu, kosongkan fikiranmu lalu kita tidur .”
“Aduh Abang, bicara sama Abang jadi gerah saya, Abang payah, tuh lihat Pak Pariman itu.” Rupanya Nila memuncak jengkelnya. Guling kapas itu direbutnya kembali dan dicekalnya kuat-kuat. Perut Asem hampir saja meledekkan sesuatu. Ya lucu, ya cemburu. Untung isi perutnya itu bisa dikendali. Hati-hati sekali dia membenarkan letak anak rambut Nila yang juga kusut seperti marahnya.
“Istirahatlah,” bujuknya. Di mata Asem hidung kecil Nila masih saja menggetarkan, kesan yang sama sejak kecan pertama dulu. Melayang dijentiknya lembut.
Astaga! Nila malah terisak.
“Abang kampungan, pengecut. Abang takut ya pada nama Georgia Linda ku? Takut kalau nama itu tidak dipanggil Tuhan waktu hari kiamat, gara-gara bukan nama Alquran? Ealah Tuhan enggak bodoh Bang. Tuh nama-nama dari Rusia itu bagaimana? Ya bahasa, ya pengertiannya sama saja kan? Aduh Abang ini buntung nalarnya, payah, belum lagi jadi orang kedua.”
“Iya ya, betul kamu Nil.” Asem cepat-cepat membenarkan dengan bijaknya.
“Semua bisa diatur,” sambung Asem lagi seolah ingin membuat titik besar sebagai penyelesaian persilatan lidah itu.
“Semua bisa diatur kata Abang? Abang lupa ya, kita banyak perbedaannya Bang. Dulu waktu pacaran Abang bilang kita harus berusaha menyamakan kebiasaan, sama-sama akan meninggalkan yang tidak cocok. Sekarang mana? Abang kejam!”
“Astaqrfirullah, apanya yang kejam Yang?” Asem mencoba menelan jengkelnya yang sudah sampai di lidah. Dia kapok. Pertengkaran malah jadi mentah kembali. Lalu apa artinya kesabarannya sejak tadi, kemarin, dan kemarinnya lagi? Hampir habis jurus laki-lakinya menangkis geram demi geram istrinya. Asem menelentangkan badan, berusaha mengatur napasnya satu-satu. Dalam hati sudah barang tentu membadai unek yang banyak. “Mati aku.” aduhnya sendiri.
“Coba Bang, Abang bilang saya juga boleh mengatur rumah, warnanya, ya macam-macamlah.”
“Sudahlah sayang, Abang yang salah.” Asem kembali mematahkan semangat pertempuran istri terkasihnya itu. Tapi Nila lain, tudingnya makin melompat kesana-kemari.
“Itu lagi. Aduh, aduh. Sudah saya bilang Bang, taman yang dominan rumputnya malah seperti stadion Bang, yang dinamislah. Hidup harus charming, exlusif.” Nila sampai ngos-ngosan melepas penyesak dadanya. Wajahnya mulai lembab oleh keringat. Bertambah gelisah ia. Udara seperti diam malam itu, kemarau tidak saja digilir musim tapi juga singgah di rumah Asem. Ya hampir dua bulan lalu bara itu menggerahi rumah tangganya. Asem senyum samar, jatuh di mata Nila yang sedang mempelototinya lekat-lekat.
“Nila, Nila, taman yang model itu kan mahal? Katamu lebih pahala menanam modal ke panti asuhan seperti cita-citamu dulu sebelum kita menikah,” Asem tergoda lagi menimpali gagasan-gagasan itu.
“Eh Bang, jangan salah. Taman juga penting. Mata perlu juga makan. Ya yang hijau-hijau itu. Ah, hijau itu cantik Bang. Cantik adalah hidup itu sendiri.”
“Oh iya ya, memang betul itu,” Asem buru-buru menyambar inspirasi Nila yang kian mengalir lagi. Asem cemas, jangan-jangan Nila mau membikin bicara jadi membanjiri kamauanya atau membuat ronde dan topik baru dari pertandingan itu. Sebab kalau membicarakan hidup sama artinya dengan menyoroti kefanaan. Mana mungkin sedangkan malam sudah setengah mereka geluti. Haruskah dini hari dan angin turut campur memaklumatkan pertikaian gado-gdo itu kepada khalayak jiran? Oho, tidak perlu,lebih parah lagi bila menyenggol cerita keluarga Supariman. Tokoh terpendam istrinya belum lama ini.
Tak ada cara lain. Apa boleh buat dan darurat. Asem mencoba menyodorkan inisiatif lain dari sekadar sahut menyahut yang tanpa ending itu. Dieratkannya Nila dalam dekap. Dia berusaha malam menjalar kembali di sekujur ranjang agar dapat melepaskan sesuatu dari kejangnya.
Sadar tak sadar, mau tak mau Asem harus tetap bersedia mengangguk terhadap ide-ide Nila. Ya, cara satu-satunya, jurus pamungkasnya terhadap serangan tajam Nila yang dipersuntingnya hampir satu tahun lalu. Paling tidak proses angguk mengangguk itu harus bertahan sampai bulan kesembilan mendatang. Mengertilah ia saat itu dan laborat juga memperkuat. Calon ayah dia rupanya, dan itu tak gampang. Ini tak seberapa. Tapi alangkah peliknya kalau Nila mengidamkan belanja ke bulan umpanya. Atau ngiler jadi istri Pak Supariman yang orang kedua itu.
Betul kalau dipikir-pikir, Asem lebih beruntung. Bersedia atau tidak ikut-ikutan dalam khayalan istrinya? Tinggal bilang ya, atau kalau ingin variasi katakan saja tidak, maka semua perbicangan akan berkembang sampai ke bulan. Itulah modal Asem menghadapi peristiwa ngidam itu. Satu kali saja sehari semalam, sudah minta ampun. Dituntut kesabaran memang. Ya, itu saja puncak kebijaksanaannya menjalani proses calon ayah.
(Banda Aceh, November 1991)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar