22/10/05

BELANJA DENGAN RUPIAH DI WAT ARUN

SERAMBI INDONESIA

21/10/2005 05:05:55

Catatan dari Bangkok: (2-habis)

Belanja di komplek candi Wat Arun Ratchwararam dengan mata uang rupiah, memang bukan keputusan yang bijak. “Lugi punya wo,” kata orang Tionghoa.

Namun bagi pelancong Indonesia yang tak mengantongi bat tapi “ngiler” bukan kepalang dengan aduhainya beragam cindramata di kios-kios Wat Arun, jadi jugalah. Apalagi dengan mengingat entah bila kan kembali ke lokasi wisata seberang Chaophraya River itu. Lagipula Rp25.000 untuk sepotong kaus oblong kualitas menengah bergambar lambang dan tulisan Thailand, rasanya tak membuat kita merasa “bersalah” mengeluarkan rupiah. Sebab harga itu relatif sama dengan di negeri sendiri.

Kalau berniat datang ke Wat Arun yang dirindangi pepohonan dan seberbak aroma dari jajaran pohon kemuning itu, berarti jangan segan-segan buka dompet. Wat Arun memang bukan sekadar tempat jalan-jalan atau cuci mata. Banyak properti yang menggoda. Apalagi begitu mengetahui yang datang dari Indonesia para produsen tak segan-segan memberi “kemudahan” belanja dalam rupiah. “Jangan susah-susah, bisa pakai rupiah, tidak jauh beda dengan bath,” kata salah seorang dara penjual perhiasan dari batu dengan senyum ramahnya.

Agaknya para pedagang di Wat Arun sudah biasa melayani orang Indonesia. Itu kelihatan dari cara mereka bicara dan mengali-ngali bat ke rupiah. Benar-benar seperti di Indonesia, apatah lagi sayup-sayup terdengar tembang nostalgia Indonesia dari tape di sebuah pojok.

Yang pantas kita tiru, pedagang-pedangan itu lihai dalam taktik berhadapan dengan pelanggan. Sopan, sabar, dan benar-benar menjadikan pembeli adalah raja. Uang mulai mengalir tatkala kita tiba di dermaga kecil River City atau sungai Sangkon, sekitar 10 km dari Kota Bangkok. Tentu untuk ongkos berperahu (mesin tempel) 5 bat/orang atau 500-1000 bat untuk perahu carteran.

Dengan perahu khas bermata naga di haluan yang bisa memuat 10-12 penumpang, kita kemudian menyusuri Chaophraya yang berkedalaman 20 meter dan panjang 363 km. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk sampai di Wat Arun. Di sungai yang berhulu di Chiang Mai bagian Utara Thailand dan berair keruh tersebut sebentar-sebentar kita berpapasan dengan perahu lain. Besar dan kecil, baik khusus perahu pengangkut pasir yang dibawa ke kota, maupun perahu/restoran terapung yang sosoknya lebih indah dan berwarna merah keemasan. Dengan sedikit ngebut, perahu saling mencipratkan air, namun tak menodai perahu lain.

Naik perahu bermesin di Chaophraya River alias ceusen chow pokya (sungai raja) apalagi sempat lewat di bawah jembatan Memorial dan jembatan Pra Pokklao memang seru. Sempat mencuatkan kegembiraan, dan sebaliknya membuat ngeri mereka yang pobia air. Kecemasan baru berhenti ketika seseorang petugas di Wat Arun menuntun kita keluar dari perahu yang terombang-ombang oleh riak air.

Sama seperti penyambutan di bandara Don Mueang, siapapun yang datang melalui travel agency, bakal difoto dulu dan foto itu langsung dicetak dan di antar ke hotel, dihargakan 100 bat. Di tempat yang sama foto dicetak ke atas piring, juga seharga 100 bat. Yang ini boleh ambil boleh tidak. Tapi siapa sih yang tak mau mengambil foto close up sendiri yang sudah menempel di piring berhiaskan lambang Thailand? Ini kan barang kenang-kenangan.

Agaknya semacam “keharusan” bagi guide tour untuk memperkenalkan Wat Arun Ratchwararam Temple yang berdiri sejak 1872 tersebut. Sebuah Pagoda yang dibangun Raja Taksin dari China yang kemudian diperbesar raja ke 2 Thailand sehingga berketingian 66 meter. Di pagoda warna keperakan ini kita bisa menyaksikan piring-piring porselin ratusan tahun lalu yang ditempel ke dinding kuil. Di komplek ini tidak dipungut bayaran apapun dan ajang perkenalan ini hanya berkisar 10 menit saja.

Jauh ketika masih di darat ada wanti-wanti jangan sungkan menawar ketika belanja di Wat Arun. Berbeda dengan mall atau toko modern yang menyediakan barang-barang aspal (asli tapi palsu), Wat Arun selain lebih murah juga mengetengahkan produk asli Thailand. Seperti batu, perhisan, sutra, dan berbagai cindramata khas Thailand seperti topi, gantungan kunci, kipas, barang-barang gerabah, dompet, selendang besar. pakaian sutra model koko, hingga batu-batu tasbih untuk muslim. Semuanya berkisar antara 10 bath hingga 1000 bath.

Tak bisa dipungkiri, kendati datang ke Wat Arun tadinya hanya untuk cuci mata, sikap itu akan buyar manakala “digoda” barang-barang pajangan. “Lapar mata” istilahnya. Sebenarnya ada pasar yang lebih besar yang dicapai satu jam berperahu. Floating Market namanya. Hanya saja merupakan pasar terapung. Perahu-perahu lain datang mendekat dan menjajakan dagangannya yang tetap segemerlap produk wat Arun atau toko-toko barang etnis bangkok lainnya.

Lelah berkelilingan, di luar barak-barak jual, tersedia jajanan murah meriah seperti mie bakso 30 bat, kelapa muda 10-15 bat.

Rupiah nyatanya bisa bergerak “supel” di pasar Bangkok. Tak harus ke loket Money Changer. Pun memang tidak terasa mahal secara kasat mata.

Tapi yang penting Anda jangan sampai lupa berhitung-hitung supaya tetap ekonomis dan tak terkikis. Satu juta rupiah sama dengan 3000 bat, atau tiga lembar uang seribuan saja. Tapi satu juta rupiah seratus lembar uang seribuan. Sampai-sampai ada yang bilang, kalau belanja di Bangkok dengan rupiah, dompet orang Indonesia akan cepat koyak. Maklum, dompetnya harus gemuk dulu, baru bisa belanja dengan santai dan nikmat.

- Nani.HS



Tidak ada komentar: