Serambi Indonesia/20/10/2005 11:48 WIB
CATATAN DARI BANGKOK: (1)
SELASA, (11/10) rombongan Bupati Kabupaten Simeulu bertolak ke Bangkok, untuk menerima penghargaan yang diberikan UNSECAP sehubungan bencana gempa dan tsunami 26 desember 2004. Penghargaan, Sasakawa Award 2005 diserahkan di ruang Conference Room 4 United Nation Conference Centre UNESCAP, Rajdamnern Nok Avenue Bangkok 10200, Thailand. (12/10).
Latar belakangnya karena Simeulue dinilai berhasil melestarikan kearifan lokal berupa nasihat turun temurun hampir seratus tahun lalu, ikhwal keharusan melarikan diri ke gunung bila terjadi gempa. Wartawan Serambi Indonesia, Nani HS, yang ikut bersama rombongan, sejak hari ini akan menurunkan laporan perjalanan ke ibukota Negeri Gajah Putih itu. Juga laporan perjalanan di Negeri Singa, Singapura.
BANDAR Udara Don Muang Bangkok, tampak lengang ketika rombongan Simeulue menjejakkan kaki sekitar pukul 05.30 sore, (11/10). Menurut waktu setempat, jadwal berbuka jatuh pada pukul 06.15.
Tidak satupun dari sebelas anggota rombongan yang membeli bekal berbuka di beberapa counter makanan di Don Mueang. Padahal waktu berbuka akan tiba saat kami sedang dalam perjalanan ke hotel D‘ma yang diapit Eastin Hotel dan Bangkok Palace di Jalan Vipavadee Rangsit di pusat Bangkok. Kami enggan membeli makanan di kedai atau toko nonmuslim, terlebih karena kebiasaan mempercayai bahwa apa saja yang dijual di bandara, harganya bisa dua kali lipat.
Begitulah, setelah rombongan melewati pintu keluar Bandara dan dikalungi rangkaian orchard lembayung oleh utusan agency yang membawa kami, hari makin turun. Pelan dan pasti mentari pun terbenam kala jarum arloji pemandu wisata di angka enam lebih 16 menit.
“Sudah bisa buka puasa ini?” tanya Bupati Simeulu yang duduk di kursi terdepan bus kami. “Nampaknya sudah, jawab salah seorang anggota rombongan dari arah belakang. Tiba-tiba suasana senyap, entah apa yang terlintas di benak masing-masing anggota rombongan. Yang jelas berbuka kali ini tanpa dikomandoi serine dari Masjid Raya Baiturrahman begitupun sirine ala Simeulue, atau harum berselera kanji rumbi dari meunasah, atau derap bedug yang bersemangat.
“Selamat berbuka puasa,” ucap lelaki berdarah Thailand Selatan, Surapol L, sang guide tour. “Ya, ambil, ambilah ini,” ajak Ny Afridawaty Darmili sembari menggilir kurma kotak kepada kami. Alhamdulillah, bismillah. Tak ada komentar lain. apalagi ucapan rindu menyantap nasi. Entahlah apa yang terlintas di hati masing-masing. Kurma lembut, gigitan demi gigitan melewati kerongkongan. Kali ini memang tak perlu minum banyak, karena AC bus sangat dingin.
Lewat jendela, masih terlihat gemerlap malam seputar bandara Bangkok. Lalulintas yang padat tapi teratur, sekitar setengan jam kemudian menggenapkan perjalanan 25 km Don Mueang – D‘ma Hotel. Perut mulai meminta jatah berbuka yang lebih besar dan “serius”. Apalagi kalau bukan nasi putih dan lauk pauknya, serta pernik-pernik berbuka lainnya.
Lalu akankah kami makan malam alias buka puasa di D‘ma Hotel yang berlantai 25 itu? No way. Tidak ada jatah makan nasi putih apalagi spesial makanan muslim di D‘ma Hotel, jika tidak memesan dulu. Yang ada adalah hampir semua santapan berbau western. Memang tersedia yang continental dan oriental, tapi siapa yang berani menjamin kehalalannya. Sementara malam telah melewati pukul 20.00 dan keroncong perut mulai mengganggu. Faktanya lagi, maghrib pun mau tak mau harus di-jamak ta‘khir. Semua lepas dalam magrib di perjalanan bandara-hotel. Yang terpikirkan adalah mandi, lalu bersiap-bersiap mencari restoran halal di komplek muslim.
Ada sejumlah kawasan muslim di Khuenghai Mahanahon (Kota Bidadari) ini seperti Dingdeng tapi rata-rata tutup antara jam lima dan enam sore. Pilihan jatuh ke rumah makan muslim kawasan, Petchburi Road, sekitar 5 km dari D‘ma Hotel. Walau bukan kawasan elite, rumah makan di lorong ke tujuh jalan protokol itu pilihan kami. Rombongan terpaksa jalan kaki sekitar 25 meter, sebab hanya mobil kecil seperti jenis sedan dan jeep yang bisa masuk lorong.
Sekitar pukul 21.00 waktu Bangkok, kami memasuki lorong yang tak terlalu terang itu. Agaknya sudah selesai pelaksanaan tarawih. Bukankah pintu halaman sebuah masjid kecil, Darul Alam, yang berhadapan dengan lorong itu, sudah di tutup? Di seberang masjid, belasan lelaki berkopiah tampak bercakap-cakap. Mereka santai sembari menikmati hidangan di meja-meja yang berjajar sepanjang kaki lima lorong. Saudara seiman yang rata-rata separuh baya itu sempat menolehi rombongan, mungkin sosok kami memang tampak sebagai pendatang.
“Assalamualaikum,” sapa Serambi kepada seorang nenek yang sedang mengotakkan kurma di rumah makan berlabel Nang Phaya Restaurant (Rumah Makan Muslim), di pertengahan lorong tujuh itu. Perempuan manula yang masih kelihatan energik serta bersahaja dengan songkok di kepalanya tersebut, menjawab salam dengan lafal yang pas. Sahutan salamnya terasa bagai menyambut anak atau saudara sendiri. Ia tersenyum ramah hingga menampakkan seluruh giginya yang masih utuh, sekaligus mempersilakan kami duduk di kedainya.
Ruang makan yang berlatar dinding kaca yang didominir warna putih, memang hanya memuat tujuh meja makan saja. Memang terhitung kurang luas untuk makan plus santai. Namun keasrian dan kebersihannya membuat nyaman suasana berbuka. Apalagi sejumlah tamu lain terdengar berbahasa Indonesia. Di ruangan berukuran sekitar 6×3 meter ini, relatif tidak ada kesulitan berkomunikasi waktu memesan makanan. Sebab pramu saji laki-laki dan perempuannya menguasai sepatah dua kata bahasa Indonesia. Cukuplah untuk keperluan transaksi bagi santapan berbuka malam itu.
Apalagi guide tour turut serta. Kesan kekeluargaan masih terasa. Saking PD (percaya diri)-nya, salah seorang anggota rombongan minta tambah air putih dalam bahasa Thai. Tapi justru artinya minta sepiring saus. Tak pelak lagi, peramu saji sempat terbengong. Untung saja seorang Thai muslim yang juga sedang santap malam nimbrung meruluskannya.
Selain dijamin halal, apa yang membuat lega dan serasa berada dalam rumah makan di Tanah Air? Tentu saja makanannya. Pas di lidah dan dekat dengan masakan Indonesia. Sebut saja semur ikan gurami, ikan peda pepes, ikan masak bali, tumis sayur, sup, udang makaroni, sambel kecap, telur asin rebus, es cendol, kolak talas. Harganya pun tak terlalu “mencekik” saku, seperti harga makanan restauran.
Satu porsi bukaan utama (misalnya nasi/mie) plus air putih, kolak/jus/minuman dingin lainnya, hanya 200 bat (sekitar Rp60.000 bila 1 bat sama dengan Rp300) saja. Berpuasa dan menginap di hotel berbintang di negeri 90 % budhis, tentu beda nyata dengan di negeri yang doniman berpenduduk muslim. Tak ada istilah ada makan tengah malam. Itu sebabnya pihak penyelenggara tour, berusaha keras agar tersedia santap sahur, yang dibeli selepas berbuka. Tak lain untuk menghindari patah selera santap sahur.
Pilihannya ikan jeunara goreng, kerupuk ikan, telur asin rebus, dan sambal kecap. D‘ma Hotel cuma menyediakan nasi minyak tanpa lauk untuk sahur pertama, dan nasi putih tok untuk sahur kedua.
Bagaimanapun juga kondisi itu, terlalu istimewa, untuk sebuah pelayanan yang dibuat di luar jadual hotel.
Subhanallah. Dengan porsi yang tak seimbang gizi seperti itu, keesokan harinya toh kami tetap segar dan kuat, meneruskan perjuagan hawa nafsu bulan Ramadhan. Padahal jadual tour sehari penuh, sangat padat. Untuk jalan-jalan dan belanja, Bangkok alias Kantek ini memang moy. Tapi khusus pendatang yang berpuasa, harus berjaga-jaga. Perut, mata, dan kekuatan raga. (***)
CATATAN DARI BANGKOK: (1)
SELASA, (11/10) rombongan Bupati Kabupaten Simeulu bertolak ke Bangkok, untuk menerima penghargaan yang diberikan UNSECAP sehubungan bencana gempa dan tsunami 26 desember 2004. Penghargaan, Sasakawa Award 2005 diserahkan di ruang Conference Room 4 United Nation Conference Centre UNESCAP, Rajdamnern Nok Avenue Bangkok 10200, Thailand. (12/10).
Latar belakangnya karena Simeulue dinilai berhasil melestarikan kearifan lokal berupa nasihat turun temurun hampir seratus tahun lalu, ikhwal keharusan melarikan diri ke gunung bila terjadi gempa. Wartawan Serambi Indonesia, Nani HS, yang ikut bersama rombongan, sejak hari ini akan menurunkan laporan perjalanan ke ibukota Negeri Gajah Putih itu. Juga laporan perjalanan di Negeri Singa, Singapura.
BANDAR Udara Don Muang Bangkok, tampak lengang ketika rombongan Simeulue menjejakkan kaki sekitar pukul 05.30 sore, (11/10). Menurut waktu setempat, jadwal berbuka jatuh pada pukul 06.15.
Tidak satupun dari sebelas anggota rombongan yang membeli bekal berbuka di beberapa counter makanan di Don Mueang. Padahal waktu berbuka akan tiba saat kami sedang dalam perjalanan ke hotel D‘ma yang diapit Eastin Hotel dan Bangkok Palace di Jalan Vipavadee Rangsit di pusat Bangkok. Kami enggan membeli makanan di kedai atau toko nonmuslim, terlebih karena kebiasaan mempercayai bahwa apa saja yang dijual di bandara, harganya bisa dua kali lipat.
Begitulah, setelah rombongan melewati pintu keluar Bandara dan dikalungi rangkaian orchard lembayung oleh utusan agency yang membawa kami, hari makin turun. Pelan dan pasti mentari pun terbenam kala jarum arloji pemandu wisata di angka enam lebih 16 menit.
“Sudah bisa buka puasa ini?” tanya Bupati Simeulu yang duduk di kursi terdepan bus kami. “Nampaknya sudah, jawab salah seorang anggota rombongan dari arah belakang. Tiba-tiba suasana senyap, entah apa yang terlintas di benak masing-masing anggota rombongan. Yang jelas berbuka kali ini tanpa dikomandoi serine dari Masjid Raya Baiturrahman begitupun sirine ala Simeulue, atau harum berselera kanji rumbi dari meunasah, atau derap bedug yang bersemangat.
“Selamat berbuka puasa,” ucap lelaki berdarah Thailand Selatan, Surapol L, sang guide tour. “Ya, ambil, ambilah ini,” ajak Ny Afridawaty Darmili sembari menggilir kurma kotak kepada kami. Alhamdulillah, bismillah. Tak ada komentar lain. apalagi ucapan rindu menyantap nasi. Entahlah apa yang terlintas di hati masing-masing. Kurma lembut, gigitan demi gigitan melewati kerongkongan. Kali ini memang tak perlu minum banyak, karena AC bus sangat dingin.
Lewat jendela, masih terlihat gemerlap malam seputar bandara Bangkok. Lalulintas yang padat tapi teratur, sekitar setengan jam kemudian menggenapkan perjalanan 25 km Don Mueang – D‘ma Hotel. Perut mulai meminta jatah berbuka yang lebih besar dan “serius”. Apalagi kalau bukan nasi putih dan lauk pauknya, serta pernik-pernik berbuka lainnya.
Lalu akankah kami makan malam alias buka puasa di D‘ma Hotel yang berlantai 25 itu? No way. Tidak ada jatah makan nasi putih apalagi spesial makanan muslim di D‘ma Hotel, jika tidak memesan dulu. Yang ada adalah hampir semua santapan berbau western. Memang tersedia yang continental dan oriental, tapi siapa yang berani menjamin kehalalannya. Sementara malam telah melewati pukul 20.00 dan keroncong perut mulai mengganggu. Faktanya lagi, maghrib pun mau tak mau harus di-jamak ta‘khir. Semua lepas dalam magrib di perjalanan bandara-hotel. Yang terpikirkan adalah mandi, lalu bersiap-bersiap mencari restoran halal di komplek muslim.
Ada sejumlah kawasan muslim di Khuenghai Mahanahon (Kota Bidadari) ini seperti Dingdeng tapi rata-rata tutup antara jam lima dan enam sore. Pilihan jatuh ke rumah makan muslim kawasan, Petchburi Road, sekitar 5 km dari D‘ma Hotel. Walau bukan kawasan elite, rumah makan di lorong ke tujuh jalan protokol itu pilihan kami. Rombongan terpaksa jalan kaki sekitar 25 meter, sebab hanya mobil kecil seperti jenis sedan dan jeep yang bisa masuk lorong.
Sekitar pukul 21.00 waktu Bangkok, kami memasuki lorong yang tak terlalu terang itu. Agaknya sudah selesai pelaksanaan tarawih. Bukankah pintu halaman sebuah masjid kecil, Darul Alam, yang berhadapan dengan lorong itu, sudah di tutup? Di seberang masjid, belasan lelaki berkopiah tampak bercakap-cakap. Mereka santai sembari menikmati hidangan di meja-meja yang berjajar sepanjang kaki lima lorong. Saudara seiman yang rata-rata separuh baya itu sempat menolehi rombongan, mungkin sosok kami memang tampak sebagai pendatang.
“Assalamualaikum,” sapa Serambi kepada seorang nenek yang sedang mengotakkan kurma di rumah makan berlabel Nang Phaya Restaurant (Rumah Makan Muslim), di pertengahan lorong tujuh itu. Perempuan manula yang masih kelihatan energik serta bersahaja dengan songkok di kepalanya tersebut, menjawab salam dengan lafal yang pas. Sahutan salamnya terasa bagai menyambut anak atau saudara sendiri. Ia tersenyum ramah hingga menampakkan seluruh giginya yang masih utuh, sekaligus mempersilakan kami duduk di kedainya.
Ruang makan yang berlatar dinding kaca yang didominir warna putih, memang hanya memuat tujuh meja makan saja. Memang terhitung kurang luas untuk makan plus santai. Namun keasrian dan kebersihannya membuat nyaman suasana berbuka. Apalagi sejumlah tamu lain terdengar berbahasa Indonesia. Di ruangan berukuran sekitar 6×3 meter ini, relatif tidak ada kesulitan berkomunikasi waktu memesan makanan. Sebab pramu saji laki-laki dan perempuannya menguasai sepatah dua kata bahasa Indonesia. Cukuplah untuk keperluan transaksi bagi santapan berbuka malam itu.
Apalagi guide tour turut serta. Kesan kekeluargaan masih terasa. Saking PD (percaya diri)-nya, salah seorang anggota rombongan minta tambah air putih dalam bahasa Thai. Tapi justru artinya minta sepiring saus. Tak pelak lagi, peramu saji sempat terbengong. Untung saja seorang Thai muslim yang juga sedang santap malam nimbrung meruluskannya.
Selain dijamin halal, apa yang membuat lega dan serasa berada dalam rumah makan di Tanah Air? Tentu saja makanannya. Pas di lidah dan dekat dengan masakan Indonesia. Sebut saja semur ikan gurami, ikan peda pepes, ikan masak bali, tumis sayur, sup, udang makaroni, sambel kecap, telur asin rebus, es cendol, kolak talas. Harganya pun tak terlalu “mencekik” saku, seperti harga makanan restauran.
Satu porsi bukaan utama (misalnya nasi/mie) plus air putih, kolak/jus/minuman dingin lainnya, hanya 200 bat (sekitar Rp60.000 bila 1 bat sama dengan Rp300) saja. Berpuasa dan menginap di hotel berbintang di negeri 90 % budhis, tentu beda nyata dengan di negeri yang doniman berpenduduk muslim. Tak ada istilah ada makan tengah malam. Itu sebabnya pihak penyelenggara tour, berusaha keras agar tersedia santap sahur, yang dibeli selepas berbuka. Tak lain untuk menghindari patah selera santap sahur.
Pilihannya ikan jeunara goreng, kerupuk ikan, telur asin rebus, dan sambal kecap. D‘ma Hotel cuma menyediakan nasi minyak tanpa lauk untuk sahur pertama, dan nasi putih tok untuk sahur kedua.
Bagaimanapun juga kondisi itu, terlalu istimewa, untuk sebuah pelayanan yang dibuat di luar jadual hotel.
Subhanallah. Dengan porsi yang tak seimbang gizi seperti itu, keesokan harinya toh kami tetap segar dan kuat, meneruskan perjuagan hawa nafsu bulan Ramadhan. Padahal jadual tour sehari penuh, sangat padat. Untuk jalan-jalan dan belanja, Bangkok alias Kantek ini memang moy. Tapi khusus pendatang yang berpuasa, harus berjaga-jaga. Perut, mata, dan kekuatan raga. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar