SERAMBI INDONESIA
22/10/2005 11:20 WIB
HARI raya Idul Fitri 1426 H masih 13 hari lagi. Itu artinya cukup banyak waktu untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi memeriahkan 1 Syawal. Kendati begitu, Kampong Melayu Singapura telah menyongsongnya sejak hari pertama Ramadhan.
Ini bukan tradisi baru dari negeri berluas 647 km bujur sangkar dan berpenduduk 4,2 juta jiwa ini. Budaya religi memarakkan Ramadhan, nyatanya sudah melestari sejak lama di kawasan yang diapit daerah China Town dan Orchard Road ini. Dan Singapurian (semua warga negara Singapura yakni tionghoa, India, dan orang asing berwarga negara Singapura) dengan senang hati turut menyambutnya. Karena menurut salah seorang guide tour berkebangsaan Singapura, Juny, orang Tionghoa yang mayoritas (76 %), India (16 %), dan 8 % orang asing, sudah terbiasa hidup dalam koridor saling menghargai, baik segi budaya, agama, maupun tatakrama bermasyarakat. Bukan hanya hari-hari besar Islam, untuk prosesi religi/adat etnis lainnya juga telah menyemarakkan Kampong Melayu selama bertahun-tahun lampau.
Tak heran giliran Ramadhan kali ini pun toko toko, kantor kantor, restoran, semua memarakkan Ramadhan, walau hanya sebuah partisipasi secara lahiriah seperti memasang umbul umbul, bunga bunga plastik besar di tiang tiang jalan, dan menggantung lampion di hampir sepanjang jalan jalan dan lorong Kampong Melayu. Bila siang Kampong Melayu meriah dengan kehidupan pasar, malam bermandikan cahaya lampu lampu hias dan remang aneka warna lampion bulat panjang menyerupai penutup sumbu kompor. Juga dalam rangka mengistimewakan Ramadhan, selama sebulan penuh, pemerintah mengizinkan “bergeliatnya” pedagang kaki lima di sepanjang trotoar pertokoan atau kantor kantor. Hanya saja pasar “kaget” ini mesti tertata dengan rapi dan bersih. Tidak ada yang merusak sistem yang sudah ada. Tetap tak menggangu pemandangan dan lalulintas.
Wajar, sebab Singapura yang hanya sekecil korek api dalam peta, nyatanya sarat dengan denda untuk setiap pelanggaran. Merokok di tempat umum seperti di halte bus bisa kena denda 1.000 dolar. Apalagi membuang sampah sembarang, ini lebih mahal dendanya. Siapa mau, daripada terserang “kantong kering” lebih baik patuh saja pada peraturan. Manakala berada di pusat perbelanjaan Tanjong Katong, “aroma” Lebaran makin terasa. Dari pembelanjanya saja sudah kentara. Tujuannya memang bukan untuk mejeng. Tapi ramai ramai mencari keperluan Lebaran. Kebanyakan keluarga keluarga muslim dengan ciri khas busana muslimah versi baju kurung atau stelan longgar lainnya tumpah ke toko-toko atau mall. Umumnya mereka menuju counter counter sepatu, sajadah/mukena, dan busana muslim. Di bagian pecah belah banyak juga yang mencari piranti meja tamu seperti stoples, asbak, dan kembang imitasi yang sangat mirip tampilan aslinya. Semantara kaula muda banyak berseliweran di stand perhiasan, misalnya bros dan gelang bermata diikat perak/emas 22 karat. Selebihnya perempuan-perempuan yang erkeperluan di stand kue kering. Geliat pasar bertambah nyata saat melongoki label label diskon yang ditulis besar besar dan warna warni, bergelantungan atau menempel di keranjang keranjang pakaian dewasa dan anak anak. Ini benar-benar menambah variasi pemandangan. Rupanya, masing masing pebisnis punya kreasi sendiri dalam menata etalasenya.
Sungguh perang diskon bukan saja ada di Tanah Air. Bahkan Lion City pun pesta diskonnya sudah menjalar ke daerah pertokoan elite, kendati persentasenya beda-beda. Di luar Tanjong Katong, di tenda tenda kaki lima juga ketularan. Gayanya “beda-beda tipis” sejalan dengan kondisi tempat. Kendati agak panas berkelilingan di tempat merakyat ini, tapi lebih seru dalam soal tawar menawar. Sudah pakai label diskon, toh masih bisa ditawar. Pedagangnya tetap tak “naik darah” walau pembeli menekan nekan harga barang dagangannya. Entahlah, apakah ini kiat bersaing dengan mall, atau memang di angka diskon itu tetap sudah punya laba. Atau sudah tabiat pedagang di Singapura? Juga entahlah. Kalau sepasang sepatu perempuan merk Komoz di mall berharga 23 dolar, di bawah tenda yang tak kalah berjejal pembeli, dibanting menjadi 18 dolar saja. Selisih duit yang 5 dolar sudah bisa untuk membeli 1 bra (kutang) kualitas standar atau 1 keset kaki, atau baju tidur berbahan bukan sutera, atau selop jepit dari kulit sintetis. Label label harga patokan yang dipasang bagi setiap kelompok barang kisarannya 1 36 dolar. Yang diburu kebanyakan sepatu/sandal dan pakaian. Rata rata stelan busana muslim ragam ortodok dihargakan 30 an dolar.
Serunya lagi, di Singapura termasuk Kampong Melayu, subur juga pasar “serbu” (serba sepuluh ribu)-nya. Tiga tas dihargakan 10 dolar, tiga bros bermata juga 10 dolar, atau tiga kacamata siang sama dengan 10 dolar. Untungnya, ketiga item bisa dipadukan. Satu tas, 1 bros, dan 1 kacamata tetap boleh diboyong dengan imbalan 10 dolar. Dalam nominal lain 3 set kaus kaki 5 dolar saja. Kaus kakinya? Wah bukan barang haw haw lah, tetap berkualitas. Di bebarapa jalan Kampung Melayu yang sering dijadikan ajang kongkow para pembantu Indonesia ini kala hari libur, sejak pukul 15.00 sudah dijaja makanan berbuka khas Melayu dan India. Sebut saja kari kambing, nasi briyani (daging sapi/udang/ayam), bilis kacang teri, mie goreng, bihun goreng, kue dadar, onde-onde, cendol, kue jongkong. Makanan termahal adalah briyani seharga 4 dolar/bungkus. Di tenda briyani pula barisan antri cukup panjang. Mereka berparas India, Arab, Melayu, dan Tionghoa. Konon kabarnya Nasi briyani yang terletak di antara Istana Husin Syah (Sultan Singapura) dan Masjid Sultan ini adalah yang terlaris. Pantas saja terdapat tiga drum nasi. Tapi beda dengan briyani di Aceh yang kuning bagai ketannya tepung tawar. Di Singapura briyani malah putih kekuningan dengan nasi yang bernas dan pulen yang siap memancing selera makan orang yang sedang berpuasa. Secara umum Kampong Melayu tak ubah seperti ragamnya kampung kita. Segi berpakaian masyarakatnya, tutur bahasa, tegur sapa, ketimurannya, spesial kesamaan makanannya. Hajat hidup yang mampu mengikat seseorang di suatu tempat. Bedanya, Kampong Melayu terlalu dini untuk sibuk mempersiapkan kedatangan Hari Raya Id. Lalu, yang lebih penting sebagai input bagi bisnis makanan kita adalah, mereka lebih apik dan lebih hygienics tampil di kaki lima, hingga bisa meminimalisir jatuhnya pamor pembeli papan menengah. Tak jelas apakah jalan-jalan Kampong Melayu bakal semarak juga dengan pawai takbiran, yang mampu membaurkan semua lapis manusia?
Nani.HS
22/10/2005 11:20 WIB
HARI raya Idul Fitri 1426 H masih 13 hari lagi. Itu artinya cukup banyak waktu untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi memeriahkan 1 Syawal. Kendati begitu, Kampong Melayu Singapura telah menyongsongnya sejak hari pertama Ramadhan.
Ini bukan tradisi baru dari negeri berluas 647 km bujur sangkar dan berpenduduk 4,2 juta jiwa ini. Budaya religi memarakkan Ramadhan, nyatanya sudah melestari sejak lama di kawasan yang diapit daerah China Town dan Orchard Road ini. Dan Singapurian (semua warga negara Singapura yakni tionghoa, India, dan orang asing berwarga negara Singapura) dengan senang hati turut menyambutnya. Karena menurut salah seorang guide tour berkebangsaan Singapura, Juny, orang Tionghoa yang mayoritas (76 %), India (16 %), dan 8 % orang asing, sudah terbiasa hidup dalam koridor saling menghargai, baik segi budaya, agama, maupun tatakrama bermasyarakat. Bukan hanya hari-hari besar Islam, untuk prosesi religi/adat etnis lainnya juga telah menyemarakkan Kampong Melayu selama bertahun-tahun lampau.
Tak heran giliran Ramadhan kali ini pun toko toko, kantor kantor, restoran, semua memarakkan Ramadhan, walau hanya sebuah partisipasi secara lahiriah seperti memasang umbul umbul, bunga bunga plastik besar di tiang tiang jalan, dan menggantung lampion di hampir sepanjang jalan jalan dan lorong Kampong Melayu. Bila siang Kampong Melayu meriah dengan kehidupan pasar, malam bermandikan cahaya lampu lampu hias dan remang aneka warna lampion bulat panjang menyerupai penutup sumbu kompor. Juga dalam rangka mengistimewakan Ramadhan, selama sebulan penuh, pemerintah mengizinkan “bergeliatnya” pedagang kaki lima di sepanjang trotoar pertokoan atau kantor kantor. Hanya saja pasar “kaget” ini mesti tertata dengan rapi dan bersih. Tidak ada yang merusak sistem yang sudah ada. Tetap tak menggangu pemandangan dan lalulintas.
Wajar, sebab Singapura yang hanya sekecil korek api dalam peta, nyatanya sarat dengan denda untuk setiap pelanggaran. Merokok di tempat umum seperti di halte bus bisa kena denda 1.000 dolar. Apalagi membuang sampah sembarang, ini lebih mahal dendanya. Siapa mau, daripada terserang “kantong kering” lebih baik patuh saja pada peraturan. Manakala berada di pusat perbelanjaan Tanjong Katong, “aroma” Lebaran makin terasa. Dari pembelanjanya saja sudah kentara. Tujuannya memang bukan untuk mejeng. Tapi ramai ramai mencari keperluan Lebaran. Kebanyakan keluarga keluarga muslim dengan ciri khas busana muslimah versi baju kurung atau stelan longgar lainnya tumpah ke toko-toko atau mall. Umumnya mereka menuju counter counter sepatu, sajadah/mukena, dan busana muslim. Di bagian pecah belah banyak juga yang mencari piranti meja tamu seperti stoples, asbak, dan kembang imitasi yang sangat mirip tampilan aslinya. Semantara kaula muda banyak berseliweran di stand perhiasan, misalnya bros dan gelang bermata diikat perak/emas 22 karat. Selebihnya perempuan-perempuan yang erkeperluan di stand kue kering. Geliat pasar bertambah nyata saat melongoki label label diskon yang ditulis besar besar dan warna warni, bergelantungan atau menempel di keranjang keranjang pakaian dewasa dan anak anak. Ini benar-benar menambah variasi pemandangan. Rupanya, masing masing pebisnis punya kreasi sendiri dalam menata etalasenya.
Sungguh perang diskon bukan saja ada di Tanah Air. Bahkan Lion City pun pesta diskonnya sudah menjalar ke daerah pertokoan elite, kendati persentasenya beda-beda. Di luar Tanjong Katong, di tenda tenda kaki lima juga ketularan. Gayanya “beda-beda tipis” sejalan dengan kondisi tempat. Kendati agak panas berkelilingan di tempat merakyat ini, tapi lebih seru dalam soal tawar menawar. Sudah pakai label diskon, toh masih bisa ditawar. Pedagangnya tetap tak “naik darah” walau pembeli menekan nekan harga barang dagangannya. Entahlah, apakah ini kiat bersaing dengan mall, atau memang di angka diskon itu tetap sudah punya laba. Atau sudah tabiat pedagang di Singapura? Juga entahlah. Kalau sepasang sepatu perempuan merk Komoz di mall berharga 23 dolar, di bawah tenda yang tak kalah berjejal pembeli, dibanting menjadi 18 dolar saja. Selisih duit yang 5 dolar sudah bisa untuk membeli 1 bra (kutang) kualitas standar atau 1 keset kaki, atau baju tidur berbahan bukan sutera, atau selop jepit dari kulit sintetis. Label label harga patokan yang dipasang bagi setiap kelompok barang kisarannya 1 36 dolar. Yang diburu kebanyakan sepatu/sandal dan pakaian. Rata rata stelan busana muslim ragam ortodok dihargakan 30 an dolar.
Serunya lagi, di Singapura termasuk Kampong Melayu, subur juga pasar “serbu” (serba sepuluh ribu)-nya. Tiga tas dihargakan 10 dolar, tiga bros bermata juga 10 dolar, atau tiga kacamata siang sama dengan 10 dolar. Untungnya, ketiga item bisa dipadukan. Satu tas, 1 bros, dan 1 kacamata tetap boleh diboyong dengan imbalan 10 dolar. Dalam nominal lain 3 set kaus kaki 5 dolar saja. Kaus kakinya? Wah bukan barang haw haw lah, tetap berkualitas. Di bebarapa jalan Kampung Melayu yang sering dijadikan ajang kongkow para pembantu Indonesia ini kala hari libur, sejak pukul 15.00 sudah dijaja makanan berbuka khas Melayu dan India. Sebut saja kari kambing, nasi briyani (daging sapi/udang/ayam), bilis kacang teri, mie goreng, bihun goreng, kue dadar, onde-onde, cendol, kue jongkong. Makanan termahal adalah briyani seharga 4 dolar/bungkus. Di tenda briyani pula barisan antri cukup panjang. Mereka berparas India, Arab, Melayu, dan Tionghoa. Konon kabarnya Nasi briyani yang terletak di antara Istana Husin Syah (Sultan Singapura) dan Masjid Sultan ini adalah yang terlaris. Pantas saja terdapat tiga drum nasi. Tapi beda dengan briyani di Aceh yang kuning bagai ketannya tepung tawar. Di Singapura briyani malah putih kekuningan dengan nasi yang bernas dan pulen yang siap memancing selera makan orang yang sedang berpuasa. Secara umum Kampong Melayu tak ubah seperti ragamnya kampung kita. Segi berpakaian masyarakatnya, tutur bahasa, tegur sapa, ketimurannya, spesial kesamaan makanannya. Hajat hidup yang mampu mengikat seseorang di suatu tempat. Bedanya, Kampong Melayu terlalu dini untuk sibuk mempersiapkan kedatangan Hari Raya Id. Lalu, yang lebih penting sebagai input bagi bisnis makanan kita adalah, mereka lebih apik dan lebih hygienics tampil di kaki lima, hingga bisa meminimalisir jatuhnya pamor pembeli papan menengah. Tak jelas apakah jalan-jalan Kampong Melayu bakal semarak juga dengan pawai takbiran, yang mampu membaurkan semua lapis manusia?
Nani.HS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar