Cerpen : Nani.HS
“Hebat sekali, satu keluarga sudah membenci saya! Bayangkan, istri sendiri sudah dua tahun tak peduli. Anak laki satu-satunya yang bisa dipercaya, sekarang menggubris pun tidak. Nampaknya kita sudah diguna-guna keluarga ibumu nak. Hebat betul gendang sebelah sana itu. Bukan main, terus menerus pengaruh ditiupnya, sampai-sampai ibumu, adik-adikmu tak menyukai saya lagi. Herannya anak kecil pun sama. Cucu-cucuku ikut-ikutan,” keluh ayahku sambil terisak begitu kami membuka pembicaraan.
Sebenarnya merasa bersalah juga aku. Sama sekali tak bermaksud bicara ke arah kegelisahannya itu lagi. Sebab kemarin, kemarin dulu, kemarinnya lagi aku juga mendengar uneg-uneg yang sama. Hari ini saja sudah dua kali aku dengar. Mending tadi pagi karena ke kantor aku bisa menghindar pembicaraan yang tak sedap dan berat sebelah itu. Namun malam-malam seperti ini rasa tak etis kalau aku tak menemaninya bicara. Kendati aku sangat lelah, tak tega rasanya buru-buru beranjak tidur. Biarlah, kapan lagi aku duduk di sampingnya, memijat lututnya yang mulai ngilu-ngilu? Atau kapan lagi aku menyuapnya? Bukankah kalau kubiarkan ayahku menyuap sendiri , sendoknya malah nyasar ke hidung atau nasi bertumpahan? Bukankah mata kanan ayah sama sekali tak berfungsi lagi? Bagaimana mungkin mengadalkan mata kiri yang hanya menghadirkan bayang benda baginya? Selama bersamaku biarlah dia makan disulang sendok. Toh di kampung dia kembali menyuap dengan tangannya sendiri. Bukankah seminggu lagi ayah kembali ke kampung halaman kami, nun hampir empat ratus kilometer dari rumahku. Siapa tahu inilah kali terakhir kami bertemu. Kalau bukan aku yang duluan pergi, maka ayahlah yang akan menghadap-Nya duluan.
“Cobak bayangkan! Itu Si Hafsah, sepupumu itu, berani-beraninya dia memarahi saya. Dia kan sudah saya anggap anak sendiri. Kamu ingat waktu dia kuliah? Tinggalnya kan di rumah kita. Sampai hati dia membentak saya, waktu saya katakan ibumu tak membolehkan lagi saya tidur di kamar kami. Apa dia jawab cobak. ‘Alah. sudah tua pun masih mau tidur sama istri! Manja!’ Lho, memangnya ayahmu ini mau ngapain? Saya sudah tanya sama ustad tetangga kita di kampung, Islam tak pernah melarang suami istri tidur sekamar biarpun sudah tua kok,” keluh ayahku lagi dengan suara yang tidak kecil, sebab pendengarannya memang sudah tak pas.
Aduh tak enak perasaanku. Lumayan membahana sih suara ayah, apalagi rumah kami yang terhitung dalam kampung, yang pada lepas magrib saja sudah sunyi.. Deg-degan aku jadinya. Cemas kalau terdengar tetangga yang memang gemar nguping. Kalau sudah begitu aku segera membuka topik lain. Aku pilih cerita masa kecilnya yang juga sudah pernah kudengar.
“Wah masa kecil ayah menyedihkan. Ayah tak kenal kakekmu. Ayah dipelihara nenek ayah. Nenekmu sih ada, tapi menikah lagi, setelah kakekmu meninggal. Tapi suaminya tak mengizinkan ayah tinggal dengan dia. Suatu kali ada hulu balang yang meminta ayah tinggal di rumahnya. Kerja ayah memang tak berat. Memandikan kuda, membersihkan halaman, dan kalau malam disuruh mengaji. Hulu balang suka dengan irama bacaan ayah. Tapi itu cuma tiga bulan saja. Suatu kali hulu balang pergi ke Hari Pekan. Ayah belum sempat sarapan ketika disuruh istrinya mencabut rumput di halaman. Mata hari sudah tinggi juga saat perut mulai keroncongan. Lama-kelamaan ayah pusing sekali. Barangkali ayah pingsan. Entah kapan Ayah sudah di tempat tidur. Samar-samar sempat ayah dengar hulu balang memarahi istrinya. ‘Kenapa disiruh kerja di terik matahari?’ begitu suara keras hulu balang yang ayah dengar. Walau dibela seperti itu, toh ayah sedih sekali waktu itu, ingat nenekmu, ingat almarhum kakekmu. Kenapa hidup ayah terus sedih?” Ayah mengakhiri kalimatnya, suara ayahku parau lagi, terisak lagi.
Lagi-lagi, aku merasa bersalah. Agaknya aku tak berhasil menoreh rasa gelinya atau sekadar senyumnya lewat obrolan kami. Aku terdiam dan terus memijat punggungnya yang katanya sedang berangin. “Yah, hari sudah malam. Sekarang ayah wudhuk lalu shalat Isya ya,” kataku akhirnya sembari memberikan radio kesayangannya, yang selama ini suka dikomplen suami dan anakku, karena setelan suaranya yang keras dan tak lazim di rumah kami.
Aku tetap menyelimuti ayah, menyediakan makanan kecil, plus sebotol air mineral, persis dekat bantal kepalanya. Seperti biasa pula aku mengikatkan haduk kecil di kepalanya, setelah seluruh kepala dibalur minyak kayu putih atau balsem pedas yang sejak dulu difanatikinya. Saat-saat begitu ayah selalu menolak kumanjakan. Tapi diam-dia aku sadar sekali, dia menikmatinya. Ayah bahkan tak tahu kapan aku beranjak dari menunggunya terlelap.
Tiga hari lalu orangtua kandungku itu nyenyak dalam remangnya kamar. Mulai kemarin malam tidak. Aku memang harus menutup pintu kamar tidurnya. Tak lain sebagai meredam brisik suara radio yang boleh jadi bakal disetel tengah malam untuk memantau siaran dari Arab sana. Bisa jadi distel lepas Subuh untuk mendengar siaran rohani radio lokal.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Bukan lantaran malas. Takut dia salah sangka pada setiap komentarku, itu saja. Diam-diam aku duduk di depan pintu kamarnya, sambil memenjamkan mata.
Memutar kembali rekaman masa kecilku. Yang katahu, ayah lelaki pendiam., tak pernah memukul anaknya, tak pernah bersuara keras, yang selalu membawakan oleh-oleh saban pulang dari manapun, yang paling marah kalau ada yang menggangguku selagi makan, yang tak pernah membeda-bedakan anak-anaknya, yang selalu
mengalah bila ibuku ngomel. Ayahku yang sederhana. Ayahku yang tak pernah menjadi berada kendati lima belas tahun duduk di biro perlengkapan instansi pajak. Ayahku yang penyabar, yang pernah menjadi imam meunasah.
Tiba-tiba rasa nyaman menggayutiku, manakala membayangkan berada di pangkuan ayah sembari mendengar dia mengaji atau cerita masa penjajahan Jepang. Aku juga terkenang-kenang tatkala kepalaku yang pusing dipijatnya sambil membacakan surah-surah pendek lalu aku tertidur. Ah, indahnya dibonceng bersepeda pergi berhari raya berkilo-kilo meter jauhnya. Pun girangnya aku waktu dibelikan balon panjang yang dipilin seperti rambut dikepang, gula tarik, es lilin. Atau gula-gula merah menyala berbentuk burung, ada juga kembang gula yang di Aceh waktu itu dikenal dengan sutra manis. Iya, aku masih ingat pita merah jambu, rok kembang, dan selop lili biru donker hadiah ayahku waktu tugas ke Medan, Sumatera Utara.
Airmataku menitik. Sekarang dimana ayahku? Yang dikamar itukah? Yang telah renta? Yang tak sanggup kumanjakan dengan materikah?
Pipiku basah. Aku bangkit dari depan kamar. Samar-samar ada dengkur ayah. Aku pun menumpahkan semua rasa di sajadah. Hanya itu yang kubisa, bagi diriku, bagi ayahku.
(Banda Aceh, Medio September 2005)
“Hebat sekali, satu keluarga sudah membenci saya! Bayangkan, istri sendiri sudah dua tahun tak peduli. Anak laki satu-satunya yang bisa dipercaya, sekarang menggubris pun tidak. Nampaknya kita sudah diguna-guna keluarga ibumu nak. Hebat betul gendang sebelah sana itu. Bukan main, terus menerus pengaruh ditiupnya, sampai-sampai ibumu, adik-adikmu tak menyukai saya lagi. Herannya anak kecil pun sama. Cucu-cucuku ikut-ikutan,” keluh ayahku sambil terisak begitu kami membuka pembicaraan.
Sebenarnya merasa bersalah juga aku. Sama sekali tak bermaksud bicara ke arah kegelisahannya itu lagi. Sebab kemarin, kemarin dulu, kemarinnya lagi aku juga mendengar uneg-uneg yang sama. Hari ini saja sudah dua kali aku dengar. Mending tadi pagi karena ke kantor aku bisa menghindar pembicaraan yang tak sedap dan berat sebelah itu. Namun malam-malam seperti ini rasa tak etis kalau aku tak menemaninya bicara. Kendati aku sangat lelah, tak tega rasanya buru-buru beranjak tidur. Biarlah, kapan lagi aku duduk di sampingnya, memijat lututnya yang mulai ngilu-ngilu? Atau kapan lagi aku menyuapnya? Bukankah kalau kubiarkan ayahku menyuap sendiri , sendoknya malah nyasar ke hidung atau nasi bertumpahan? Bukankah mata kanan ayah sama sekali tak berfungsi lagi? Bagaimana mungkin mengadalkan mata kiri yang hanya menghadirkan bayang benda baginya? Selama bersamaku biarlah dia makan disulang sendok. Toh di kampung dia kembali menyuap dengan tangannya sendiri. Bukankah seminggu lagi ayah kembali ke kampung halaman kami, nun hampir empat ratus kilometer dari rumahku. Siapa tahu inilah kali terakhir kami bertemu. Kalau bukan aku yang duluan pergi, maka ayahlah yang akan menghadap-Nya duluan.
“Cobak bayangkan! Itu Si Hafsah, sepupumu itu, berani-beraninya dia memarahi saya. Dia kan sudah saya anggap anak sendiri. Kamu ingat waktu dia kuliah? Tinggalnya kan di rumah kita. Sampai hati dia membentak saya, waktu saya katakan ibumu tak membolehkan lagi saya tidur di kamar kami. Apa dia jawab cobak. ‘Alah. sudah tua pun masih mau tidur sama istri! Manja!’ Lho, memangnya ayahmu ini mau ngapain? Saya sudah tanya sama ustad tetangga kita di kampung, Islam tak pernah melarang suami istri tidur sekamar biarpun sudah tua kok,” keluh ayahku lagi dengan suara yang tidak kecil, sebab pendengarannya memang sudah tak pas.
Aduh tak enak perasaanku. Lumayan membahana sih suara ayah, apalagi rumah kami yang terhitung dalam kampung, yang pada lepas magrib saja sudah sunyi.. Deg-degan aku jadinya. Cemas kalau terdengar tetangga yang memang gemar nguping. Kalau sudah begitu aku segera membuka topik lain. Aku pilih cerita masa kecilnya yang juga sudah pernah kudengar.
“Wah masa kecil ayah menyedihkan. Ayah tak kenal kakekmu. Ayah dipelihara nenek ayah. Nenekmu sih ada, tapi menikah lagi, setelah kakekmu meninggal. Tapi suaminya tak mengizinkan ayah tinggal dengan dia. Suatu kali ada hulu balang yang meminta ayah tinggal di rumahnya. Kerja ayah memang tak berat. Memandikan kuda, membersihkan halaman, dan kalau malam disuruh mengaji. Hulu balang suka dengan irama bacaan ayah. Tapi itu cuma tiga bulan saja. Suatu kali hulu balang pergi ke Hari Pekan. Ayah belum sempat sarapan ketika disuruh istrinya mencabut rumput di halaman. Mata hari sudah tinggi juga saat perut mulai keroncongan. Lama-kelamaan ayah pusing sekali. Barangkali ayah pingsan. Entah kapan Ayah sudah di tempat tidur. Samar-samar sempat ayah dengar hulu balang memarahi istrinya. ‘Kenapa disiruh kerja di terik matahari?’ begitu suara keras hulu balang yang ayah dengar. Walau dibela seperti itu, toh ayah sedih sekali waktu itu, ingat nenekmu, ingat almarhum kakekmu. Kenapa hidup ayah terus sedih?” Ayah mengakhiri kalimatnya, suara ayahku parau lagi, terisak lagi.
Lagi-lagi, aku merasa bersalah. Agaknya aku tak berhasil menoreh rasa gelinya atau sekadar senyumnya lewat obrolan kami. Aku terdiam dan terus memijat punggungnya yang katanya sedang berangin. “Yah, hari sudah malam. Sekarang ayah wudhuk lalu shalat Isya ya,” kataku akhirnya sembari memberikan radio kesayangannya, yang selama ini suka dikomplen suami dan anakku, karena setelan suaranya yang keras dan tak lazim di rumah kami.
Aku tetap menyelimuti ayah, menyediakan makanan kecil, plus sebotol air mineral, persis dekat bantal kepalanya. Seperti biasa pula aku mengikatkan haduk kecil di kepalanya, setelah seluruh kepala dibalur minyak kayu putih atau balsem pedas yang sejak dulu difanatikinya. Saat-saat begitu ayah selalu menolak kumanjakan. Tapi diam-dia aku sadar sekali, dia menikmatinya. Ayah bahkan tak tahu kapan aku beranjak dari menunggunya terlelap.
Tiga hari lalu orangtua kandungku itu nyenyak dalam remangnya kamar. Mulai kemarin malam tidak. Aku memang harus menutup pintu kamar tidurnya. Tak lain sebagai meredam brisik suara radio yang boleh jadi bakal disetel tengah malam untuk memantau siaran dari Arab sana. Bisa jadi distel lepas Subuh untuk mendengar siaran rohani radio lokal.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Bukan lantaran malas. Takut dia salah sangka pada setiap komentarku, itu saja. Diam-diam aku duduk di depan pintu kamarnya, sambil memenjamkan mata.
Memutar kembali rekaman masa kecilku. Yang katahu, ayah lelaki pendiam., tak pernah memukul anaknya, tak pernah bersuara keras, yang selalu membawakan oleh-oleh saban pulang dari manapun, yang paling marah kalau ada yang menggangguku selagi makan, yang tak pernah membeda-bedakan anak-anaknya, yang selalu
mengalah bila ibuku ngomel. Ayahku yang sederhana. Ayahku yang tak pernah menjadi berada kendati lima belas tahun duduk di biro perlengkapan instansi pajak. Ayahku yang penyabar, yang pernah menjadi imam meunasah.
Tiba-tiba rasa nyaman menggayutiku, manakala membayangkan berada di pangkuan ayah sembari mendengar dia mengaji atau cerita masa penjajahan Jepang. Aku juga terkenang-kenang tatkala kepalaku yang pusing dipijatnya sambil membacakan surah-surah pendek lalu aku tertidur. Ah, indahnya dibonceng bersepeda pergi berhari raya berkilo-kilo meter jauhnya. Pun girangnya aku waktu dibelikan balon panjang yang dipilin seperti rambut dikepang, gula tarik, es lilin. Atau gula-gula merah menyala berbentuk burung, ada juga kembang gula yang di Aceh waktu itu dikenal dengan sutra manis. Iya, aku masih ingat pita merah jambu, rok kembang, dan selop lili biru donker hadiah ayahku waktu tugas ke Medan, Sumatera Utara.
Airmataku menitik. Sekarang dimana ayahku? Yang dikamar itukah? Yang telah renta? Yang tak sanggup kumanjakan dengan materikah?
Pipiku basah. Aku bangkit dari depan kamar. Samar-samar ada dengkur ayah. Aku pun menumpahkan semua rasa di sajadah. Hanya itu yang kubisa, bagi diriku, bagi ayahku.
(Banda Aceh, Medio September 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar