02/01/09

KIOS LORONG SEULANGA ITU BERDENYUT LAGI

Posted on Januari 1, 2009
Tabloid Seumangat :

Sebelum tsunami, kios Alfian Ismail yang dibangun pada tahun 2002, sudah punya penghasilan kotor lebih kurang Rp600.000/hari. Namun garasi yang disulap menjadi kios usaha di Komplek BTN Ajun Lr Seulanga No 243, Kecamatan Jaya Baro, Banda Aceh, akhirnya diamuk tsunami 2004. Yang tinggal hanya sebagian bangunan bagian belakang rumah. Kios ukuran sekira 3 x 4 meter itu “mati suri” hampir setahun lebih. Tentu saja karena terhambat faktor biaya.

Jangankan untuk membangun kembali kios yang lenyap beserta isinya yang berbilang jutaan rupiah, keluarga Alfian awalnya harus fokus dulu pada pembenahan kembali tempat tinggalnya. Dengan modal dari BRR NAD-Nias sebesar Rp15 juta, rumah Alfian yang tanpa bagian depan lagi, kembali dibangun.

Bersamaan dengan itu Alfian dibantu juga oleh NGO IRD sebesar Rp3 juta. Lalu pihak PMI memberinya Rp10 juta, dalam empat tahap. Inilah yang membuat kios sembako Alfian nan mungil dan sederhana, berdenyutlah lagi kegiatan ekonominya.

Bagi orang yang tak handal memenej rupiah, uang Rp13 juta sebenarnya bisa menguap begitu saja. Tak bisa disinambungkan menjadi lahan pencaharian. Tapi bagi Alfian dan istrinya, Yuswita (45), uang sebesar itu sangat penting artinya. Kios adalah “nyawa” bagi pemenuhan kebutuhan keluarga mantan karyawan PT SAI itu. Bukan semata sebagai mengisi waktu luang mengiringi hari tua. “Yang paling penting bagaimana menamatkan kuliah anak, memenuhi biaya tak terduga misalnya sakit, dan untuk makan sehari-harilah,” ungkap Yuswati.

Semangat itu ternyata sedikit demi sedikit juga makin membuat kios Alfian tampak bersemangat kembali. Mulai padat dengan berbagai kebutuhan sehari-hari. Kalau sebelum tsunami mereka sudah punya sepuluh tabung gas, kini menjadi dua kali lipat. Memang pendapatan bruto sekarang tak singnifikan dibanding dulu. Menurut Alfian, pertama lantaran seperempat dari penduduk BTN Ajun sudah berkurang. Kedua karena di kawasan itu sudah bertumbuhan kios-kios baru.

Bagaimana Alfian mempertahankan eksistensinya? Tentu saja dengan bersaing. Tapi Alfian-Yuswati sepakat, bersaing secara halal atau sehat. “Saya paling tidak mau menjual apa yang dijual orang lain. Misalnya kalau saya sudah membuka kios sembako, kenapa saya harus menjual sayuran lagi. Di komplek sini sudah ada kok yang jual sayuran. Tidak baik bersaing seperti itu kan. Lagi pula saya sudah tua, tak sanggup rasanya setiap pagi harus belanja sayur,” kata Alfian yang kini memasuki usia 59 tahun itu.

Baginya meneruskan perjalanan kiosnya yang pernah punah, sudah merupakan berkah Allah.

“Memang kios ini sudah menghasilkanlah. Kami juga sempat nambah-nambah untuk rehab rumah, ada sedikit tabungan untuk jaga-jaga kalau sakit. Tapi saya pikir, kiosnya harus lebih lengkaplah barang-barangnya. Ada yang minta pempers untuk bayi, kami belum punya itu. Jadi barang yang juga kebutuhan hari-hari seperti itu maunya harus ada di kios kami,” ungkap sang istri.

Yuswita juga punya target untuk memiliki angkutan bagi pesanan gas di komplek. Tak muluk-muluk garus punya mobil, pengganti angkutan vespa mereka. Tapi kalau mereka punya rezeki, ingin memiliki alat transportasi semacam beca dayung tapi bermesin. Ini akan menghemat waktu dan tenaga, sekaligus BBM, bila harus bolak balik mengantar gas kepada pelanggannya. Tidak mengantar satu-satu seperti sekarang ini.

Masalahnya, mengantar langsung kepada pembeli adalah “kewajiban” bagi Alfian. Ini salah satu servis bagi pelanggannya sejak dulu. Menurut Afian “memanjakan” pelanggan seperti ini, termasuk kiat berjualan. Selalu mengecek barang juga penting, supaya pelanggan tak kecewa. Jangan tunggu barang benar-benar habis baru memasok yang baru. Mencari barang yang lebih murah juga dilakukan Alfian. Misalnya lebih memilih datang ke Sabang untuk mendapat gula dengan harga miring, kendati hanya mendapatkan setengah karung.

Di antara kebutuhan hari-hari di kios Alfian, mata dagangnya belum dilengkapi dengan air minum gallon. Maklum, belasan gallonnya sudah hanyut dalam tsunami. Lalgi-lagi perlu modal. Namun ia masih tetap berusaha untuk bisa menjual air minum gallonan tersebut.

Kalau Yuswati, sangat ingin memperbesar kiosnya dan lebih menganekaragamkan isinya. Namun ia belum memikirkan untuk berjualan mata dagang lain, selain berfokus pada sembako dan kebutuhan sehari-hari. Jualan kebutuhan sandang? Yuswati hanya menggeleng, sembari tersenyum, seolah tak mau mempertaruhakan modal di jenis usaha yang tidak pernah ditekuninya itu. Baik Alfian maupun Yuswati yang hanya punya pengetahuan dagang secara otodidak itu, sepakat hanya ingin berkutat di dagang sembako saja.

(nonlis dcp)



Tidak ada komentar: