Tabloid Seumangat :
Mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada dayah, sudah menjadi tekad profesinya sebagai pendidik di Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulumul Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya (Mesra) atau di TK dan SD Islam Terpadu di lingkup Sekolah Tinggi Agama Islam Al-“Aziziyah, Samalanga, Bireuen. Bagai sebuah angka mati, itulah hasrat yang paling bergejolak di batin Siti Zalikha H. Ibrahim.
Menurut Siti, ketidakpercayaan masyarakat akan mutu dayah, sudah demikan parahnya. Sampai-sampai ada orangtua yang anaknya pintar, enggan memasukkannya ke dayah atau pesantren. Pesantren tak ubah tempat buangan anak yang rendah kemampuannya.
“Kita ingin memperlihatkan, memberitahu, bahwa santri itu juga punya kemampuan, sama seperti anak di sekolah-sekolah lain. Contoh kecil, bagaimana caranya kita bisa mengubah imej masyarakat, bahwa dayah atau pesantren tidak disiplin. Kita berlakukan peraturan. Kalau libur tidak ada lagi istilah memperpanjang libur. Tidak ada istilah bolos. Tidak ada istilah tidak ada guru tidak belajar. Kita harus membentuk intelektual anak memalui peraturan-peraturan,” ungkap Siti dalam bincang dengan Seumangat.
Siti yang pernah studi banding ke Pesantren Al-Hamidiyah Depok, Jakarta, lalu melihat, mempelajari, dan berusaha menyusun rencana pembaharuan di dayahnya. Beruntungnya, ide Siti sebenarnya sudah pernah dipikirkan pimpinan MUDI Mesra, Tgk Hasanul Basri HG. Dari “program” membedaya kan dayah untuk memberi rahmat kepada lingkungan ini, lahirlah, TK dan SD Islam Terpadu di lingkup Sekolah Tinggi Agama Islam Al-“Aziziyah. Di TK, Siti kepala sekolahnya, di SD Siti wakil kepala sekolahnya.
Memang tidak mudah bagi Siti untuk mewujudkan keinginannya itu. Awalnya Siti pernah mendapat “cemoohan” dari kalangan pesantren sendiri. Artinya bagaimana dia sebagai orang baru di pesantren tapi beraninya membuat gebrakan.
Tapi deraan perasaan seperti itulah yang makin membakar semangat Siti untuk berbuat, sampai akhirnya kesan itu lambat laun sirna dan ide Caleg DPR RI dari Partai Demokrat ini bisa diterima. “Memang saya pernah apatis. Tapi yang penting niat, semangat. Jangan patah semangat sebelum berhasil,” papar Siti.
Kenapa pula Siti masuk jalur Caleg? “Satu komitmen saya. Karena saya inginmengembalikan kepercayaa masyarakat kepada dayah, maka perlu membuat jaringan-jaringan supaya MUDI Mesra go international. Setidaknya dikenal di Jakarta.”
Agaknya Siti memilih jalan dakwah yang tidak hanya di lingkup MUDI Mesra Tapi juga melalui Caleg, dan tulisan.
Sosok yang berprinsip bahwa dakwah tak hanya lewat mimbar ini, bahkan telah punya dua buku yang ditulis bersama santriwati lain. Wanita & Islam, dan Menuju Syariat Islam Kaffah, terbitan Lapena, didukung BRR NAD Nias.
Menurutnya, dakwah dengan tulisan punya kenikmatan tersendiri dan bersifat lebih sempurna dengan penyampaian pesan secara lebih luas, serta terdokumentasi menjadi sejarah yang tercatat.
Banyak hal yang “menari-nari” di kepala Siti. Tentang rindu melihat anak Aceh dua puluh tahun ke depan. Yang menuntut pengorbanan dan penjuangan panjang dari kita sekarang. Kalau tidak dua puluh tahun ke depan akan tetap menjadi seperti sekarang. Tapi Siti percaya, perempuan Aceh sudah tercerahkan, dan bisa menyelaraskan kepribadian dengan syariat Islam yang sedang bergulir, walau tetap tergantung pribadi dan kemauan perempuan Aceh. “Perempuan Aceh harus punya kesadaran untuk memberikan dasar-dasar agama kepada anak-anaknya,” kata Siti dalam komunikasi yang lancar bersahaja. Maklum dia hampir delapan tahun berkiprah di dayah. Selama itu pula dia bergelimang dengan berbagai jenis bacaan agama, diskusi, bahkan pada masa letting-nya kuliah, Siti pernah menjadi satu-satunya mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam Al-‘Aziziyah, Fakultas Syariah, Jurusan Ahwal Asy-syakhsiah, dimana Siti dikenal sebagai mahasiswi yang sering bertanya dan diskusi. Tak heran Siti berbakat orator.
(nonlis dcp)
Mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada dayah, sudah menjadi tekad profesinya sebagai pendidik di Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulumul Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya (Mesra) atau di TK dan SD Islam Terpadu di lingkup Sekolah Tinggi Agama Islam Al-“Aziziyah, Samalanga, Bireuen. Bagai sebuah angka mati, itulah hasrat yang paling bergejolak di batin Siti Zalikha H. Ibrahim.
Menurut Siti, ketidakpercayaan masyarakat akan mutu dayah, sudah demikan parahnya. Sampai-sampai ada orangtua yang anaknya pintar, enggan memasukkannya ke dayah atau pesantren. Pesantren tak ubah tempat buangan anak yang rendah kemampuannya.
“Kita ingin memperlihatkan, memberitahu, bahwa santri itu juga punya kemampuan, sama seperti anak di sekolah-sekolah lain. Contoh kecil, bagaimana caranya kita bisa mengubah imej masyarakat, bahwa dayah atau pesantren tidak disiplin. Kita berlakukan peraturan. Kalau libur tidak ada lagi istilah memperpanjang libur. Tidak ada istilah bolos. Tidak ada istilah tidak ada guru tidak belajar. Kita harus membentuk intelektual anak memalui peraturan-peraturan,” ungkap Siti dalam bincang dengan Seumangat.
Siti yang pernah studi banding ke Pesantren Al-Hamidiyah Depok, Jakarta, lalu melihat, mempelajari, dan berusaha menyusun rencana pembaharuan di dayahnya. Beruntungnya, ide Siti sebenarnya sudah pernah dipikirkan pimpinan MUDI Mesra, Tgk Hasanul Basri HG. Dari “program” membedaya kan dayah untuk memberi rahmat kepada lingkungan ini, lahirlah, TK dan SD Islam Terpadu di lingkup Sekolah Tinggi Agama Islam Al-“Aziziyah. Di TK, Siti kepala sekolahnya, di SD Siti wakil kepala sekolahnya.
Memang tidak mudah bagi Siti untuk mewujudkan keinginannya itu. Awalnya Siti pernah mendapat “cemoohan” dari kalangan pesantren sendiri. Artinya bagaimana dia sebagai orang baru di pesantren tapi beraninya membuat gebrakan.
Tapi deraan perasaan seperti itulah yang makin membakar semangat Siti untuk berbuat, sampai akhirnya kesan itu lambat laun sirna dan ide Caleg DPR RI dari Partai Demokrat ini bisa diterima. “Memang saya pernah apatis. Tapi yang penting niat, semangat. Jangan patah semangat sebelum berhasil,” papar Siti.
Kenapa pula Siti masuk jalur Caleg? “Satu komitmen saya. Karena saya inginmengembalikan kepercayaa masyarakat kepada dayah, maka perlu membuat jaringan-jaringan supaya MUDI Mesra go international. Setidaknya dikenal di Jakarta.”
Agaknya Siti memilih jalan dakwah yang tidak hanya di lingkup MUDI Mesra Tapi juga melalui Caleg, dan tulisan.
Sosok yang berprinsip bahwa dakwah tak hanya lewat mimbar ini, bahkan telah punya dua buku yang ditulis bersama santriwati lain. Wanita & Islam, dan Menuju Syariat Islam Kaffah, terbitan Lapena, didukung BRR NAD Nias.
Menurutnya, dakwah dengan tulisan punya kenikmatan tersendiri dan bersifat lebih sempurna dengan penyampaian pesan secara lebih luas, serta terdokumentasi menjadi sejarah yang tercatat.
Banyak hal yang “menari-nari” di kepala Siti. Tentang rindu melihat anak Aceh dua puluh tahun ke depan. Yang menuntut pengorbanan dan penjuangan panjang dari kita sekarang. Kalau tidak dua puluh tahun ke depan akan tetap menjadi seperti sekarang. Tapi Siti percaya, perempuan Aceh sudah tercerahkan, dan bisa menyelaraskan kepribadian dengan syariat Islam yang sedang bergulir, walau tetap tergantung pribadi dan kemauan perempuan Aceh. “Perempuan Aceh harus punya kesadaran untuk memberikan dasar-dasar agama kepada anak-anaknya,” kata Siti dalam komunikasi yang lancar bersahaja. Maklum dia hampir delapan tahun berkiprah di dayah. Selama itu pula dia bergelimang dengan berbagai jenis bacaan agama, diskusi, bahkan pada masa letting-nya kuliah, Siti pernah menjadi satu-satunya mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam Al-‘Aziziyah, Fakultas Syariah, Jurusan Ahwal Asy-syakhsiah, dimana Siti dikenal sebagai mahasiswi yang sering bertanya dan diskusi. Tak heran Siti berbakat orator.
(nonlis dcp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar