31/03/09

FAUZIAH : YANG BANGKIT BERSAMA IKAN KAYU CAP KAPAL TSUNAMI

Tabloid Seumangat / Ed, 11

Sebagai seorang janda ditinggal mati suami, dan harus membesarkan lima anak, tentu tidak mudah. Itulah yang dihadapi Fauziah (45) di awal-awal pascatsunami. Setahun ia menumpang di rumah orangtua, karena rumahnya sendiri hilang bersama tsunami. Setahun ia morat-marit soal ekonom, sementara harus menyekolahkan para buah hati.

Adalah BRR NAD-Nias dan Disperindag Aceh, yang telah membuka jalan hidup Fauziah (45), yang kini sudah bisa menguliahkan anaknya IAIN Ar-Raniry, Universitas Serambi Mekah, dan MTsN. Dia yang tadinya hanya ibu rumah tangga tak tahu berbuat apa dan memulainya dari mana, sekarang punya usaha yang tergolong sebuah industri rumah tangga, yang telah menampung sepuluh tenaga kerja.

Suatu hari di bulan Oktober 2006, Fauziah mengikuti pelatihan pembuatankeumamah (ikan kayu) yang diselenggarakan BRR bekerjasama dengan Deperindag. Pascapelatihan, memang tak seorangpun yang menindaklanjuti pengetahuan dari pelatihan itu. Namun Fauziah berpikir, dia tak boleh menyia-nyiakan pengalaman berharga tersebut. Sebulan kemudian, Fauziah nekad “bertarung” untuk memenangkan kesempatan memperbaiki penghidupannya, yang telah diporak-poranda tsunami.

Dengan modal 500 ribu, Fauziah mulai membeli ikan untuk dijadikankeumamah, dengan tak lupa mengajak perempuan-perempuan tetangga. Waktu itu Fauziah telah memiliki kompor, wajan, dan kukusan bantuan BRR. Pihak Oxfam memberi kemudahan kredit bergulir sebesar Rp 66 juta (Rp 2,5 juta per orang, tahap pertama).

Begitulah, tangan-tangan terampil para ibu tetangga telah membantu Fauziah, menyiapkan ikan tuna/tongkol hingga akhirnya dirajang memanjang sekira kelingking kanak-kanak sebelum dijual. Tak hanya kompor, wajan, dan dandang, BRR pun pernah membantu Fauziah soal pengepakan. BRR mendisain kemasan melalui Klinik Kemasan dan Merek, dan Fauziah mendapat 2.500 kotak kemasannya sederhana, tapi apik. Kemasan Keumamah itu diberi nama Ikan Kayu Cap Kapal Tsunami.

Kenapa Cap Kapal Tsunami? Ceritanya, sewaktu ombak (tsunami) kedua datang, Fauziah sembari menggendong anak bungsunya yang berusia limabulan, menyelamatkan diri di atas sebuah kapal, yang sampai kini bangkai kapalnya masih bercokol di atas sebuah rumah, di daerah Lampulo Kecamatan Kuta Alam.

Dua tahun terakhir, Ikan Kayu Cap Kapal Tsunami mulai dikenal luas. Setidaknya tujuh toko pangan terkenal di Banda Aceh, Bandara Sultan Iskandar Muda, hingga beberapa toko di Sabang, sudah ikut memasarkan ikan kayu buatan Fauziah, bahkan

sampai ke Pulau Jawa. Ada juga konsumen yang datang langsung ke rumahnya di Jalan Kenari I, Dusun TT Pulo Lampulo Lr I, Banda Aceh. Beruntungnya lagi, sudah aada pedagang dari Thailand yang menjajaki pemasaran Ikan Kayu Cap Kapal Tsunami ke negeri Gajah Putih itu.

Fauziah yang pro aktif, selalu berusaha ikut pameran. Belum lama ini dalam sebuah pameran di Banda Aceh, Presiden SBY pun sempat melihat produk usaha Fauziah. Tak ketinggalan ikut pameran di Penang Fair. Pada musim haji baru lalu, keumamah Fauziah pun ikut ke Tanah Suci, lewat bekal yang dibawa sejumlah jamaah.

Walau omzet Fauziah rata-rata tak sampai Rp 4 juta rupiah saja perbulan, namun Fauziah mengaku hampir tak bisa memenuhi pesanan yang datang. Fauziah pun masih terganjal menyediakan kemasan seperti bantuan BRR. Selama ini Fauziah hanya mengandalkan kemasan palastik biasa, Rp 12 ribu per 100 gram (Yang dikemas kotak Rp 15 ribu per 100 gram). Itu sebabnya Fauziah berniat hendak meminjam kredit untuk memngambangkan usahanya.

Dia sangat bersukur, dua tahun ini telah bisa memperkerjakan sepuluh karyawan dengan upah merajang keumamah Rp 500/dua kilo gram, lalu bisa merenovasi rumahnya (bantuan CARE, Tipe 45) dengan “menyulap” teras rumah menjadi ruang tamu, membeli sepeda motor, dan menguliahkan dua anak.

Diam-diam, Fauziah juga punya usaha sewa pakaian pengantin. Fauziah pun mengisi waktunya dengan membuka koperasi bagi perempuan yang dinamai KSM Tuna. Walau koperasi ini bukan kelompok, tapi atas nama atas nama pribadi dan beranggotakan 50 orang.

Kendati Fauziah telah bisa “bernapas lega” kini, namun tetap ada saat-saat kurang bagus baginya. Bila musim gelombang tinggi dan angin kencang datang, Fauziah hanya sanggup membeli 40-50 kilo gram ikan(normalnya100-150 kilo gram). Sebab saat seperti itu ikan sangat mahal. Namun prinsip Fauziah, produksi harus tetap jalan, supaya tak putus dengan pelanggan. Selebihnya, Fauziah sedang mengumpulkan rupiah untuk memasok kemasan seperti bantuan BRR. Menurut Fauziah, pesanan 3000 kotak sama dengan Rp 5 juta, mahal juga untuk pengusaha sekelas dia.

(nonlis dcp)



Tidak ada komentar: