08/04/09

TEMUAN PSG UNSYIAH : LELAKI MENDOMINASI KEBIJAKAN HINGGA PENERIMA MANFAAT

Tabloid Seumangat / 7 April 2009

Ketua Pusat Studi Gender (PSG) Unsyiah, Sri Walny Rahayu SH, MH, mengatakan, pertanian di Nanggroe Aceh Darussalam, khususnya penanaman padi, didominasi oleh perempuan. Sektor ini menjadi penting bagi pengembangan kesetaraan dan pengarusutamaan gender (PUG).

Menurutnya, di pedesaan NAD, lebih dari 49% janda sebagai kepala keluarga, karena perceraian, konflik, bencana alam. Perempuan dan janda sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah di bidang pertanian untuk membiayai hidup keluarganya, memerlukan akses, keselarasan, dan kesetaraan untuk sumber-sumber pendukung lainnya (material, tanah, air, danamicrofinance).

Untuk mengetahui terjadi kesenjangan gender (gender gap), baru-baru iniPSG Unsyiah melakukan pelatihan dan studi analisis PUG pada Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan, serta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.

”Teknik analisis yang digunakan adalah, gender analyses pathway, dengan mengevaluasi kebijakan/program melalui indikator akses, peran, kontrol, dan manfaat antara perempuan dengan laki-laki secara seimbang. Gender Gap terjadi dalam berbagai aspek di 5 Satuan Kerja Pemerintahan Aceh (SKPA). Hasilnya, Laki-laki mendominasi penyusunan kebijakan/program sampai kepada penerima manfaat. Secara keseluruhan aspek kontrol laki-laki berada pada posisi paling tinggi di antara aspek lainnya. Implikasi terhadap isu gender, meskipun perempuan secara kuantitatif lebih besar aksesnya, belum tentu memiliki kontrol dan sebagai penerima manfaat yang berimbang dengan laki-laki.”

Contoh kasus yang disebutkan Sri Walny misalnya, perbandingan jumlah pelatihan yang diikuti pegawai laki-laki dan perempuan pada seluruh SKPA, ada laki-laki 72 % mengikuti pelatihan, sedangkan perempuan 28 %. Lalu perbandingan jumlah pegawai laki-laki dengan perempuan berdasarkan golongan pada seluruh SKPA juga mencolok. Golongan I (laki-laki 24 orang, perempuan 1 orang), Golongan II (laki-laki 177, perempuan 86), Golongan III (laki-laki 371, perempuan 209), Golongan IV (laki-laki 70 orang, perempuan 15 orang). Sama halnya dengan perbandingan tingkat keterlibatan laki-laki dengan perempuan dalam keseluruhan program/kebijakan pada 5 SKPA terkait pertanian, perempuan lebih kecilaksesnya. Begitu juga terkait peran, kontrol, dan manfaat. Laki-lakilah yang lebih tinggi.

”Kondisi inilah yang disebut diskriminasi yang tersistem dan menjadi isu sentral yang harus dieleminir dalam program PUG. Sehingga dari keterlibatan sebagai perencanaan kebijakan sampai beneficiries akhir (perempuan petani) selalu termarjinalkan,” ungkap Sri Walny.

Dia menambahkan, dalam praktiknya, isu gender dan PUG dianggap bukan hal penting. Sehingga ditemukan sikap pesimis dan resistensi. Di sisi lain, gender diasumsikan domainnya perempuan dan identik dengan jenis kelamin perempuan. Bahkan ada yang memaknai konsep gender sebagai sebuah aliran yang mempertentangkan antara laki-laki dengan perempuan. Penolakan terhadap konsep gender karena dianggap mendobrak nilai-nilai dan tananan yang diyakini sudah mengkristal.

Sri Walny dan jajarannya mengharapkan, hasil studi analisis ini menjadi bahan referensi, dapat digunakan sebagai tolok ukur/indikator strategiaffirmative action, yang mempengaruhi dukungan politik di lembaga utama terkait sektor pertanian (eksekutif, legislatif, yudikatif), dan kultural sosial kemasyarakatan. Begitupun hasil studi PSG Unsyiah, dapat menjadi panduan memajukan penguatan SDM tentang gender, pengarustamaan gender, dan anggaran responsif gender, pada setiap SKPA terkait sektor pertanian.

(nonlis dcp)



Tidak ada komentar: