23/03/09

KETIKA BANG JONI JADI "WARTAWAN"


Serambi Indonesia / Sun, Mar 22nd 2009, 11:18

Eumpang Breuh Melawak di Pendapa:
Utama



RATUSAN orang yang memadati Anjong Mon Mata, termasuk Gubernur Irwandi Yusuf dan istri, Wagub Muhammad Nazar dan istri, rombongan Duta Besar Cina untuk Indonesia, dan sejumlah undangan lainnya yang hadir malam itu, tampak tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan banyolan Bang Joni cs.

Saya percaya Anda yang di luar negeri, yang kebetulan membuka streaming serambifm.com atau yang mendengar dari RRI Programa Satu (live via RRI Stasiun Banda Aceh), juga tertawa-tawa. Bukti lain, beberapa SMS yang terkesan menyuport, dilayangkan dari luar negeri ke ponsel saya, juga teman di Banda Aceh yang menyimak dari Serambi FM. Tak ketinggalan teman-teman undangan ikut berkomentar, "mantaplah Eumpang Breuhnya", "Bisa juga ya si Joni manggung". Wah, rame deh ponsel saya. Belum lagi yang mengirim apresiasi untuk acara resepsi yang katanya ekslusif, mengalir tanpa protokoler, tak ada "lomba pidato" terkeren, plus sound effeck dan lighting yang nyaris sempurna.

Manakala seremoni usai, dan orang-orang meninggalkan Anjong dengan wajah cerah, saya tak tahu persis, apa mereka puas karena keseluruhan acara, atau memang fresh karena Bang Joni Cs. Tapi, saya sendiri cukup menikmati lawakan Joni Cs yang sejujurnya memang signifikan dengan grup lain yang pernah saya tonton. Dalam durasi sekitar 20 menit, di malam dengan tamu sekitar enam ratus orang itu, Joni muncul dengan skenario sebagai wartawan, dan tetap dalam format Joni sebagai kekasih Yusniar, Haji Uma sebagai ayah, dan Mando teman dekat Joni yang kali ini menjadi wartawan televisi. Kenapa wartawan, soalnya itu kan jauh dari karakter Joni yang preman kampung dan cuma hidup dari mocok-mocok itu? Mungkin saja Joni Cs ingin menghargai Serambi Indonesia yang kantor koran, yang kantor wartawan, atau anggap saja orderanlah.

Settingnya, Haji Umar tak setuju kalau Yusniar menikah dengan wartawan. Wartawan tak kaya, tak punya waktu terukur untuk keluarga, wartawan tukang bongkar aib orang, dan bla-bla. Materi didominir oleh dakwa-dakwi Haji Uma dan Bang Joni yang berakhir dengan persetujuan Haji Uma, karena menurut Joni wartawan adalah orang pembuka kebenaran.

Tensi rendah

Dalam tampilan versi panggung kali ini, Eumpang Breuh jauh dari adegan kejar-kejaran antara Joni dan Haji Uma. Tak ada adegan main parang. Kali ini pun Haji Uma marah dalam tensi rendah, tanpa bumbu berteriak-teriak seperti pementasan outdoor atau rekaman dalam cakram yang sering mereka lakukan. Simak celoteh Joni ini, ketika dia hampir kehilangan kalimat. "Alah peu roh kuneuk peugah? Hana kuteupeu peugah le. Lampu gethat raya, su uem teuh keudeh. Baksang Payah talob lam umpung bieng, (Alah saya mau bilang apa ya? Tak tahu mau bilang apa lagi. Lampu terang sekali, sampai saya kepanasan. Kayaknya harus masuk ke sarang kepiting)" kata Bang Joni alias Kapluk dengan gerak-gerik dan tawa khas blo on Joni. Penonton pun tertawa.

Sebagai penonton yang mengenal karakter grup Eumpang Breuh, saya tahu keluhan kecil Bang Joni tadi kendati memang agak berpengaruh bagi lawakannya, tapi bukan mutlak mempersalahkan kondisi lighting garapan Layar Kaca pada pertunjukan malam nan bersejarah Serambi Indonesia itu. Justru gebyarnya pencahayaan yang terkonsep itu, telah turut memberi suasana lain bagi Joni cs, yang lebih tertantang dari lakon-lakon panggung mereka sebelumnya. Saya tahu, ungkapan tadi hanya kalimat improvisasinya Bang Joni, untuk menganulir detik-detik yang hampir kosong dari pementasan Eumpang Breuh kali ini. Toh dari "ngedumel" soal lampu kebesaran yang menusuk mata itu, penonton tetap gerrrrr jua.

Namun secara artistik dan konsep lawak, komedi Joni jadi Wartawan, sebenarnya masih bisa di-explore lebih dalam, hingga Eumpang Breuh bisa membangun plot lawakan secara total. Banyak alur yang masih bisa diisi dengan materi dan inprovisasi. Yusniar pun harus bisa lebih bekerja sama, termasuk memberi "penyedap" dari luar skenario bagi dialog-dialognya. Haji Uma yang tanpa properti goloknya, toh masih bisa menggunakan isyarat raganya untuk jengkelnya, bukan hanya melotot dari balik kacamata bingkai tebalnya.

"Tak mudah jadi wartawan ya. Seharusnya kan mudah saja untuk bertanya-tanya. Tapi kalau kita tak punya dasar sama sekali sebagai wartawan, ya susah juga. Biarpun hanya akting. Malam itu, kami pun berusaha hati-hati. Sebab audience di resepsi Serambi, kan kalangan terhormat. Kami harus menyesuaikan diri. Tidak sama bila kami berhadapan dengan warga kebanyakan," ungkap Bang Joni alias Abdul Hadi itu kepada saya.

Kesan Haji Uma, dia enjoy saja dengan skrip menyangkut wartawan, walau ini yang perdana. "Bedanya, saya dan kawan-kawan harus menggunakan bahasa yang lebih intelek. Konsumennya kan menengah ke atas. Lalu kesan lain, saya tak bisa melihat penonton dengan jelas. Mungkin kami belum terbiasa dengan sorotan lampu yang tajam. Saya jadi kurang komunikatif dengan penonton. Ya agak berpengaruh juga sedikit."

Tapi tahukah Anda penonton dan pendengar RRI Pro Satu dan pendengar Serambi FM? Untuk mentas sekitar 20 menit itu, ternyata Joni dan kawan tak sekalipun latihan. Yang mereka pertontonkan malam itu spontanitas saja. Tak lain, karena belakangan mobilitas kru Eumpang Breueh sangat tinggi. Yusniar telah bekerja di salah satu bank. Haji Umar mulai aktif lagi kegiatan dakwahnya. Imbasnya kesibukan mereka sedikit banyak membuat garapan Eumpang Breuh VII tersendat. Dua minggu sebelum resepsi Serambi, para komedian ini syuting untuk Eumpang Breuh versi adat tentang pawang laot, yang prosesnya sudah sampai pada mastering. Saya tidak berharap muncul Eumpang Breuh versi wartawan. Bukan apa-apa, saya takut melihat Bang Joni menjadi Bang Joni lain, bukan Kapluk yang konyol itu.

(nani hs)


Tidak ada komentar: