11/03/09

SYAFRUDDIN DAN BECA TSUNAMI YANG MEMBAWA BERKAH

Tabloid Seumangat / 10 Maret 2009

Sarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh ini kemana-mana selalu dengan becanya. “Beca ini sudah menyatu dengan saya. Ya mencari nafkah, ya berurusan sesuatu, ya menunaikan tugas sebagai imam masjid al-Abrar, saya selalu dengan beca saya,” ungkap Syafruddin, tanpa sedikitpun ada rona rendah diri di wajahnya.

Bagi lelaki dua anak yang akrab dengan nama Bang Din ini, “sang” beca telah menoreh sejarah tak terlupakan, bahkan telah memberinya materi, keyakinan berusaha, dan pengalaman spiritual yang dalam.

Sosok asal Aceh Selatan ini pun, tak ingin mengingat-ingat lagi soal kelas pascasarjana yang yang kandas di tengah jalan pada tahun 2000, atau kegagalan demi kegagalannya menjadi PNS. Malah pada akhirnya dia mulai bertanya-tanya, kepana dia harus jadi PNS segala? Bukankah dengan tidak menjadi PNS dia bisa meneruskan hidup dan penghidupannya?

Pukul sembilan pagi Kamis (5/3), kala dijumpai Seumangat di sebuah warung kopi bilangan Lamdingin Kecamatan Kuta Alam, sekitar empat ratus meter dari kediamannya, Syafruddin yang tampil dengan jaket kusam nan buram, mulai menyibak kembali lembaran hidupnya pascatunami.

Pagi 26 Desember 2004, usai gempa dahsyat, bersama istri dan anaknya,mengendarai sepeda motornya melihat-lihat situasi pascagempa, mulai darirumahnya, Gano, hingga Lampulo dan sekitarnya. Rupanya maut belum menjemputnya kala itu. Dia dengan sepeda motor sambil memboceng anak istrinya berhasil lari hingga ke Leupueng Samahani, dengan bekal di saku Rp 10.000 saja. Adalah Jafar, yang telah membantunya hingga sepupuh hari pascatsunami. Syafruddin sempat bercocok tanam sayur-sayuran di tempat itu.

Kemudian ia kembali ke Lamdingin. Tidak ada apa-apa lagi. Rumah permanennya berukuran 7 x 8 meter (harga sekarang sekitar Rp 300 juta) dari jerih payah menjadi pekerja mocok-mocok, lenyap entah kemana. Sebidang tanah yang dibelinya di Lampulo dan sudah berfondasi, juga tak jelas lagi patokannya. Orangtua, adik, keponakan pun mendahuluinya bersama tsunami. Bang Din galau, sedih, kehilangan, dan dia pun istiqamah. Lalu dengan Hercules bersama korban tsunami lainnya menuju Jakarta. “Saya hanya ingin menghilangkan trauma mental. Saya berusaha melalaikan diri, untuk menstabilkan eskalasi kepanikan saya,” alasan Bang Din.

Satu bulan ia dan keluarga mendapat bantuan teman-temannya di Jakarta. Maklum aktivis HMI ini sejak 1992-1997 terkoneksi dengan teman-teman Jakarta. Menurut Bang Din, memang bukan harta yang didapatnya di ibukota, tapi dia merasa kawan-kawannyalah sebagai sumber daya yang besar dalam membantu hari-harinya.

Bang Din akhirnya kembali ke Banda Aceh, dan menumpang di rumah tetangga, di Cot Masjid di Luengbata. Di sinilah, roda hidup mulai bergerak lagi. Dia bertemu dengan korban tsunami lainnya dan jadilah mereka duo rekan bisnis kecl-kecilan. Bang Din menjadi agen batubata, batu gunung, pasir, dan lain-lain. Hasilnya, beberapa bulan kemudian Syafruddin menyewa rumah sistem cicilan, dengan uang muka Rp 1 juta.

Suatu kali pada 2005, laki-laki yang tak mudah menyerah pada nasib ini, mendapat kemudahan kredit beca lewat Islamic Rielif. Dunia baru mulai dilakoninya. Siang malam menarik beca demi mengasapkan dapur plus menyetor kredit Rp 20 ribu per hari (beca lunas 22 bulan). Lantas tahun 2006, kebiasaannya mangkal di seputar Sultan Hotel, lagi-lagi membuka pintu rezeki. Adalah Bram warga Belanda, pada pukul 23 malam itu berkenalan dengannya. Mereka terlibat perbincangan panjang. Awalnya Bram terkejut, kenapa Bang Din bisa berbahasa Inggris? Usut punya usut Bang Din itu penarik beca yang seorang Sarjana. Sekitar setengah jam kemudian mereka berpisah, dan Bang Din kembali ke pekerjaannya menanti pelanggan, tanpa curiga apa-apa.

Keesokan harinya, si bule menyuruh Bang Din menemuinya. Orang yang bermukim di Denhaag itu tak bicara panjang lebar lagi seperti tadi malam. “Sepuluh juta ini dari keluarga saya di Denhaag. Anda seorang sarjana yang tak berbaju sarjana. Tapi Anda gigih sebagai penarik beca,” komentar sang bule.

Tentu saja Syafruddin berbaur rasa. Uang itu diterimanya. Tak diberikannya kepada sang istri. Sebab, untuk kebutuhan rauamah tangga toh dia bisa menarik beca. Rumah 12 x 14 meter yang mulai dibangunnya pada bulan ke sebelas pascatsunami, harus segera diselesaikannya. Uang itulah penambah dananya.

Begitulah, hasil menarik beca dimenej Bang Din dengan cekatan. Kalau tidak bagaimana dia bisa menyelesaikan rumah (sekarang disewa seorang caleg perempuan), bisa menabung, dan kini mampu mengeredit sepeda motor untuk istrinya pula. “Kuncinya, saya harus tau mana yang untuk dimakan, mana yang ditabung. Semua bisa saja tukang beca, tapi saya tak sama dengan tukang beca lain. Di jalan ada tanda-tanda kebesaran Allah. Saya harus mengembangkan potensi saya. Saya ingat sekali buku karangan Amin Rais, Tauhid Sosial, yang berintikan tauhid adalah sumber tempat kita berpijak, menuju perubahan hidup. Bukan perjuangan namanya kalau tidak berusaha. Tidak ada kata-kata yang memberatkan saya. Semua ini bermakna hikmah. Setiap ada kesulitan ada kemudahan.” Kata Bang Din dengan sorot mata bersemangat sembari meneguk kopinya.

Percayakan Anda? Atas apa yang diperolehnya sekarang, Bang Din tak pernah meminjam uang di bank, justru orang bank yang bertanya kenapa Bang Din selalu menyimpan tapi tak pernah meminjam. “Entah kenapa ya. Dengan giat berusaha saya merasa lebih heroik. Tak pegawai negeri ya tak apa. Malah teman-teman ada yang mengejek saya, kenapa betah-betahnya saya jadi tukang beca. Tapi bagi saya biar kerja itu kecil yang penting syukur nikmat. Sedikit atau banyak yang penting syukur. Iya kan. Sampai sekarang saya dengan becak seperti senyawa. Ada kecintaan saya rasanya?” ungkap Bang Din. Hujan rintik sejak pertemuan tadi sudah reda. Kami pun berpisah.

(nonlis dcp)

Tidak ada komentar: