18/04/09

DISINI RUMAH KITA

Posted on April 17, 2009

Tabloid Wanita Sehat

Melihat kebersamaan murid dan siswa di Fajar Hidayah, ada kesan sekolah satu ini memang sekolah rumah, sekolah persaudaraan. Dan kalimat disini rumah kita memang melandasi pola ajar yang diterapkan Aning Cs (Afuadi, Anidar, Dewi S, Eka Putra, Erwin, M Haikal, Harsiah, Hasan B, Irawati, Jamilah, Machyar, Maysura, Nana Iriayani, Nuraliah, Rahmad Hidayat, Rini K, Salman, Turmuji, Yunidar, dan Zurrahma) terhadap 75 anak laki-laki dan 33 anak perempuan yang berumur sekitar 6-15 tahun.

Dengan pola ajar sastem kekeluargaan Aning dan teman-teman, ingin menanamkan di benak penghuni Fajar Harapan, bahwa mereka adala satu ikatan, sebuah keluarga yang banyak saudaranya, banyak ibunya, banyak bapaknya. Hidup dalam keseharian yang sama. Senasib sependeritaan. Susah senang, bahagia derita dikenyam bersama. Walaupun bukan orang tua kandung, guru-guru laki-laki adalah “ayah” mereka, guru-guru perembuan adalah “ibu” mereka. Malah awal-awalnya, lebih dulu ditanamkan bahwa mereka anak Aceh, dan merekalah yang punya tanggung jawab untuk Aceh.

“Aduh, awalnya kami kesini, anak-anak sangat tidak terurus, acak-acakan, rata-rata tidak punya orangtua. Akhirnya konsep yang kita gunakan adalah konsep kekeluargaan,” kata Aning. Ia beserta guru lainnya bahu membahu menanamkan pada anak, bahwasanya mereka keluarga besar yang terdiri dari ibu, bapak, dan anak.

Ironisnya Aning Cs semuanya belum menikah dan tak semua berlatar belakang lulusan IKIP, tapi harus mengasuh anak dalam dua versi, ibu di sekolah dan ibu di rumah. Pekerjaan berat yang mereka lalui hingga tiga bulan pascatsunami. Mulai dari ikut membantu perawat dari Jakarta (dari BSMI) merawat anak yang luka-luka, infeksi, membawa ke rumah sakit (Mercy Indonesia/Malaysia) untuk pemulihan, hingga terapi psikologi bagi anak-anak yang trauma, histeris, masih suka nangis, pingsan. Salah satu terapi yang hingga kini masih dipakai adalah pergi bertamasya ke laut, ke tempat bersejarah, dan tempat konstruktif lainnya, minimal satu bulan sekali dan maksimal dua minggu sekali. Selebihnya tetap belajar dengan kurikulum Diknas, dengan “muatan khusus” bahasa Inggris dan Arab. Selebihnya, semua penghuni mendapat pelajaranketerampilan, setiap akir pecan. Malah telah memproduksi cindramata 1000 tas dari kardus bekas yang sempat dikirim ke Jakarta, menyusul produk kripik singkong.

Saat Wanita Sehat berkunjung ke markas Fajar Hidayah di Meunasah Manyang, Pagar Air, Aceh Besar, Aning sempat bercerita bagaimana, dirinya dan kawan-kawan menghadapi anak-anak didik saat tiga bulan pertama pascatsunami. Bermula mengumpulkan korban tsunami (yatim, piatu) dan duafa di Posko 85, Lhoknya, Aceh Besar, dengan membuka Sekolah Taman Kanak-kanak (26 Januari 2005) yang bermurid 38 orang. Dana oprasional proses belajar mengajar ikut dibantu NGO, dan donatur kelompok/per orangan. Dari Lhoknga, lalu yayasan membuka SD dan SMP di Pagar Air, dengan meminjam pakai salah satu gedung Madrasah Ulumul Quran di lokasi setempat. Berfungsilah gedung dua tingkat tersebut sebagai sekolah sekaligus asmara. Usai shalat subuh dan mengaji, ruang dibersihkan dari peralatan tidur yang disusun kembali ke tepi dinding, dan dimulailah belajar mengajar pada pukul 07.30 WIB hingga masa makan siang pukul 13.00 WIB. Murid SD istirahat, yang SMP melanjurkan belajarnya sampai pukul 03.20 WIB. Habis shalat maghrib seluruhnya mengaji, shalat isya, belajar, dan tidur. Pertama-tama dibuka, asrama digunakan untuk laki-kali dan perempuan. Sekarang yang perempuan telah menyewa sebuah rumah sekitar 100 meter dari sekolah.

Kini sekolah yang dihuni yatim piatu korban tsunami dari berbagai daerah di Aceh ini mulai punya guru-guru lokal. Tentu saja sebagai mempersiapkan masa depan Yayasan Fajar Hidayah yang menurut rencana akan membangun kompleknya tersendiri, sekaligus melengkapi diri dengan Sekolah Menengah Atas seperti di Jakarta. Untuk sementara lulusan dari Banda Aceh melanjutkan SMA nya di Ibukota.

Nani.HS



Tidak ada komentar: