Posted on April 17, 2009
Tabloid Wanita Sehat
Bu Aning, itulah panggilan keluarga besar Yayasan Fajar Hidayah Cabang Aceh terhadap Ananingtiyas SP. Sarjana Perikanan Indonesia (SPI) Malang Brawijaya ini sebenarnya jauh sebelum tsunami 2004 terjadi, sangat ingin datang ke Nanggroe Aceh Darussalam. Tak lain karena julukan Aceh itu adalah daerah Serambi Mekah.
Namun waktu itu, ia berpikir tak mungkin datang ke Aceh, bukankah dia hanyalah seorang guru dengan pendapatan relatif kecil?
Hari-hari awal tsunami, di Jakarta, Aning awalnya ngeri menonton televisi. Namun ketika semua layar kaca Indonesia menanyangkan kondisi Aceh selanjutnya, dan kedatangan 12 orang anak Aceh yang kemudiuan ditampung yayasannya, Aning makin tergugah. Apalagi dengan kondisi Aceh yang berantakan, anak-anak yang tak terurus. Ada yang menggores batinnya.
Pucuk dicinta ulam tiba. Aning yang saat itu merupakan tenaga didik di Fajar Hidayah Jakarta, pada suatu Minggu malam bulanJanuari 2005, ditawarkan untuk berangkat ke Aceh. Saat itu Aning gembira mendengarkannya. Dalam hatinya, “Inikah saatnya saya ke Aceh?” Yang lebih mengejutkannya lagi, Aning harus berangkat pada hari Rabu. Perempuan berperawakan mungil inipun menelepon ayahnya. Sama, kedua orang tua Aning juga terkejut, bahkan agak berat melepaskan anak gadisnya itu. Bukan apa-apa, waktu itu terbetik kabar kalau Aceh sedang banyak penyakitnya, pokoknya bukan daerah yang kondusif bagi dara semungil Aning, apalagi untuk membantu korban musibah besar seperti Aceh. “Apa gak bahaya? Masih gempa lagi, tsunami, konflik, apa kamu berani nanggung risiko?”kata Ayah Aning.
Waktu itu, bukan keluarganya saja yang heboh, teman seperguruan pun ramai mencemaskannya. Antara salut dan gundah teman-teman Aning banyak yang sumbang saran, pesan, dan nasihat bagi Aning. Pesannya macam-macam, setiba di Aceh jangan lepas masker, ini minumannya, ini madunya, dan seterusnya. Aning sendiri sempat deg-degan, sebab ia tak bisa membayangkan Aceh pascatsunami seperti apa? Mau tak mau Aning juga ikut vaksinasi untuk berjaga-jaga.
Kendati keemasan-kecemasan tersebut berkecamuk dalam batinnya, namun dengan kebulatan tekadnya Aning bertolak juga ke Aceh, ditemani seorang guru lainnya, Bu Sri, menyusul tiga guru yang sudah duluan ke Aceh.
Waktu itu janjinya, Aning ditugaskan ke Aceh untuk satu bulan saja. Tapi begitu satu bulan berlalu, Aning merasa sudah mempunyai ikatan. Sulung dari empat bersaudara ini sudah mulai enggan meninggalkan anak didiknya. Aning menjanjikan tiga bulan ke depan baru meninggalkan Aceh. Manakala saat itu tiba, Aning ternyata makin tak sampai hati meninggalkan anak didik yang terlanjur dianggapnya sebagai saudaranya. Hingga kini Aning masih bertugas di Aceh sebagai Kepala Sekolah SD dan SMP Fajar Hidayah Cabang Aceh.
Apa yang dicari Aning di antara yatim piatu korban tsunami, yang sebenarnya hanyalah sebuah kerja keras? “Aduh apa yang dicari ni? Mungkin karena anak-anak ya. Saya ingin berbuat sesuatu. Kata Rasulullah, yang berdekatan dengan Beliau itu, hanya mereka yang mengasuh anak yatim. Walaupun itu bagi saya sangat berat ujiannya. Bayangkan, anak-anak sangat sensitif sifatnya. Tidak semudah menangani anak yang bukan korban bencana alam,” jelas Aning.
Nani.HS
Tabloid Wanita Sehat
Bu Aning, itulah panggilan keluarga besar Yayasan Fajar Hidayah Cabang Aceh terhadap Ananingtiyas SP. Sarjana Perikanan Indonesia (SPI) Malang Brawijaya ini sebenarnya jauh sebelum tsunami 2004 terjadi, sangat ingin datang ke Nanggroe Aceh Darussalam. Tak lain karena julukan Aceh itu adalah daerah Serambi Mekah.
Namun waktu itu, ia berpikir tak mungkin datang ke Aceh, bukankah dia hanyalah seorang guru dengan pendapatan relatif kecil?
Hari-hari awal tsunami, di Jakarta, Aning awalnya ngeri menonton televisi. Namun ketika semua layar kaca Indonesia menanyangkan kondisi Aceh selanjutnya, dan kedatangan 12 orang anak Aceh yang kemudiuan ditampung yayasannya, Aning makin tergugah. Apalagi dengan kondisi Aceh yang berantakan, anak-anak yang tak terurus. Ada yang menggores batinnya.
Pucuk dicinta ulam tiba. Aning yang saat itu merupakan tenaga didik di Fajar Hidayah Jakarta, pada suatu Minggu malam bulanJanuari 2005, ditawarkan untuk berangkat ke Aceh. Saat itu Aning gembira mendengarkannya. Dalam hatinya, “Inikah saatnya saya ke Aceh?” Yang lebih mengejutkannya lagi, Aning harus berangkat pada hari Rabu. Perempuan berperawakan mungil inipun menelepon ayahnya. Sama, kedua orang tua Aning juga terkejut, bahkan agak berat melepaskan anak gadisnya itu. Bukan apa-apa, waktu itu terbetik kabar kalau Aceh sedang banyak penyakitnya, pokoknya bukan daerah yang kondusif bagi dara semungil Aning, apalagi untuk membantu korban musibah besar seperti Aceh. “Apa gak bahaya? Masih gempa lagi, tsunami, konflik, apa kamu berani nanggung risiko?”kata Ayah Aning.
Waktu itu, bukan keluarganya saja yang heboh, teman seperguruan pun ramai mencemaskannya. Antara salut dan gundah teman-teman Aning banyak yang sumbang saran, pesan, dan nasihat bagi Aning. Pesannya macam-macam, setiba di Aceh jangan lepas masker, ini minumannya, ini madunya, dan seterusnya. Aning sendiri sempat deg-degan, sebab ia tak bisa membayangkan Aceh pascatsunami seperti apa? Mau tak mau Aning juga ikut vaksinasi untuk berjaga-jaga.
Kendati keemasan-kecemasan tersebut berkecamuk dalam batinnya, namun dengan kebulatan tekadnya Aning bertolak juga ke Aceh, ditemani seorang guru lainnya, Bu Sri, menyusul tiga guru yang sudah duluan ke Aceh.
Waktu itu janjinya, Aning ditugaskan ke Aceh untuk satu bulan saja. Tapi begitu satu bulan berlalu, Aning merasa sudah mempunyai ikatan. Sulung dari empat bersaudara ini sudah mulai enggan meninggalkan anak didiknya. Aning menjanjikan tiga bulan ke depan baru meninggalkan Aceh. Manakala saat itu tiba, Aning ternyata makin tak sampai hati meninggalkan anak didik yang terlanjur dianggapnya sebagai saudaranya. Hingga kini Aning masih bertugas di Aceh sebagai Kepala Sekolah SD dan SMP Fajar Hidayah Cabang Aceh.
Apa yang dicari Aning di antara yatim piatu korban tsunami, yang sebenarnya hanyalah sebuah kerja keras? “Aduh apa yang dicari ni? Mungkin karena anak-anak ya. Saya ingin berbuat sesuatu. Kata Rasulullah, yang berdekatan dengan Beliau itu, hanya mereka yang mengasuh anak yatim. Walaupun itu bagi saya sangat berat ujiannya. Bayangkan, anak-anak sangat sensitif sifatnya. Tidak semudah menangani anak yang bukan korban bencana alam,” jelas Aning.
Nani.HS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar