Tabloid Seumangat / Ed, 5
Di Banda Aceh belum banyak perempuan yang mau bekerja seperti Rita Indahyati. Masalahnya,tidak mudah menjalani pekerjaan yang dilakukan ibunda Afifah, Hasnah, Yasin, Assyifa, Fida, Mariam, dan Zaid ini. Saban hari “bergelut” dengan keseharian para anak bawah tiga tahun atau bawah lima tahun.
Rita bukan cari rupiah, apalagi keuntungan membuka panti penitipan anak. Panggilan rasa keibuannyalah yang membuatnya jatuh bangun mengelola tempat penitipan anak, Aneuk Meutuah. Apalagi pada tahun 2004 di Banda Aceh/Aceh Besar dan sekitarnya, hanya terdapat satu dua TPA saja. Padahal Banda Aceh, ibukota provinsi, banyak kaum ibunya yang bekerja di luar rumah.Sementara, tidak selamanya bisa mengandalkan bantuan saudaranya yang kebanyakan tinggal di kampung.
Bagi Rita mengelola TPA betapa membuatnya bagai dihadapkan pada sebuah petualangan. Sungguh dunia anak adalah dunia yang unik. Kita bisa banyak belajar, justru dari anak-anak. Anak tak pernah punya rasa takut, suka mencoba,juga tak mudah putus asa. Suatu kondisi yang seharusnya dimiliki orang dewasa.
Menurut perempuan kelahiran 10 Juni 1971 ini, masa kanak-kanak adalah masa emas. Sehingga perlu pendamping yang baik, selain orangtuanya. Sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak bisa tetap optimal sekalipun orangtuanya bekerja.
Begitulah, sebelum musibah tsunami TPA yang waktu itu bercokol di jalan Pattimura Blower Banda Aceh, sempat menampung sepuluh orang anak bawah tiga tahun (batita). Pascatsunami. Aneuk Meutuah tak bisa begitu saja bangkit kembali. Antara lain disebabkan meninggalnya sejumlah guru/pengasuh. Barulah pada tahun 2007 Aneuk Meutuah berdiri lagi. Bahkan sekarang menggunakan metode pengajaran pendidikan anak usia dini. Hanya saja, menurut Rita, di Aceh sulit mendapatkan pengasuh anak. Belum lagi Aneuk Meutuah yang masih minim fasilitas. Tak heran, toh TPA ini memang dibangun dengan cara swadaya. Padahal TPA ini berniat membantu kaum ibu yang pekerja, agar dengan biaya murah bisa bekerja di luar rumah dengan perasaan tenang, tanpa harus gundah lantaran anak dijaga pembantu di rumah. Lagi pula, TPA ini merasa ingin membantu dari segi pembinaan anak usia dini menjadi generasi yang berkualitas.
Memang bagi para ibu yang bekerja ke arah barat Banda Aceh, ada repotnya menitip sang buah hati di TPA Aneuk Meutuah. Soalnya setiap pagi harus ke Desa Lamreung, Ingin Jaya, Aceh Besar dulu. Tapi semua perempuan akan setuju, bahwa demi mencapai kualitas anak yang baik, rutinitas berjalan jauh saban hari kerja, tentu bukanlah apa-apa.
Rosella
Budidaya bunga Rosella, sebenarnya tujuan kesekian bagi Rita. Cikal bakal pembiakan Rosella, sebenarnya salah satu bentuk pemberdayaan ekonomi bagi Yayasan Bungong Jaroe yang dipimpin Rita. Sedangkan tujuan dasar pendiriannya, adalah sebagai organisasi bagi pembinaan wanita dalam segi rohani dan manajemen hati. Yayasan yang beranggotakan delapan orang ini sebenarnya lebih menitik beratkan pada kegiatan pengajian, outbond wisata Quran.
Namun kelopak bunga Rosella ternyata telah menjadi daya tarik tersendiri bagi yayasan. Sehingga Rosella tak lagi sebagai penyejuk rohani atau pencuci mata. Bunga ini mulai dibiakkan dalam skala besar. Dengan bantuan santri Dayah Atthiyah di kawasan Lembah Seulawah plus sejumlah tenaga bayaran, Bungong Jaroe akhirnya bisa pula memberdayakan perempuan di tiga desa binaan, Ie Masen (Banda Aceh),Neuheun (Aceh Besar), dan Indrapuri Aceh Besar. Para perempuan dari tiga desa ini nantinya menjual kelopak Rosella kepada yayasan dalam bentuk kering atau basah seharga 25-30 ribu rupiah per kilogram. Lalu yayasan mengolah kelopak Rosella menjadi sirup, manisan, teh, dan lain-lain.
Yayasan juga memberikan stimulant bagi sirkulasi hasil, dengan menerapkan mekanisme distributor. Hitung-hitungannya, 10 persen bagi yang bisa memasarkan. Makin banyak jual, makin banyaklah untung sang distributor.
Dengan tujuan pembelajar, Rita juga menerapkan cara kerja itu bagi anak-anak kandungnya. Assyifa (12) dan Fida (10), menjual es rosella di sekolahnya. Ini tak membuat mereka malu, kendati mereka anak Wakil Ketua DPR. Bahkan mereka punya cita-cita pergi umrah dengan uang hasil usahanya itu. Maka dengan modal Rp20 ribu mereka membeli bahan-bahan dari Rita, lalu dibuat Es Rosella. Keuntungan bersihnya bisa dua kali lipat.
“Bunga Rosella dikenal memiliki kandungan vitamin C tinggi, berkhasiat bagi asam urat, hipertensi, stamina tubuh, keharmonisan pasutri, dll. Batang, bibit, bunga (basah, kering) bisa dipakai untuk obat. Lama tanamnya tiga bulan sudah berkembang dan bisa distek. satu pohon bisa menghasilkan dua kilo gram kelopak bunga dan bisa tiga kali panen, “ungkap Ritayang pengisi materi Keluarga Sakinah Mawadah Warahmah, di salah saturadio swatsa di Banda Aceh, danpengisi majelis taklim perkantoran itu.
(nonlis dcp)
Di Banda Aceh belum banyak perempuan yang mau bekerja seperti Rita Indahyati. Masalahnya,tidak mudah menjalani pekerjaan yang dilakukan ibunda Afifah, Hasnah, Yasin, Assyifa, Fida, Mariam, dan Zaid ini. Saban hari “bergelut” dengan keseharian para anak bawah tiga tahun atau bawah lima tahun.
Rita bukan cari rupiah, apalagi keuntungan membuka panti penitipan anak. Panggilan rasa keibuannyalah yang membuatnya jatuh bangun mengelola tempat penitipan anak, Aneuk Meutuah. Apalagi pada tahun 2004 di Banda Aceh/Aceh Besar dan sekitarnya, hanya terdapat satu dua TPA saja. Padahal Banda Aceh, ibukota provinsi, banyak kaum ibunya yang bekerja di luar rumah.Sementara, tidak selamanya bisa mengandalkan bantuan saudaranya yang kebanyakan tinggal di kampung.
Bagi Rita mengelola TPA betapa membuatnya bagai dihadapkan pada sebuah petualangan. Sungguh dunia anak adalah dunia yang unik. Kita bisa banyak belajar, justru dari anak-anak. Anak tak pernah punya rasa takut, suka mencoba,juga tak mudah putus asa. Suatu kondisi yang seharusnya dimiliki orang dewasa.
Menurut perempuan kelahiran 10 Juni 1971 ini, masa kanak-kanak adalah masa emas. Sehingga perlu pendamping yang baik, selain orangtuanya. Sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak bisa tetap optimal sekalipun orangtuanya bekerja.
Begitulah, sebelum musibah tsunami TPA yang waktu itu bercokol di jalan Pattimura Blower Banda Aceh, sempat menampung sepuluh orang anak bawah tiga tahun (batita). Pascatsunami. Aneuk Meutuah tak bisa begitu saja bangkit kembali. Antara lain disebabkan meninggalnya sejumlah guru/pengasuh. Barulah pada tahun 2007 Aneuk Meutuah berdiri lagi. Bahkan sekarang menggunakan metode pengajaran pendidikan anak usia dini. Hanya saja, menurut Rita, di Aceh sulit mendapatkan pengasuh anak. Belum lagi Aneuk Meutuah yang masih minim fasilitas. Tak heran, toh TPA ini memang dibangun dengan cara swadaya. Padahal TPA ini berniat membantu kaum ibu yang pekerja, agar dengan biaya murah bisa bekerja di luar rumah dengan perasaan tenang, tanpa harus gundah lantaran anak dijaga pembantu di rumah. Lagi pula, TPA ini merasa ingin membantu dari segi pembinaan anak usia dini menjadi generasi yang berkualitas.
Memang bagi para ibu yang bekerja ke arah barat Banda Aceh, ada repotnya menitip sang buah hati di TPA Aneuk Meutuah. Soalnya setiap pagi harus ke Desa Lamreung, Ingin Jaya, Aceh Besar dulu. Tapi semua perempuan akan setuju, bahwa demi mencapai kualitas anak yang baik, rutinitas berjalan jauh saban hari kerja, tentu bukanlah apa-apa.
Rosella
Budidaya bunga Rosella, sebenarnya tujuan kesekian bagi Rita. Cikal bakal pembiakan Rosella, sebenarnya salah satu bentuk pemberdayaan ekonomi bagi Yayasan Bungong Jaroe yang dipimpin Rita. Sedangkan tujuan dasar pendiriannya, adalah sebagai organisasi bagi pembinaan wanita dalam segi rohani dan manajemen hati. Yayasan yang beranggotakan delapan orang ini sebenarnya lebih menitik beratkan pada kegiatan pengajian, outbond wisata Quran.
Namun kelopak bunga Rosella ternyata telah menjadi daya tarik tersendiri bagi yayasan. Sehingga Rosella tak lagi sebagai penyejuk rohani atau pencuci mata. Bunga ini mulai dibiakkan dalam skala besar. Dengan bantuan santri Dayah Atthiyah di kawasan Lembah Seulawah plus sejumlah tenaga bayaran, Bungong Jaroe akhirnya bisa pula memberdayakan perempuan di tiga desa binaan, Ie Masen (Banda Aceh),Neuheun (Aceh Besar), dan Indrapuri Aceh Besar. Para perempuan dari tiga desa ini nantinya menjual kelopak Rosella kepada yayasan dalam bentuk kering atau basah seharga 25-30 ribu rupiah per kilogram. Lalu yayasan mengolah kelopak Rosella menjadi sirup, manisan, teh, dan lain-lain.
Yayasan juga memberikan stimulant bagi sirkulasi hasil, dengan menerapkan mekanisme distributor. Hitung-hitungannya, 10 persen bagi yang bisa memasarkan. Makin banyak jual, makin banyaklah untung sang distributor.
Dengan tujuan pembelajar, Rita juga menerapkan cara kerja itu bagi anak-anak kandungnya. Assyifa (12) dan Fida (10), menjual es rosella di sekolahnya. Ini tak membuat mereka malu, kendati mereka anak Wakil Ketua DPR. Bahkan mereka punya cita-cita pergi umrah dengan uang hasil usahanya itu. Maka dengan modal Rp20 ribu mereka membeli bahan-bahan dari Rita, lalu dibuat Es Rosella. Keuntungan bersihnya bisa dua kali lipat.
“Bunga Rosella dikenal memiliki kandungan vitamin C tinggi, berkhasiat bagi asam urat, hipertensi, stamina tubuh, keharmonisan pasutri, dll. Batang, bibit, bunga (basah, kering) bisa dipakai untuk obat. Lama tanamnya tiga bulan sudah berkembang dan bisa distek. satu pohon bisa menghasilkan dua kilo gram kelopak bunga dan bisa tiga kali panen, “ungkap Ritayang pengisi materi Keluarga Sakinah Mawadah Warahmah, di salah saturadio swatsa di Banda Aceh, danpengisi majelis taklim perkantoran itu.
(nonlis dcp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar