Posted on April 17, 2009
Tabloid Seumangat / Ed, 9
Ketika Seumangat mengajaknya “napak tilas” peristiwa tsunami, Jamaluddin tetap lancar merunut kembali dengan rinci apa saja yang dialaminya di hari Minggu 26 Desember 2004 nan bersejarah.
Pada menit-menit usai gempa pertama, laki-laki bertitel sarjana teknik ini, dengan perasaan yang sangat penasaran, dari Lingke Kecamatan Kuta Alam, tetap berusaha menuju Jln Moh. Jam, dimana CV Ie Krueng Reubee bercokol. Tak lain untuk memeriksa kondisi asset kantornya pascagempa dahsyat.
Menit selanjutnya, benak Jamal masih bermuatan penasaran, ia tetap mencari tahu apa yang terjadi, kepana orang-orang berlari, dan dia melihat orang-orang dikejar air. Dalam keadaan belum begitu tahu apa yang terjadi, dengan mobilnya, Jamal pun lari dan berlari, hingga ke kawasan Lambaro. Tidak sampai di situ, Jamal masih sangat ingin tahu apa yang terjadi, selain gempa dan banjir. Saat jumpa dengan seseorang di Lambaro, ia sengaja bertukar kendaraan. Jamal menyerahkn mobilnya, lalu mengendarai sepeda motor milik kenalannya itu, lantas meneruskan perjalanan ke Keutapang. Di lokasi ini barulah Jamal mengerti apa yang sudah terjadi. Dia pun bergegas menacari keluarga yang hilang hingga malam dari masjid ke masid.
Dengan rasa ingin tahu juga, keesokan harinya Jamal kembali lagi ke kantornya. Dia menemukan pemandangan yang berbeda. Sebelum air merendam kawasan Mohd Jam, memang hanya satu komputer yang terjatuh dari tempatnya. Namun Senin (27/12/04), bagai tamat sudah CV Ie Krueng Reubee yang dipimpinnya. Jangan tanya kemana sebagian asset dan dokumen. Jangan Tanya bagaimana remuk redamnya persaan Jamal. Rumah kos-kosannya di Jln H Usman Lr. Rawa Damai, Jeulingke, dengan segala dokumen miliknya lenyap sudah. Saudara kandung dan sanak keluarganya hingga Senin itu belum ketahuan dimana.
Tetapi, sekelebat itu juga melintas di benaknya,”memang sudah begitulah jalan ceritanya. Tuhan juga tak suka dengan orang yang sedih berkepanjangan. Bahwa ada sejumlah hamba Tuhan yang meninggal, namun tentu ada pihak lain yang akan melihatnya. Andai semua orang sudah taruama, bagaimana jadinya.”
Yang lintas di batinnya itu, entah bernama energi, semangat, atau entah apalagi, yang jelas Jamal tiba-tiba merasa harus berbuat. Bagai ingin melupakan kepahitan itu, ia kemudia mengerjakan apa saja yang bisa, termasuk memberi semangat orang lain.
Sebut saja ketika ia pulang kampung dan diherani orang-orang, mengapa ia mau kembali ke Banda Aceh. Dengan melawan arus pencegahan dari keluarganya, Jamal mencoba memberi pengertian, termasuk kerabat yang punya usaha di Banda Aceh dan sudah trauma untuk kembali kepada usahanya.
“Tak tahulah kenapa saya kembali ke Banda Aceh. Tapi kembalilah ke Banda Aceh.Tsunami sudah selesai. Buat apa saja yang bisa kita buat. Paling tidak bersih-bersih toko. Di Banda Aceh masih ada orang. Malah di Banda Aceh sudah banyak orang sekarang,” begitulah sugesti Jamal kepada orang-orang dekatnya, kenalannya, pada hari ke tiga pascatsunami. Hari itu Jamal memang gagal, tapi beberapa waktu kemudian sugestinya kena juga di hati sanak keluarga.
Dengan kemauan dan semangat bergelora ingin melakukan sesuatu, Jamal kembali seorang diri ke Banda Aceh. Dia sendiri sebenarnya tak tahu harus berbuat apa. Tapi apa saja pekerjaan halal dilakukannya kala itu. Baik komersil maupun sosial.
Pada hari ke lima pascatsunami Jamal kontak dengan Dinas Perhubungan. Kadishub mengajaknya memantau Pelabuhan Uleelheu. Hari-hasi selanjutnya Jamal memanggil staf yang ada, berdiskusi soal apa saja yang bisa dikerjakan, diusahakan.
Tibalah pada hari ke sepuluh, Jamal melakukan kontak dengan siapapun yang berkemungkinan diajak bekerja, dan “nadi” perusahaannya pun mulai berdenyut lagi, kendati hampir tak terasa.
Jamal masih ingat bagaimana dia bekerja dengan sebuah genset pinjaman dari seorang teman di Lhokseumawe. Memang tak bisa mendukung pekerjaan secara maksimal. Tapi Jamal tetap tak bisa bila tak bekerja. Seolah ada sesuatu yang mendorong-dorongnya bekerja.
Dua tahun tsunami Jamal sudah menuai hasil dari semangat kerjanya. CV Ie Krueng Reubee yang mulanya berasa di grade (K), pelan tapi pasti sampai pada grade menengah.
Rezeki tak kan kemana, berlakulah bahwa siapa yang rajin dia yang dapat. Ie Krueng Reubee akhirnya naik ke grade III, dan berubah status menjadi PT Ie Krueng Reubee.
Jamal tidak bisa memastikan dia unggul dimana. Tapi menurutnya penentuan grade itu ditentukan juga oleh pengalaman perusahaan. Yang jelas suasana kepeningkatan grade menengah mulai dirasakan Jamal kala perusahaannya dipercayakan melaksanakan investigasi sarana/prasarana Dinas Perhubungan se-Aceh. Jamal pun sependapat kalau survey dan perencanaan sarana ibadah di Simeulue yang dibiayai BRR-NAD Nias, adalah cerminan perusahaannya pada grade III.
Kecuali lantaran gejolak semangat juang, apa lagi yang telah mengantarkan Jamal ke kemajuan berusaha? “Apa ya? Yang jelas pascatsunami, begitu banyak perusahaan luar Aceh yang masuk, begitu banyak persaingan. Tapi jangan keder. Saya berpikir kita harusmampu bekerja, walau dengan segala kekurangan. Bagaimana caranya, sebagai orang daerah kita harus dipercayai. Harus meraih kepercayaan. Saya pernah bilang, kalau orang Aceh lari, masih ada keluarga atau neneknya di sini. Tapi kalau pendatang lari, mau dicari kemana dia,” kata Jamal, yang secara bersayap ingin mengatakan bahwa sepantasnya perusahaan-perusaahan kecil daerah perlu dibantu. Kalau bukan kita sendiri, siapa lagi yang sudi membantu. Satu prinsip yang terus menjadi pijakan kerja bagi Jamal. Bahwa jangan pernah menyerah, dan jangan pernah lupa kepada orang yang pernah membantu, serta jangan berpaling dari orang yang perlu kita Bantu.
(nonlis dcp)
Tabloid Seumangat / Ed, 9
Ketika Seumangat mengajaknya “napak tilas” peristiwa tsunami, Jamaluddin tetap lancar merunut kembali dengan rinci apa saja yang dialaminya di hari Minggu 26 Desember 2004 nan bersejarah.
Pada menit-menit usai gempa pertama, laki-laki bertitel sarjana teknik ini, dengan perasaan yang sangat penasaran, dari Lingke Kecamatan Kuta Alam, tetap berusaha menuju Jln Moh. Jam, dimana CV Ie Krueng Reubee bercokol. Tak lain untuk memeriksa kondisi asset kantornya pascagempa dahsyat.
Menit selanjutnya, benak Jamal masih bermuatan penasaran, ia tetap mencari tahu apa yang terjadi, kepana orang-orang berlari, dan dia melihat orang-orang dikejar air. Dalam keadaan belum begitu tahu apa yang terjadi, dengan mobilnya, Jamal pun lari dan berlari, hingga ke kawasan Lambaro. Tidak sampai di situ, Jamal masih sangat ingin tahu apa yang terjadi, selain gempa dan banjir. Saat jumpa dengan seseorang di Lambaro, ia sengaja bertukar kendaraan. Jamal menyerahkn mobilnya, lalu mengendarai sepeda motor milik kenalannya itu, lantas meneruskan perjalanan ke Keutapang. Di lokasi ini barulah Jamal mengerti apa yang sudah terjadi. Dia pun bergegas menacari keluarga yang hilang hingga malam dari masjid ke masid.
Dengan rasa ingin tahu juga, keesokan harinya Jamal kembali lagi ke kantornya. Dia menemukan pemandangan yang berbeda. Sebelum air merendam kawasan Mohd Jam, memang hanya satu komputer yang terjatuh dari tempatnya. Namun Senin (27/12/04), bagai tamat sudah CV Ie Krueng Reubee yang dipimpinnya. Jangan tanya kemana sebagian asset dan dokumen. Jangan Tanya bagaimana remuk redamnya persaan Jamal. Rumah kos-kosannya di Jln H Usman Lr. Rawa Damai, Jeulingke, dengan segala dokumen miliknya lenyap sudah. Saudara kandung dan sanak keluarganya hingga Senin itu belum ketahuan dimana.
Tetapi, sekelebat itu juga melintas di benaknya,”memang sudah begitulah jalan ceritanya. Tuhan juga tak suka dengan orang yang sedih berkepanjangan. Bahwa ada sejumlah hamba Tuhan yang meninggal, namun tentu ada pihak lain yang akan melihatnya. Andai semua orang sudah taruama, bagaimana jadinya.”
Yang lintas di batinnya itu, entah bernama energi, semangat, atau entah apalagi, yang jelas Jamal tiba-tiba merasa harus berbuat. Bagai ingin melupakan kepahitan itu, ia kemudia mengerjakan apa saja yang bisa, termasuk memberi semangat orang lain.
Sebut saja ketika ia pulang kampung dan diherani orang-orang, mengapa ia mau kembali ke Banda Aceh. Dengan melawan arus pencegahan dari keluarganya, Jamal mencoba memberi pengertian, termasuk kerabat yang punya usaha di Banda Aceh dan sudah trauma untuk kembali kepada usahanya.
“Tak tahulah kenapa saya kembali ke Banda Aceh. Tapi kembalilah ke Banda Aceh.Tsunami sudah selesai. Buat apa saja yang bisa kita buat. Paling tidak bersih-bersih toko. Di Banda Aceh masih ada orang. Malah di Banda Aceh sudah banyak orang sekarang,” begitulah sugesti Jamal kepada orang-orang dekatnya, kenalannya, pada hari ke tiga pascatsunami. Hari itu Jamal memang gagal, tapi beberapa waktu kemudian sugestinya kena juga di hati sanak keluarga.
Dengan kemauan dan semangat bergelora ingin melakukan sesuatu, Jamal kembali seorang diri ke Banda Aceh. Dia sendiri sebenarnya tak tahu harus berbuat apa. Tapi apa saja pekerjaan halal dilakukannya kala itu. Baik komersil maupun sosial.
Pada hari ke lima pascatsunami Jamal kontak dengan Dinas Perhubungan. Kadishub mengajaknya memantau Pelabuhan Uleelheu. Hari-hasi selanjutnya Jamal memanggil staf yang ada, berdiskusi soal apa saja yang bisa dikerjakan, diusahakan.
Tibalah pada hari ke sepuluh, Jamal melakukan kontak dengan siapapun yang berkemungkinan diajak bekerja, dan “nadi” perusahaannya pun mulai berdenyut lagi, kendati hampir tak terasa.
Jamal masih ingat bagaimana dia bekerja dengan sebuah genset pinjaman dari seorang teman di Lhokseumawe. Memang tak bisa mendukung pekerjaan secara maksimal. Tapi Jamal tetap tak bisa bila tak bekerja. Seolah ada sesuatu yang mendorong-dorongnya bekerja.
Dua tahun tsunami Jamal sudah menuai hasil dari semangat kerjanya. CV Ie Krueng Reubee yang mulanya berasa di grade (K), pelan tapi pasti sampai pada grade menengah.
Rezeki tak kan kemana, berlakulah bahwa siapa yang rajin dia yang dapat. Ie Krueng Reubee akhirnya naik ke grade III, dan berubah status menjadi PT Ie Krueng Reubee.
Jamal tidak bisa memastikan dia unggul dimana. Tapi menurutnya penentuan grade itu ditentukan juga oleh pengalaman perusahaan. Yang jelas suasana kepeningkatan grade menengah mulai dirasakan Jamal kala perusahaannya dipercayakan melaksanakan investigasi sarana/prasarana Dinas Perhubungan se-Aceh. Jamal pun sependapat kalau survey dan perencanaan sarana ibadah di Simeulue yang dibiayai BRR-NAD Nias, adalah cerminan perusahaannya pada grade III.
Kecuali lantaran gejolak semangat juang, apa lagi yang telah mengantarkan Jamal ke kemajuan berusaha? “Apa ya? Yang jelas pascatsunami, begitu banyak perusahaan luar Aceh yang masuk, begitu banyak persaingan. Tapi jangan keder. Saya berpikir kita harusmampu bekerja, walau dengan segala kekurangan. Bagaimana caranya, sebagai orang daerah kita harus dipercayai. Harus meraih kepercayaan. Saya pernah bilang, kalau orang Aceh lari, masih ada keluarga atau neneknya di sini. Tapi kalau pendatang lari, mau dicari kemana dia,” kata Jamal, yang secara bersayap ingin mengatakan bahwa sepantasnya perusahaan-perusaahan kecil daerah perlu dibantu. Kalau bukan kita sendiri, siapa lagi yang sudi membantu. Satu prinsip yang terus menjadi pijakan kerja bagi Jamal. Bahwa jangan pernah menyerah, dan jangan pernah lupa kepada orang yang pernah membantu, serta jangan berpaling dari orang yang perlu kita Bantu.
(nonlis dcp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar