Posted on April 17, 2009
Tabloid Seumangat / Ed, 9
Manakala 3000-an ayam potong siap panen hanyut bersama tsunami 2004, Khaidir tak berani lagi memulai usaha peternakannya. Ia trauma, membuat usaha di kawasan Lampaya Lhok, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, yang pernah digerus tsunami. Lagi pula lelaki yang kala itu bisa melego 300-400 ekor ayam per hari atau sekira Rp 25 juta itu, tak punya lagi sepeser pun modal usaha.
Hampir sama dengan para korban tsunami lain, Khaidir sempat terombang, bingung tak tahu harus bagaimana dalam meneruskan hidupnya, sementara yang terlintas dalam benak, Banda Aceh sudah mati, tak ada yang bisa dirintis lagi. Untuk membangun usaha peternakan ayam lagi, Khaidir tak sanggup. Modal habis dan empat karyawan meninggal dunia. Khaidir terpuruk lahir batin. Secara materi apalagi.
Satu-satunya harapan adalah, Koperasi Serba Usaha yang didirikan tahun 1998 yang pada tahun 1999 berkembang menjadi usaha swamitra, di bilangan Ketapang Darul Imarah Aceh Besar. Tapi itu juga bangkrut. Walau secara fisik koperasi tersebut tak hancur, namun akibat sebagian anggotanya tiada dalam tsunami, koperasi ini kolaps. Kerugiannya mencapai 60 % atau sekitar Rp 750 juta. Bagaimana tidak, uang yang digulir kepada anggota dengan cara simpan pinjam, tak mungkin kembali.
Dengan modal keberanian dan keyakinan, Khaidir akhirnya membuka sejarah baru dalam usahanya. Tahun 2005, dengan modal seadanya ia buka warung kopi di daerah Ketapang.Tahun itu juga Khaidir mendirikan bengkel las, di lokasi yang sama. Bagi Khaidir yang ketika di uasaha peternakan ayam terbiasa dengan omset Rp 400 juta, jelas usaha baru ini terasa bergerak lamban. Khaidir yang kental dengan jiwa dagangnya, lalu melirik ke usaha lain. Ia yang punya banyak teman pun, mulai diajak teman untuk banting stir ke bidang properti yang sama sekali belum pernah dijalaninya.
Agaknya di usaha inilah hati Khaidir tertambat, dan ia merasa ruang ini memberinya peluang. “Saya lebih suka bermain di properti. Memang modalnya besar, tapi keuntungannya lebih besar dibanding unit usaha lain,” kata Khaidir.
Ya, Khaidir, diam-diam ternyata kembali menumbuhkan koperasi yang terlantar dengan menggerakkan multiusaha lewat swamitra. Ide untuk bergerak di properti melalui koperasi memang tidak lazim di Aceh. Tapi Khaidir sangat ingin mencobanya. “Kenapa harus perusahaan saja yang bisa bergerak di properti. Koperasi kan juga bisa,” protesnya dalam hati. Khaidir ingin menghapus imej masyarakat, bahwa kopresai identik dengan usaha kecil-kecilan.
Singkat cerita, Khaidir kini membawahi empat usaha lewat koperasi. Bidang properti, perbengkelan, dialer sepeda motor, dan toko pakaian wanita. Bahkan swamitra unit simpan pinjam tengah mengancang-ancang untuk buka unit usaha baru bidang jasa di tahun 2009.
Bagaimana cara Khaidir mengemudikan “bahtera” barunya ini? Menurut suami Nur Aqmali ini, satu-satunya cara supaya antara dia dan menejer-menejer unit usaha sama-sama aman, sama-sama untung, adalah dengan memberlakukan sistem persentase. Makin besar pencapaian, makin besar pulalah yang diterima setiap unit usaha. Masing-masing unit usaha sudah ada yang bertanggung jawab. Khaidir tak perlu repot turun tangan sendiri.
Sekarang, setelah Muhammad Reza al-Qalif (putranya dengan Nur Aqmali), gairah usaha Khaidir telah mekar lagi. Ia tak pernah membayangkan rezekinya lebih mengalir kini, ketimbang sebelum tsunami. “Ini hikmah yang luar biasa bagi saya. Awalnya, saya pernah berpikir, untuk apa saya mencari uang lagi, toh anak pertama saya (anak dengan istri pertama-red), sudah pergi bersama tsunami? Tapi Itulah gunanya teman-teman. Mereka membakar semangat saya. Mereka mengajak saya dalam usahanya. Membantu jalan saya. Alhamdulillah, saya berhasil memulai menata hidup saya kembali,” ungkap Khaidir yang sekarang sudah bermukim di kawasan Puni, Darul Imarah, Aceh Besar. Khaidir sengaja membangun rumah kembali, di lokasi jauh dari pantai. Lampaseh baginya tetap menjadi kenangan, dimana dia pernah berumah dan berumah tangga.
Kini setelah fajar baru menyinari Khaidir, kepada siapa lelaki ini berhasrat sekali mengucapkan terima kasih? Kecuali kepada Allah swt dan teman-teman yang pernah menyertainya, adalah kepada Dinas Koperasi Nanggroe Aceh Darussalam dan Dinas Koperasi Aceh Besar. Dua pihak inilah yang telah berjasa terhadap pengembangan koperasi mereka melalui pelatihan-pelatihan. Yang jelas, Khaidir terobsesi bisa memajukan koperasi seperti yang pernah dilihatnya di Jakarta. Agar koperasi tak dipandang sebelah mata.
(nonlis dcp)
Tabloid Seumangat / Ed, 9
Manakala 3000-an ayam potong siap panen hanyut bersama tsunami 2004, Khaidir tak berani lagi memulai usaha peternakannya. Ia trauma, membuat usaha di kawasan Lampaya Lhok, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, yang pernah digerus tsunami. Lagi pula lelaki yang kala itu bisa melego 300-400 ekor ayam per hari atau sekira Rp 25 juta itu, tak punya lagi sepeser pun modal usaha.
Hampir sama dengan para korban tsunami lain, Khaidir sempat terombang, bingung tak tahu harus bagaimana dalam meneruskan hidupnya, sementara yang terlintas dalam benak, Banda Aceh sudah mati, tak ada yang bisa dirintis lagi. Untuk membangun usaha peternakan ayam lagi, Khaidir tak sanggup. Modal habis dan empat karyawan meninggal dunia. Khaidir terpuruk lahir batin. Secara materi apalagi.
Satu-satunya harapan adalah, Koperasi Serba Usaha yang didirikan tahun 1998 yang pada tahun 1999 berkembang menjadi usaha swamitra, di bilangan Ketapang Darul Imarah Aceh Besar. Tapi itu juga bangkrut. Walau secara fisik koperasi tersebut tak hancur, namun akibat sebagian anggotanya tiada dalam tsunami, koperasi ini kolaps. Kerugiannya mencapai 60 % atau sekitar Rp 750 juta. Bagaimana tidak, uang yang digulir kepada anggota dengan cara simpan pinjam, tak mungkin kembali.
Dengan modal keberanian dan keyakinan, Khaidir akhirnya membuka sejarah baru dalam usahanya. Tahun 2005, dengan modal seadanya ia buka warung kopi di daerah Ketapang.Tahun itu juga Khaidir mendirikan bengkel las, di lokasi yang sama. Bagi Khaidir yang ketika di uasaha peternakan ayam terbiasa dengan omset Rp 400 juta, jelas usaha baru ini terasa bergerak lamban. Khaidir yang kental dengan jiwa dagangnya, lalu melirik ke usaha lain. Ia yang punya banyak teman pun, mulai diajak teman untuk banting stir ke bidang properti yang sama sekali belum pernah dijalaninya.
Agaknya di usaha inilah hati Khaidir tertambat, dan ia merasa ruang ini memberinya peluang. “Saya lebih suka bermain di properti. Memang modalnya besar, tapi keuntungannya lebih besar dibanding unit usaha lain,” kata Khaidir.
Ya, Khaidir, diam-diam ternyata kembali menumbuhkan koperasi yang terlantar dengan menggerakkan multiusaha lewat swamitra. Ide untuk bergerak di properti melalui koperasi memang tidak lazim di Aceh. Tapi Khaidir sangat ingin mencobanya. “Kenapa harus perusahaan saja yang bisa bergerak di properti. Koperasi kan juga bisa,” protesnya dalam hati. Khaidir ingin menghapus imej masyarakat, bahwa kopresai identik dengan usaha kecil-kecilan.
Singkat cerita, Khaidir kini membawahi empat usaha lewat koperasi. Bidang properti, perbengkelan, dialer sepeda motor, dan toko pakaian wanita. Bahkan swamitra unit simpan pinjam tengah mengancang-ancang untuk buka unit usaha baru bidang jasa di tahun 2009.
Bagaimana cara Khaidir mengemudikan “bahtera” barunya ini? Menurut suami Nur Aqmali ini, satu-satunya cara supaya antara dia dan menejer-menejer unit usaha sama-sama aman, sama-sama untung, adalah dengan memberlakukan sistem persentase. Makin besar pencapaian, makin besar pulalah yang diterima setiap unit usaha. Masing-masing unit usaha sudah ada yang bertanggung jawab. Khaidir tak perlu repot turun tangan sendiri.
Sekarang, setelah Muhammad Reza al-Qalif (putranya dengan Nur Aqmali), gairah usaha Khaidir telah mekar lagi. Ia tak pernah membayangkan rezekinya lebih mengalir kini, ketimbang sebelum tsunami. “Ini hikmah yang luar biasa bagi saya. Awalnya, saya pernah berpikir, untuk apa saya mencari uang lagi, toh anak pertama saya (anak dengan istri pertama-red), sudah pergi bersama tsunami? Tapi Itulah gunanya teman-teman. Mereka membakar semangat saya. Mereka mengajak saya dalam usahanya. Membantu jalan saya. Alhamdulillah, saya berhasil memulai menata hidup saya kembali,” ungkap Khaidir yang sekarang sudah bermukim di kawasan Puni, Darul Imarah, Aceh Besar. Khaidir sengaja membangun rumah kembali, di lokasi jauh dari pantai. Lampaseh baginya tetap menjadi kenangan, dimana dia pernah berumah dan berumah tangga.
Kini setelah fajar baru menyinari Khaidir, kepada siapa lelaki ini berhasrat sekali mengucapkan terima kasih? Kecuali kepada Allah swt dan teman-teman yang pernah menyertainya, adalah kepada Dinas Koperasi Nanggroe Aceh Darussalam dan Dinas Koperasi Aceh Besar. Dua pihak inilah yang telah berjasa terhadap pengembangan koperasi mereka melalui pelatihan-pelatihan. Yang jelas, Khaidir terobsesi bisa memajukan koperasi seperti yang pernah dilihatnya di Jakarta. Agar koperasi tak dipandang sebelah mata.
(nonlis dcp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar