19/04/09

NURUL AKMAL : DI BALIK PIAGAN HAK-HAK PEREMPUAN DI ACEH

Tabloid Seumangat / Ed, 11

Seremony pendeklarasian dan penandatanganan Piagam Hak-Hak Perempuan di Aceh, Selasa (11/12) pagi, di Taman Ratu Syafiatuddin Banda Aceh, sudah berlalu dan menjadi sejarah baru bagi perempuan di Aceh.

Memang terkesan gebyar. Tamu yang datang menyemangatinya memang di luar dugaan. Yang diundang delapan ratus, justru hadir hampir 1400 orang. Sampai-sampai panitia harus menambah porsi makan siang dengan nasi bungkus. Hebohnya lagi, begitu beragamnya sang tetamu. Dari menteri, Dubes Jerman, pembesar daerah, akademisi, ulama, hingga perempuan tidak sekolahan, semisal nyak-nyak pedagang. Perempuan-perempuan itu bagai ingin tahu, memang siapa sih perempuan Aceh sebenarnya? Apa rupanya hak-hak perempuan itu? Siapa di balik piagam yang digarap hampir dua tahun itu?

Adalah Nurul Akmal SE bersama lima pengurus Komite Perempuan Aceh Bangkit (KPAB) yang telah memberi pemikiran-pemikiran dasar yang bertujuan membela hak-hak perempuan. Apalagi itu sesuai dengan KPAB yang bergerak dalam membangkitkan semanagt perempuan Aceh pascakonflik dan tsunami. Juga relevan dengan program utama KPAB, yakni penguatan hak-hak sipil dan kedudukan perempuan di Aceh.

Pergelutan di lapangan sejak disahkannya keberadaan KPAB pada tahun 2006 (berdiri tahun 2005), telah membakar Nurul Cs ingin berbuat untuk para perempuan korban konflik dan korban tsunami.

“Karena waktu konflik yang megang peranan kehidupan adalah perempuan. Laki-laki saat konflik sudah banyak yang keluar desa. Perempuan sempat tertindas waktu itu, banyak yang mengalami pelecehan seksual, banyak hak-haknya yang tidak terpenuhi. Bebannya paling banyak. Didalam rumah tangga, seorang dia ibu yang mencari nafkah, mendidik anak, berinteraksi dengan sosial. Semua itu berada di pundak perempuan. Luar biasa perempuan Aceh itu, kuat dan tabah,” ungkap Nurul yang pada Sidang Umum Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-7 di Jenewa Maret lalu, Nurul hadir selaku wakil Indonesia.

Namun Nurul menghadapi kenyataan, bahwa setelah konflik reda, terwujudnya perdamaian, disusul Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, yang disebut persamaan hak perempuan dengan laki-laki tidaklah terasa. Padahal menurut Nurul semasa konflik segala beban ada di pundak perempuan. Lalu berapa persenkah perempuan korban konflik (termasuk anak-anak) sudah tertangani dengan baik?

Nurul sadar perempuan Aceh kuat, tabah, dan mampu mengarungi berbagai macam konflik. Namun Nurul yakin kedudukannya secara hukum sangat lemah. Sebab itu Nurul mulai menacari penguatan hak-hak sipil dan kedudukan perempuan di Aceh. Dimulai dari lingkungan keluarga. Banyaksekali perempuan pada saat konflik menikah yang sah secara agama, tapi tidak sah secara hukum Negara. Lalu, faktanya pascatsunami, banyak perempuan yang janda, banyak anak yang yatim. Kesulitan mulai muncul, Banyak anak yang tidak bisa sekolah, karena tidak ada akte kelahiran. Untuk urusan apa-apa perempuan tidak memiliki surat nikah. Berbaris-baris pertanyaan tersebut akhirnya melahirkan KPAB dan Piagam Hak-hak Perempuan di Aceh, yang ditempuh melalui perjuangan panjang dengan kesepakatan bersama banyak pihak. Dari kegiatan pra seminar, seminar raya, diskusi kelompok LSM, Ormas, post seminar dengan aksi lapangan.

Pertemuan pertama untuk melahirkan piagam, tanggal 3 Oktober 2007, Pleno I (17 Januari 2008), Pleno II (24 Juni 2008), diskusi tingkat nasional (bersama agar tidak berbenturan dengan produk hukum nasional. UI, MUI,LSM, Kementrian PP, Menko Polhukam) agar tidak berbenturan dengan produk hukum nasional.

So, sepintas membaca buku sebelas halaman berisi pasal-pasal Piagam Hak-hak Perempuan di Aceh, sangat menarik, terlebih jika pembacanya perempuan. Simak saja pasal 4 ayat satu sampai tiga. Bahwa; perempuan di Aceh berhak untuk hidup dalam kondisi aman dan menikmati perdamaian. Perempuan di Aceh berhak mendapat jaminan untuk bebas dari penyiksaan, tindak kekerasan, dan perlakuan yang kejam serta perdagangan perempuan dengan alasan apapun. Perempuan di Aceh berhak untuk ikut serta dalam berbagai proses membangun perdamaian pada tingkat komunitas sampai tingkat Negara.

Kedelapan belas pasal dalam buku Piagam Hak-hak Perempuan di Aceh (di-support oleh Reconstruction and Development of Population Administration in Nanggroe Aceh Darussalam dan pihak Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit) ini, memang bersifat penguatan terhadap perempuan.

Nurul Akmal, tak sia-sia menggagas pemikiran dasar piagam tersebut. Lewat tim perumus yang solid, terbiasa dengan kondisi lapangan, dan teruji intelektualnya (Prof Muslim Ibrahim, Al-Yasa’ Abubakar, Sri Walny Rahayu, Khairani Arifin lalu dikritisi oelh pembaa kritis) lahirlah kesepahaman yang relevan dengan kesulitan-kesulitan perempuan pascakonflik dan tsunami. Bacalah pasal 11, ayat 12 dan 13. Perempuan di Aceh berhak atas kepemilikan semua dokumen kependudukan dan akta catatan sipil sebagai bentuk perlindungan Negara terhadap hak-hak sipil perempuan. Ayat 13 berbunyi, perempuan di Aceh yang status perkawinannya tidak tercatat oleh Negara akibat-akibat kondisi khusus berhak memperoleh dokumen perkawinan yang sah.

Dua ayat di pasal 11 tersebut, nyatanya kontekstual dengan apa yang dialami perempuan pada masa konflik dan pascastunami. “Ini juga pengalaman kami di lapangan, jauh sebelum piagam terwujud. Memang menyedihkan mengetahui 60 persen perempuan di Aceh tidak tercatat pernikahannya,” ungkap Nurul, pendiri organisasi perempuan Anisa Usaliha, di Subulussalam, Aceh Singkil yang sudah beranggotakan 3000 perempuan.

Akankah hasil kerja keras bersama (Tim Perumus, Pemda Aceh, RPUK, PSG Unsyiah, Psw IAIN Ar-Raniry, Balai Sura Ureueng Inong Aceh, Flower Aceh, Mispi, HUDA, MPU NAD, Unifem, IOM) hendak dijabarkan menjadi produk hukum, seperti impian Nurul dan semua perempuan Aceh?

Yang jelas, Piagam yang telah di-translate ke Bahasa Inggris oleh Deplu RI ini, sudah diberikan ke Pansus, dan menurut Nurul kemungkinan akan dibawa ke Panmus, dan mungkin pula menjadi konsideran landasan qanun-qanun. Bukan saja untuk membuat qanun perempuan, tapi semua qanun mesti melihat piagam ini Karena segala aspek, segala sudut pandang, harus diberdayakan perempuan untuk menuju Aceh yang sejahtera damai.

“Dan hebatnya lagi kalau semua ini dijabarkan dalam peraturan. Itulah yang kita inginkan dari pemerintah. Kalau ini tidak dijabarkan dalam peraturan atau qanun maka kerja ini tidak ada apa-apanya. Ini hanya kesepakatan moral. Kalau sudah dibuat dalam berbagai produk hukum akan lebih bagus. Itulah yang harus kita uapayakan bersama. Kita kuat, kita rukun, kita berhasil,” tegas Nurul Akmal sumringah.

(nonlis dcp)



Tidak ada komentar: