SERAMBI INDONESIA / 19 April 2009, 10:18 Utama
MENYIMAK “Silent After War”, yang dibuka dengan riak laut pada detik-detik matahari turun, plus kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, apalagi dibumbui prolog (minus insert) yang terkesan puitik, kita menyangka film dokumenter berdurasi 24 menit ini, berkisah tentang kejayaan dan kemasyuran Aceh, yang tenang, damai, dan makmur.
Apalagi dinarasikan juga, bahwa sejak berabad-abad, Aceh sudah menjadi daerah melting port, peradaban antarbangsa. Ya, kita bagai hendak menonton kilas balik sejarah peradaban dan kebudayaan Aceh, begitulah kira-kira. Namun tahukah, apa yang muncul dalam “scane Silent After War” selanjutnya?
Pemaparan fakta dan keberanian dari sebaris kekelaman konflik di pecahan Aceh Tengah, Bener Meriah, yang dikemas dalam bingkai artistik garapan Layar Kaca Intervision bekerjasama dengan Solidaritas Perempuan dan Oxfam. Ternyata, ini dokumenter “diam setelah perang”, nyaris dalam arti sebenarnya. Sang perempuan bukit terseret dalam dua kutup para pihak yang bertikai, lalu dalam diamnya, mau tak mau, sanggup tak sanggup, harus menyinambungkan putaran roda hidup dengan semua konsekuensi, melebihi porsinya sebagai perempuan, istri, dan ibu. “Sama siapa kita mau bilang. Kita nggak tau orangnya. Kalau kita tau, kek mana caranya? Kecuali pasrah, terserah sama Tuhan,” ungkap Kartini dengan suara yang ditabah-tabahkannya.
Kartini, perempuan separuh baya, yang satu dari dua gadisnya harus cacat tembak pada kakinya. Kartini yang pernah seorang diri mengurus tanaman kopinya, agar keluarga bisa makan, dan anak-anak tetap sekolah. Namun, apapun ekses konflik, toh perempuan bukit ini melalui hari-harinya dengan menatap tegak. Tentu tulisan ini bukan untuk menyibak luka dan pilu, apalagi hendak menodai perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005. Namun dengarlah betapa pengakuan para perempuan di dataran tinggi Bener Meriah itu, telah menyadarkan kita, betapa sejarah miris harus ditenggelamkan ke dasar bumi! Tak boleh ada lagi! “Jangan ada ini itu sampai ke anak cucu kita. Yang udah ya udah, jangan ada lagi apa-apa gitu, aman gitu, damai, tentram,” ucap Jumilah warga Desa Sosial Bener Meriah. Ya, dengarlah, dalam ucapannya yang pelan dengan rona ikhlas, tidak ada benci, tidak ada dendam, sekalipun prahara telah menyuramkan hidupnya.
Rasakan, bagaimana mimik perempuan yang rumahnya dibakar, lalu kehilangan anak laki-laki pertamanya ini dalam rekaman “Silent After War”. Tampak benar betapa dia iman kepada taqdir-Nya. Hanya dua tetes airmata yang jatuh, tanpa isakan. Ataukah airmata sudah kering? Yang jelas, Jumilah tidak sedang bersandiwara untuk Layar Kaca Intervision. Sesungguhnya itu suara dari sudut batinnya. Kelu yang belum bisa dilupakannya. Lantas, “Silent After War” memberitahukan kepada kita, bahwa hari ini kita harus berempati kepada Kartini atau Jumilah-Jumilah lain di seantoro Tanah Rencong yang telah menjadi korban konflik. Sebenarnyalah perempuan itu penting, perempuan itu orang pertama yang memberdayakan anak bangsa, tiang negara. Beban trauma Seperti sepenggal narasi film ini, “satu hal yang pasti, para korban masih menyimpan beban trauma yang dalam. Berdamai dengan masa lalu, tampaknya telah menjadi pilihan para perempuan korban konflik. Bukan karena pasrah. Tapi tidak tau kepada siapa mengadu. Berdiam setelah perang, itulah kondisi perempuan korban konflik saat ini.” Nah, tugas siapakah untuk bicara?
Ketua bidang Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Aceh, Puspa Dewi, masih bimbang terhadap penjabaran damai di Aceh. Dalam film ini dia mengatakan damai masih dilihat dari seberapa banyak bantuan yang ada, seberapa banyak rumah yang dibangun, seberapa banyak dana diat yang diberikan. Tapi belum secara menyeluruh damai itu dilihat dari orang tidak lagi merasakan trauma, orang merasakan keadilan, sebagaimana perempuan terbebas dari kekerasan. Lalu masih juga terdapat gender conflict, semisal belum mendapat rumah dan dana duka.
Kemudian Ketua Badan Pengurus Aceh Judicial Monitoring Institute, Hendra Budian pun “menggugat” bahwa, “diam tidak diam, itu bukan lagi persoalan. Tapi secara moral bahwa ada inisiatif untuk maju. Ada inisiatif juga dari pemerintah untuk memberikan dan membuka ruang, khususnya untuk kelompok perempuan untuk terlibat, untuk berkontribusi, bukan hanya menerima.” Nah, ini tamparan! Masih banyak persoalan perempuan korban konflik yang belum tersentuh rupanya, dan siap menunggu atensi.
Kecuali menikmati nilai-nilai kesenian, estetika alam, informasi potensi Bener Meriah, “Silent After War” yang diproduseri dan disutradarai Maulana Akbar ini, telah menyumbang sekelumit kisah tragis anak manusia yang diimbas konflik. Dari film ini kita tetap memetik keseimbangan cerita dari sisi para pihak. Kerja cermat, hati-hati, tapi berani bicara apa adanya. Nezar Patria & Dadang Budiana sebagai script writer telah memperkokoh rangkaian “Silent After War”. Besutan Maulana ini oke juga segi lighting (Faroz & Bonal) dan pengeditannya (Teuku Afeed). Plus angle gambar yang pas lewat Rizki Aulia dan Toni Rush.
Tak muluk rasanya, bila menilai kelompok lokal ini sudah bisa masuk kalangan sineas yang pantas dilirik. Maka sah-sah saja Chairman Graha Bakti Indonesia (GBI), Seichi Okawa, memutar film ini di Tokyo, Sabtu (18/4). Akankah “Silent After War”, juga meraih Best Documentary FFD (2005) seperti “The Tsunami Song”, garapan Layar Kaca Intervison, dan ProMedia & National Geographic Channel, yang juga pernah ditonton 450 publik Jepang melalui GBI di Tokyo itu?
Nani.HS
Nani.HS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar