Tabloid Seumangat / 7 April 2009
Aceh pasca tsunami, apalagi dikaitkan dengan Undang Undang Pemerintahan Aceh, dan ketersediaan infrastruktur seperti sekarang ini, boleh jadi akan mengulang sejarah lampau. Aceh kosmopolitan, yang banyak dikunjungi pendatang luar negeri.
Ir. Farida Ariani, pegiat kemanusiaan yang bertahun-tahun berkecimpung dalam pemberdayaan masyarakat, berpendapat kita tak mudah menghadapi kosmopolitan Aceh. Tak sesederhana seperti menerima kedatangan tamu dirumah. Dia tahu banyak ikhwal kualitas intelektual masyarakat desakhususnya perempuan, terutama di wilayah kerjanya di Kabupaten Pidie. Menurutnya, ada banyak instrumen pembangunan yang belum semuanya terterapkan bagi kalangan bawah, bahkan hingga ke pelosok Aceh.
Tentu bukan salah ibu mengandung. Ketua Pengembangan Aktifitas Sosial Ekonomi Aceh ini percaya, itu berkaitan dengan sistem yang ada. ”Semua persoalan itu bertumpu di kabupaten dan propinsi. Banyak hal yang dibicarakan ditingkat atas, tapi sosialisasinya ke daerah-daerah kurang. Tentang MoU Helsinki misalnya, masih ada warga yang tak mengerti itu, ” ungkap Farida.
Menurut Farida, itu bisa saja berpunca pada rendahnya koordinasi antara propinsi dan daerah. Padahal semua harus berangkat dari bawah. ”Kita ngomong data dan data. Tapi pernahkan kita tau cara membuat data? Tahukah kita fasilitas bagi pak keuchik? Pernahkah kita mengajarkan cara menyalurkan bantuan, misalnya? Sebenarnya, ini lantaran tidak ada perencanaan konsep dari bawah. Yang paling penting, semua bentuk informasi harus diketahui masyarakat luas sampai ke desa-desa. Begitu pun harus ada monitoring dan evaluasi dari atas ke bawah,” tandas Farida.
Kalau kita membicarakan target-target untuk masyarakat, kata Farida, seharusnya kita berupaya dulu bagaimana caranya masyarakat itu bisa menghidupi diri sendiri dengan keluarganya. Bukankah konflik itu bisa datang dari kemiskinan?
”Khusus bagi perempuan, mereka jangan hanya sekadar duduk dalam rapat-rapat, tapi tidak diberi kesempatan berbuat atau mengambil keputusan.Syukurlah, dalam perjalanan waktu, adalah satu hal menggembirakan, bahwa saat ini perempuan sudah bisa mengeluarkan uneg-unegnya, beraspirasi, sekarang sudah masuk ke lembaga-lembaga gampong, koperasi. Saya optimis, kita akan berhasil, bila pemerintah bisa bergandeng tangan mengurus rakyat. Tolong jangan cepat-cepat menebar janji. Pemerintah pun hendaknya memberikan bantuan harus secara serius, misalnya tepat waktu.,” kata Farida.
Kendala dari masyarakatnya apa? ”Persoalan yang ada di masyarakat, misalkan, setiap ada pemberian, itu diartikan sebagai hibah. Setiap ada pemberian itu adalah hak mereka dan tidak bisa diganggu gugat. Ini kendala namanya. Pemberian-pemberian itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tidak pun ada monitoringnya. Padahal memberikan mereka bantuan itu, kan untuk menghidupkan perekonomian mereka.. Bukan menjadikan mereka peminta-minta. Jadi kita perlu memberi ilmu manajemen bagaimana mengelola bantuan, Ungkap Farida yang ketika wawancara dengan Seumangat, hendak menuju ke Tangse dengan jajaran kerjanya. Sosok pekerja kemanusiaan yang acap kali dicurigai sebagai oknum tidak independent ini berharap, pemerintah hendaknya bisa membasmi korupsi sampai ke akarnya. Tak lepas dari menyongsong Aceh kosmopolitan, Farida menginginkan ikhwal pekerja kemanusiaan, supaya diangkat ke undang-undang, jangan hanya sebatas qanun. ”Jadi harus ada undang-undang perlindungan saksi, undang –undang pekerja kemanusiaan,” harap Farida.
nonlis dcp
Aceh pasca tsunami, apalagi dikaitkan dengan Undang Undang Pemerintahan Aceh, dan ketersediaan infrastruktur seperti sekarang ini, boleh jadi akan mengulang sejarah lampau. Aceh kosmopolitan, yang banyak dikunjungi pendatang luar negeri.
Ir. Farida Ariani, pegiat kemanusiaan yang bertahun-tahun berkecimpung dalam pemberdayaan masyarakat, berpendapat kita tak mudah menghadapi kosmopolitan Aceh. Tak sesederhana seperti menerima kedatangan tamu dirumah. Dia tahu banyak ikhwal kualitas intelektual masyarakat desakhususnya perempuan, terutama di wilayah kerjanya di Kabupaten Pidie. Menurutnya, ada banyak instrumen pembangunan yang belum semuanya terterapkan bagi kalangan bawah, bahkan hingga ke pelosok Aceh.
Tentu bukan salah ibu mengandung. Ketua Pengembangan Aktifitas Sosial Ekonomi Aceh ini percaya, itu berkaitan dengan sistem yang ada. ”Semua persoalan itu bertumpu di kabupaten dan propinsi. Banyak hal yang dibicarakan ditingkat atas, tapi sosialisasinya ke daerah-daerah kurang. Tentang MoU Helsinki misalnya, masih ada warga yang tak mengerti itu, ” ungkap Farida.
Menurut Farida, itu bisa saja berpunca pada rendahnya koordinasi antara propinsi dan daerah. Padahal semua harus berangkat dari bawah. ”Kita ngomong data dan data. Tapi pernahkan kita tau cara membuat data? Tahukah kita fasilitas bagi pak keuchik? Pernahkah kita mengajarkan cara menyalurkan bantuan, misalnya? Sebenarnya, ini lantaran tidak ada perencanaan konsep dari bawah. Yang paling penting, semua bentuk informasi harus diketahui masyarakat luas sampai ke desa-desa. Begitu pun harus ada monitoring dan evaluasi dari atas ke bawah,” tandas Farida.
Kalau kita membicarakan target-target untuk masyarakat, kata Farida, seharusnya kita berupaya dulu bagaimana caranya masyarakat itu bisa menghidupi diri sendiri dengan keluarganya. Bukankah konflik itu bisa datang dari kemiskinan?
”Khusus bagi perempuan, mereka jangan hanya sekadar duduk dalam rapat-rapat, tapi tidak diberi kesempatan berbuat atau mengambil keputusan.Syukurlah, dalam perjalanan waktu, adalah satu hal menggembirakan, bahwa saat ini perempuan sudah bisa mengeluarkan uneg-unegnya, beraspirasi, sekarang sudah masuk ke lembaga-lembaga gampong, koperasi. Saya optimis, kita akan berhasil, bila pemerintah bisa bergandeng tangan mengurus rakyat. Tolong jangan cepat-cepat menebar janji. Pemerintah pun hendaknya memberikan bantuan harus secara serius, misalnya tepat waktu.,” kata Farida.
Kendala dari masyarakatnya apa? ”Persoalan yang ada di masyarakat, misalkan, setiap ada pemberian, itu diartikan sebagai hibah. Setiap ada pemberian itu adalah hak mereka dan tidak bisa diganggu gugat. Ini kendala namanya. Pemberian-pemberian itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tidak pun ada monitoringnya. Padahal memberikan mereka bantuan itu, kan untuk menghidupkan perekonomian mereka.. Bukan menjadikan mereka peminta-minta. Jadi kita perlu memberi ilmu manajemen bagaimana mengelola bantuan, Ungkap Farida yang ketika wawancara dengan Seumangat, hendak menuju ke Tangse dengan jajaran kerjanya. Sosok pekerja kemanusiaan yang acap kali dicurigai sebagai oknum tidak independent ini berharap, pemerintah hendaknya bisa membasmi korupsi sampai ke akarnya. Tak lepas dari menyongsong Aceh kosmopolitan, Farida menginginkan ikhwal pekerja kemanusiaan, supaya diangkat ke undang-undang, jangan hanya sebatas qanun. ”Jadi harus ada undang-undang perlindungan saksi, undang –undang pekerja kemanusiaan,” harap Farida.
nonlis dcp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar